Petugas di Provinsi Jiangxi di China telah mengganti gambar-gambar rohani yang dipajang oleh keluarga Kristen dengan foto presiden China, Xi Jinping.
Pada 12 November, gambar-gambar yang diupload di akun layanan pesan sosial populer WeChat milik pemerintah kota Huangjinbu, distrik Yugan, menunjukkan petugas yang sedang menurunkan gambar salib dan barang rohani lainnya.
Pesan dari para petugas itu menyatakan bahwa orang-orang Kristen yang terlibat telah mengakui kesalahan mereka dan memutuskan untuk tidak percaya kepada Yesus tetapi kepada Partai Komunis. Mereka mengklaim bahwa orang-orang Kristen secara sukarela menurunkan 62 gambar religius dan memasang 453 potret Xi.
Pejabat tersebut juga mengklaim bahwa mereka “mengubah” orang Kristen menjadi loyalitas Partai melalui pengentasan kemiskinan dan skema lainnya untuk membantu orang-orang yang kurang beruntung.
Hampir 10 persen dari satu juta penduduk Yugan yang sebagian besar miskin adalah orang Kristen
Pastor Andrew, yang menolak memberitahu nama lengkapnya karena takut akan balasan dari pemerintah, mengatakan kepada ucanews.com bahwa penurunan gambar rohani melibatkan pejabat yang memberikan uang kepada keluarga miskin sebagai imbalan untuk menggantung potret Xi.
Pastor John, di China utara, merasa Xi telah menjadi ‘Mao Zedong baru” setelah Kongres Partai pada bulan Oktober, dan meramalkan bahwa pejabat lain di seluruh negeri akan meniru apa yang telah dilakukan di wilayah Yugan.
Dengan “Peraturan tentang Urusan Agama” baru yang akan diimplementasikan pada 1 Februari, orang Kristen dan pengamat percaya bahwa kebijakan agama akan mengikuti model cinaisasi Xi.
Ying Fuk-tsang, direktur sekolah teologi di Universitas China Hong Kong, menunjuk bahaya gaya pengkultusan kepribadian ‘Ketua Mao’. Selama Revolusi Kebudayaan, intoleransi agama dan dogma Mao Zedong berlaku.
Para imam di China yang berbicara dengan ucanews.com tidak melihat adanya usaha langsung kembalinya ke kondisi Revolusi Kebudayaan, namun mereka khawatir kontrol agama dan sosial akan terus meningkat.
“Itu tidak akan bagus,” kata salah satu imam.
Video yang baru dirilis di China mendesak anak-anak untuk memata-matai keluarga mereka juga telah membawa kembali kenangan gelap Revolusi Kebudayaan 1966-76 di mana kaum muda menerapkan ideologi Partai Komunis.
Kaum muda Garda Merah terlibat dalam penangkapan dan penghinaan publik terhadap siapa saja yang dianggap menyimpang dari ajaran pemimpin revolusioner Mao.
Baru-baru ini, Asosiasi Pendidikan Cina, yang berafiliasi dengan Kementerian Pendidikan, merilis dua video online yang ditujukan untuk mengajar anak-anak untuk melaporkan anggota keluarga yang dapat menimbulkan ancaman bagi keamanan nasional.
Satu video untuk siswa sekolah dasar dan satu lagi untuk siswa SMA.
Keduanya menginstruksikan anak-anak untuk melapor ke biro keamanan nasional siapa pun, termasuk orang tua, yang secara tidak sah menyampaikan informasi rahasia, terutama kepada orang asing.
Video tersebut menyediakan nomor telepon hotline untuk melaporkan aktivitas yang mencurigakan.
Pemberitahuan resmi mengatakan bahwa video tersebut diproduksi agar sesuai dengan strategi Presiden Xi untuk memasukkan tujuan keamanan nasional ke dalam sistem pendidikan.
Namun, setelah video diunggah, seorang blogger mengatakan bahwa seruan kepada anak-anak untuk memantau aktivitas anggota keluarga merupakan ‘pencucian otak’ yang mengingatkan pada Revolusi Kebudayaan.
Joan, seorang guru swasta, mempertanyakan apa pentingnya menciptakan agen keamanan remaja.
“Video tersebut mengingatkan saya pada Pengawal Merah kecil selama Revolusi Kebudayaan,” kata Zhejiang seorang katolik berusia 30 tahun.
Selama Revolusi Kebudayaan, kaum muda didorong untuk mengkritik tetua mereka, termasuk orang tua dan guru.
Orang-orang yang dituduh sebagai mata-mata kekuatan asing akan ditahan dan dipukuli untuk mendapatkan pengakuan.
Perilisan video tersebut terjadi setelah Kongres Nasional Partai Komunis China ke-19, yang secara luas dipandang sebagai peningkatan Xi ke status historis yang sama dengan Mao.