UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Hujan, Badai Menurunkan Semangat Pengungsi Rohingya

Oktober 3, 2017

Hujan, Badai Menurunkan Semangat Pengungsi Rohingya

Anak-anak Rohingya duduk di tanah berlumpur sambil menunggu bantuan di kamp pengungsi Balukhali di Cox's Bazar. (ucanews.com)

Angin kencang dan hujan lebat telah menambah kesengsaraan pengungsi Rohingya yang tinggal di kamp-kamp darurat di Bangladesh.

Air hujan membanjiri tempat perkemahan dan menyisakan genangan air, banyak di antaranya terkontaminasi limbah manusia, menambah penderitaan pengungsi yang tinggal dengan sedikit atau tanpa tempat berlindung, makanan, atau akses perawatan kesehatan, demikian disampaikan Organisasi Migrasi Internasional (IOM), Minggu 30 September.

Lebih dari 500.000 orang Rohingya telah melintasi perbatasan ke Bangladesh setelah militer Myanmar meluncurkan ‘operasi pembersihan’ di Negara Bagian Rakhine, menyusul serangan 25 Agustus oleh militan di 30 titik pemeriksaan keamanan. Ratusan warga sipil tewas dalam eksodus tersebut, dengan tuduhan melakukan pemerkosaan dan pembakaran desa-desa yang alamatkan pada tentara Myanmar.

Niranjan Rudra, 50, adalah seorang Hindu Rohingya yang tinggal di sebuah peternakan ayam yang ditinggalkan di dekat kamp pengungsi Kutupalong bersama tujuh anggota keluarganya. Sekitar 500 orang Hindu dari sekitar 165 keluarga juga telah melarikan diri dari kekerasan di Rakhine.

Atap peternakan ayam yang sudah tua memiliki lubang, sehingga air menetes saat hujan.

“Kami tidak mengalami krisis pangan tapi kami menderita karena hujan. Setiap hari air hujan masuk ke tempat tinggal dan merusak barang-barang kami. Orang Hindu lainnya juga menghadapi kondisi yang sama,” kata Rudra kepada ucanews.com.

Rudra mengatakan bahwa enam anaknya menderita demam dan kelaparan karena basah kuyup akibat hujan dan mereka tidak bisa memasak cukup makanan karena kondisinya.

Dia mengatakan bahwa ratusan ribu Rohingya telah melarikan diri ke Cox’s Bazar, dan mendapatkan bantuan sangat sulit.

“Kami perlu menjaga anak-anak tapi kami juga perlu mendapat bantuan, terutama makanan,” katanya. “Selalu ada kerumunan orang banyak setiap kali bantuan didistribusikan dan sangat sulit untuk mendapatkannya.”

Syad Alam, 27, memasuki Bangladesh pada 9 September dari kota Maungdaw dan sekarang tinggal di kamp Kutupalong dengan sepuluh saudara perempuannya.

Alam mengatakan bahwa dia membeli lembaran polietilena (plastik) seharga 200 Taka -sekitar 30.000 rupiah- dari pasar lokal dan mendirikan tenda darurat untuk keluarganya , namun ternyata tidak berguna saat cuaca buruk.

“Kemah dari plastik itu terbang meskipun badai kecil, memaksa kami untuk hidup di bawah langit terbuka. Kami memiliki payung yang digunakan anak-anak kita untuk perlindungan dari hujan, tapi itu tidak cukup,” katanya.

“Karena seringkali hujan kami tidak bisa menggunakan kompor minyak tanah untuk memasak. Kami hanya makan saat mendapatkan makanan dari masyarakat setempat, kalau tidak kami kelaparan. Anak-anak dan orang tua kami seringkali merasa lapar.”

Sebuah paket makanan dan bantuan Caritas untuk lebih dari 10.000 keluarga Rohingya, baru dimulai minggu ini. Lembaga ini juga berencana untuk membantu menyediakan tempat berteduh.

Mazharul Islam, petugas manajemen bencana Caritas Chittagong, telah menyaksikan penderitaan yang disebabkan oleh cuaca buruk.

“Para pengungsi membutuhkan tempat penampungan yang kuat dan sistem drainase yang baik agar air tidak tergenang. Perhatian lebih dibutuhkan pada layanan yang berkaitan dengan air, sanitasi dan kebersihan,” katanya.

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi