Para uskup Korea dan Jepang mengimbau agar petinggi militer dan politisi di Asia Timur Laut menciptakan perdamaian lewat dialog mengingat ketegangan mulai muncul di wilayah tersebut terkait ambisi Pyongyang soal nuklir.
Sebuah pernyataan bersama berjudul “Harapan akan Perdamaian di Asia Timur Laut” ditandatangani oleh 21 uskup Korea dan Jepang di hari terakhir pertemuan tahunan mereka yang diadakan pada 14-16 November di Kota Kirishima, Jepang.
Kota Kirishima masuk wilayah Prefektur Kagoshima.
Pada 17 November lalu, utusan senior Beijing Song Tao mengunjungi Pyongyang untuk menyampaikan sambutan kepada para pejabat Korea Utara yang menghadiri Kongres Partai Komunis di Cina. Kongres ini baru saja berakhir.
Song juga merupakan ketua Departemen Luar Negeri Partai Komunis Cina.
Kunjungan tersebut memunculkan spekulasi bahwa Song berada di sana untuk membahas isu senjata nuklir.
Dalam beberapa bulan terakhir, Beijing tidak mengadakan banyak pertemuan tingkat tinggi dengan Korea Utara. Namun sebelumnya, Beijing berulang kali mendorong adanya solusi diplomatik untuk mengatasi krisis terkait pengembangan senjata nuklir dan rudal oleh Pyongyang.
Kunjungan Song dilakukan setelah Presiden AS Donald Trump mengunjungi Beijing. Saat itu Presiden Trump menekan Cina supaya melakukan aksi yang lebih besar agar bisa bertahan di Korea Utara.
Korea Utara menguasai 90 persen perdagangan dengan Cina.
“Negara-negara di Asia Timur Laut tengah berupaya membangun stabilitas dan kemakmuran demi kekuatan militernya dengan melakukan kerjasama atau membentuk aliansi dengan para penguasa lain yang memiliki sistem politik yang sama,” kata para uskup dalam pernyataan yang ditandatangani sebelum kunjungan Song itu.
“Hal ini menciptakan ancaman bagi keamanan masing-masing negara dan menimbulkan ketegangan saat ini. Kita semua hendaknya menyadari bahwa perdamaian sejati tidak bisa dijamin dengan persenjataan nuklir atau militerisasi.”
Para uskup menekankan bahwa “masyarakat kedua negara hendaknya ingat bahwa orang miskin dan lingkungan hidup terus menderita, sementara sejumlah besar uang dibuang untuk pengembangan senjata.”
Tema Kolokium Uskup Korea-Jepang Ke-23 adalah “Orang Tua dan Gereja.” Kedua negara ini menghadapi masalah serius terkait angka kelahiran yang rendah dan penduduk berusia senja.
Di Korea Selatan, hampir setengah dari jumlah penduduk berusia lebih dari 65 tahun hidup dalam kemiskinan, demikian survei ekonomi OECD 2016. Sekitar seperempatnya hidup sendiri dan banyak di antaranya berjuang mengatasi kesendirian dan depresi.
Suster Theophano Lee Kye-yeong dari Kongregasi Abdi Keluarga Kudus menyampaikan kepada para uskup tentang situasi di Korea Selatan.
Dikatakan, 49,6 persen orang tua hidup miskin dan satu dari empat orang tua harus mengumpulkan koran bekas untuk bertahan hidup. Selain itu, ada banyak orang tua yang “berziarah” ke gereja Katolik dan Protestan untuk meminta sedekah setiap pagi.
“Para orang tua Korea menghadapi siksaan dan kematian seorang diri. Selain itu, rata-rata 10,6 orang bunuh diri setiap hari,” katanya.
Yasuhiro Yuki, seorang dosen dari Universitas Shukutoku di Jepang, mengatakan bahwa situasi di negaranya tidak lepas dari kesepian, mati mendadak, dan jumlah penderita demensia yang terus bertambah.
Ia pun memperlihatkan kepada para uskup sebuah program televisi Singapura tentang kematian di kalangan orang tua di Jepang. Program ini menayangkan sejumlah kamar yang penuh dengan belatung.