UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Terapi “Konversi Gay” Sebuah Realitas di Cina

Desember 4, 2017

Terapi “Konversi Gay” Sebuah Realitas di Cina

Seorang pria membawa sebuah bendera pelangi setelah mengikuti Pride Run di Shanghai pada 17 Juni lalu. Lomba lari ini merupakan bagian dari festival tahunan ke-9 bagi kaum gay di Shanghai. (Foto oleh AFP)

Human Rights Watch (HRW) mengungkap bahwa beberapa rumah sakit dan klinik swasta di Cina tengah berusaha membuat pasien menjalani terapi ”konversi gay”untuk mengembalikan orientasi seksual mereka.

Namun sejumlah analis mengatakan bahwa penyebab utama adalah tekanan dari orangtua, bukan kebijakan pemerintah.

Orangtua ingin agar anak-anak mereka mengikuti aturan sosial, khususnya terkait perkawinan.

Meski demikian, HRW mengatakan bahwa tidak satu pun dari 17 orang yang diwawancarainya memberi informasi “secara bebas” karena mereka mengalami tekanan pribadi.

Banyak dari mereka menjalani terapi elektro-syok dan pengobatan baik secara oral maupun injeksi. Mereka sendiri tidak memahami ini semua.

Selain itu, tidak satu pun dari mereka yang menjalani terapi konversi menyampaikan keluhan.

Beberapa di antaranya takut jika orientasi seksual mereka akan diketahui oleh publik.

Cina mendekriminalisasi homoseksualitas lebih dari 20 tahun lalu. Tahun 2001, Cina mendeklasifikasi homoseksualitas sebagai penyakit mental.

Tahun 2013, revisi UU Kesehatan Mental melarang terapi konversi.

Konversi gay dikecam sejak beberapa tahun lalu di dunia karena dianggap sebagai pelanggaran terhadap konvensi PBB tentang penyiksaan.

Maya Wong, peneliti senior HRW, mengakui bahwa kelompok LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transeksual) sulit mencari keadilan atas diskriminasi yang mereka alami.

Cina tidak memiliki UU tentang diskriminasi terkait orientasi seksual atau identitas gender.

Menurut Wang, perhimpunan psikiatri and psikolog profesional tidak melarang klinik konversi yang memberikan banyak keuntungan.

Di dunia, terapi konversi sering dikaitkan dengan kelompok Kristiani fundamental.

Tapi aspek Kristiani fundamental tidak signifikan di Cina.

Emmanuele Lazzara, pakar perilaku sosial terhadap kelompok minoritas orientasi seksual di Cina, mengatakan bahwa berbagai tekanan sosial lain lebih relevan.

Selain tidak ada komunitas Kristiani yang kuat dan berpengaruh, homoseksualitas masih dianggap sebagai penyakit oleh sejumlah besar orang, jelasnya.

Sementara itu, katanya, survei yang dilakukan baru-baru ini oleh para aktivis LGBT di Cina mengungkap bahwa hanya dua persen dari responden mendukung pandangan patologi terkait homoseksualitas.

 

Namun ia meragukan hasil survei tersebut.

Menurutnya, orang yang memiliki pandangan semacam itu jumlahnya jauh lebih besar karena responden dari survei itu sendiri diragukan.

“Saya kira ini karena sebagian besar masyarakat Cina masih percaya bahwa homoseksualitas itu abnormal,” katanya.

Banyak dari responden untuk penelitian yang dilakukannya memiliki pandangan serupa, khususnya orang tua dan masyarakat pedesaan.

“Masuk akal jika orangtua ingin menemui seorang dokter ketika mereka tahu bahwa anak mereka diyakini sakit,” katanya.

Mereka mengunjungi klinik-klinik konversi tanpa pertimbangan. Hal ini disebabkan karena perkawinan di Cina masih merupakan praktek universal.

Sebagian besar orang yang diwawancarai HRW mengunjungi sebuah klinik untuk menjalani pemeriksaan homoseksualitas karena tekanan besar dari orangtua mereka.

Bagi sejumlah dokter, keinginan orangtua agar anak-anak mereka mengikuti norma sosial di Cina mudah dieksploitasi.

“Terapi konversi itu bisnis yang besar,” kata Lazzara.

“Saya pernah berbicara dengan seorang aktivis Cina yang menegaskan hal ini … orangtua sering memiliki keinginan untuk mengeluarkan banyak uang guna ‘memperbaiki’ anak mereka.”

Lazzara tengah menempuh studi PhD di Universitas Nottingham di Inggris. Ia menekuni perilaku orientasi seksual di Cina.

Di Hong Kong, di mana kelompok Kristiani fundamental memiliki pengaruh besar dalam pemerintahan, tidak mempersoalkan terapi konversi gay.

Awal tahun ini, media VICE mengungkap bahwa pemerintah Hong Kong melatih dan mensponsori pekerja sosial dalam praktek yang dikenal dengan sebutan SAFE-T.

Sexual Attraction Fluidity Exploration Therapy (terapi eksplorasi ketidakstablian rangsangan seksual) merujuk pada mereka yang ingin menghilangkan rangsangan seksual sesama jenis.

Pemerintah Hong Kong telah secara terbuka mendanai sebuah kelompok yang disebut “Aliansi Mantan Gay,” sebuah kelompok Kristiani fundamental yang mengekspos SAFE-T.

Lazzara juga menyinggung sebuah survei baru-baru ini yang mengungkap bahwa 73 persen dari praktisi kesehatan di Cina yang diwawancarai percaya bahwa beberapa orientasi seksual orang bisa diubah dan 14 persen percaya bahwa semua orientasi seksual bisa diubah.

Sebagian besar praktisi kesehatan yang menjadi responden percaya bahwa homoseksualitas disebabkan oleh faktor-faktor eksternal seperti propaganda media, pengaruh dari lingkungan dan asuhan keluarga.

Ringkasnya, baik peluang untuk memperoleh keuntungan dan tekanan besar untuk mengikuti norma sosial bisa menjelaskan alasan mengapa masih ada terapi konversi gay di Cina, meski tidak ada kelompok Kristiani fundamental.

Secara umum, Beijing apatis terhadap hak-hak kaum LGBT. Pemerintah tidak bisa menoleransi perbedaan pendapat, termasuk aksi protes.

Permusuhan resmi semacam itu juga berlaku bagi aktivis LGBT yang melakukan kampanye secara terbuka untuk perubahan.

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi