UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Paus Disarankan Melakukan Pendekatan yang Realistis dengan Beijing

Oktober 6, 2017

Paus Disarankan Melakukan Pendekatan yang Realistis dengan Beijing

Pastor Antonio Spadaro, SJ (kiri) dan Pastor Joseph Shih.

Pastor Joseph Shih, mantan kepala bagian Radio Vatikan untuk China mengirim pesan kepada Paus Fransiskus bahwa gereja perlu memiliki “realisme sehat” dalam hubungannya dengan pemerintah China.

Pastor Shih juga menjelaskan bahwa toleransi tidak sama dengan kompromi, jadi Takhta Suci tidak boleh menentang pemerintah China demi  melanjutkan pembicaraan yang bertujuan, pertama, untuk menormalisasi pengangkatan para uskup.

Dalam beberapa dekade terakhir, Asosiasi Patriotik Katolik yang berada di bawah negara dan Vatikan secara bersama-sama menunjuk beberapa uskup sementara yang lain hanya memiliki persetujuan Vatikan atau pemerintah.

“Kompromi memberi sesuatu kepada pihak lain, sampai tingkat yang lain merasa memuaskan. Toleransi tidak memberikan apa-apa, juga tidak mengharuskan pihak lain memberi (apa saja),” kata Pastor Shih kepada pemimpin redaksi La Civilta Cattolica Pastor Antonio Spadaro, dalam sebuah wawancara untuk majalah yang berbasis di Roma yang dianggap sebagai jendela pemikiran Vatikan.

Diplomat Vatikan, di bawah Paus Fransiskus, pada tahun 2014 memulai diskusi mendetail dengan penguasa Komunis China yang sekarang telah berlangsung sekitar enam putaran.

“Pemerintah China adalah komunis, ini adalah sesuatu yang tidak akan berubah untuk waktu yang lama, jadi satu-satunya hubungan yang mungkin kita miliki adalah toleransi timbal balik,” kata Pastor Shih.

Dia menambahkan bahwa toleransi timbal balik antara gereja di China dan pemerintah China memerlukan sebuah premis: bahwa “Tahta Suci tidak menentang pemerintah China.”

Jika tidak, gereja di China akan dipaksa untuk memilih di antara mereka dan jika gereja memilih Tahta Suci, dia mengatakan, ini akan menjadi tidak dapat ditolerir oleh pemerintah China.

“Kita bisa bertanya seandainya Tahta Suci tidak menentang pemerintah China, apakah Beijing akan mentolerir gereja di China?” kata Pastor Shih. “Kita hanya bisa mengatakan bahwa Gereja Katolik di China ada dan berfungsi, ini berarti bahwa toleransi sudah dialami dalam beberapa bentuk.”

Imam tersebut juga menafsirkan kasus Uskup Thaddeus Ma Daqin, uskup pembantu  Shanghai, dalam terang “realisme sehat ini”. Prelatus tersebut dipenjara segera setelah penahbisannya, yang disetujui oleh Roma dan Beijing.

Segera setelah penahbisannya sebagai Uskup Shanghai, salah satu posisi  terpenting di gereja China, Uskup Ma meninggalkan peran kepemimpinan dan keanggotaannya di CCPA. Sejak saat itu, dia seringkali menggambarkan langkah dramatisnya sebagai sebuah kesalahan.

“Dia tidak berubah arah, dia juga tidak menyerah,” kata Pastor Shih. “Saya pikir dia sudah ‘terbangun lagi’.”

Dia menjelaskan bahwa alih-alih mencintai China dari Konfusius atau Chiang Kai-shek seperti banyak orang yang memiliki gagasan abstrak di negara ini, Uskup Ma mencintai China seperti China saat ini, yang diperintah oleh Partai Komunis.

“Jadi dia tidak lagi percaya bahwa gereja harus selalu menentang pemerintah China, tapi dia mengerti bahwa untuk eksis dan berperan pada hari ini, gereja setidaknya harus bersikap toleran terhadap pemerintah,” kata Pastor Shih. .

Dia juga menunjukkan bahwa Uskup Ma berkonfrontasi dengan Uskup Zhan Silu yang tidak sah di Mindong adalah usaha untuk melakukan rekonsiliasi dengan pemerintah China.

“Bahkan jika dia saat ini dalam tahanan rumah, dia mencoba untuk terlibat secara positif dengan pemerintahannya,” kata Pastor Shih. “Saya harap Tahta Suci akan mendukungnya dan membiarkan dia terus mencoba.”

Imam tersebut juga menekankan bahwa St. Paus Yohanes Paulus II selama masa kepausannya bersikeras untuk melakukan rekonsiliasi antara gereja di China dan pemerintah China. Sekarang Uskup Ma berusaha mewujudkannya.

Dia juga mendesak melampaui prasangka dan kehadirannya. Jika kita melakukannya, dia percaya bahwa kita akan menemukan nilai-nilai fundamental sosialisme yang diimpikan oleh pemerintah China sesuai dengan Injil yang kita percaya.

Dia juga mengatakan bahwa tidak dapat dipungkiri ada komunitas yang berbeda dalam  gereja di China. Tapi perselisihan mereka disebabkan oleh ekspresi konflik kepentingan religius, bukan perbedaan iman. Lagipula, mereka sudah mulai berdamai satu sama lain setelah berulang kali seruan dari St. Paus Yohanes Paulus II.

“Tahbisan Uskup Xing Wenzhi, pada tahun 2005, adalah bukti yang indah,” kata Pastor Shih.

Dia menunjukkan bahwa mereka yang menentang dialog antara Tahta Suci dan pemerintah China membesar-besarkan perbedaan antara “gereja resmi” dan “gereja klandestin” untuk menghalangi dialog yang sedang berlangsung.

Untuk dialog di masa depan antara gereja dan pemerintah China, pastor tersebut optimis karena dia percaya dengan cara apa pun yang dihasilkan dari sejarah manusia, tidak pernah terjadi tanpa  terkait dengan rencana penyelamatan Allah.

 

Baca juga: Former Vatican Radio official advises pope to be tolerant of Beijing

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi