UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Kisah mengerikan terkait Serangan Bom di Gereja

Desember 20, 2017

Kisah mengerikan terkait Serangan Bom di Gereja

Jemaat Kristen Pakistan meratapi kematian kerabat mereka pada 18 Desember pada upacara pemakaman setelah serangan bom bunuh diri di sebuah gereja Methodis di Quetta. (Foto: Banars Khan/AFP)

Seorang klerus  di Gereja Pakistan yang diserang para teroris menceritakan bagaimana beberapa umat paroki yang meninggal ketika salah satu penyerang yang terluka meledakkan bom dan tiga lampu gantung jatuh dan menghancurkannya.

“Kami beruntung masih hidup, tapi jemaat saya seperti keluarga saya,” kata Pendeta Simon Bashir dari Gereja Methodist Memorial Bethel di Quetta.

“Saya masih lajang ketika saya tiba di kota ini satu dekade lalu dan sekarang semua keluarga saya ada di sini.  Kami menghabiskan lebih dari satu juta (rupee) untuk mendekorasi bangunan dan memoles perabotannya. Saya melihat mereka mati dan saya tidak dapat melakukan apapun,” katanya.

Pendeta tersebut mengatakan bahwa dia tidak yakin apakah Gereja tersebut akan dibuka pada waktunya bahkan untuk  kebaktian Tahun Baru nanti.

“Orang-orang menghadapi masalah karena kendaraan mereka masih diparkir di dalam kompleks gereja,” katanya.

Haroon James dan adik laki-lakinya termasuk di antara 22 pasien yang dirawat di Trauma Centre Rumah Sakit Provinsi Sandeman setelah pembom bunuh diri pada 17 Desember menewaskan setidaknya sembilan orang dan melukai lebih dari 50 orang.

Istri adik laki-laki Haroon adalah salah satu dari mereka yang tewas dalam serangan menjelang Natal ini.

“Saya berdiri di dekat altar saat teroris menyerbu gereja,” kata Haroon kepada ucanews.com.

“Semua orang panik saat polisi Muslim dan relawan gereja saling bertukar tembakan dengan teroris yang berusaha masuk ke dalam gereja.

“Kami mengumpulkan umat lebih dekat ke altar saat bom meledak.”

Dokter menyingkirkan pecahan peluru dari kaki Haroon dan peluru dari perutnya.

Namun, sepotong pecahan peluru jauh di kaki kirinya belum bisa dilepas, kata mereka.

Adik laki-lakinya masih dalam kondisi kritis akibat pecahan peluru menusuk paru-parunya, dan dia tidak bisa dioperasi, kata Haroon.

Gereja Methodis tetap disegel oleh pihak berwenang karena tim forensik masih mengumpulkan bukti.

Dinding, plafon dan karpetnya ternoda oleh darah jemaat yang menjadi korban bom hari Minggu itu.

Kursi-kursi dan pecahan kaca dari jendela ditumpuk di sekitar pohon Natal yang dihias.

Lebih dari 1.500 orang menghadiri upacara pemakaman korban.

Di Lahore, Komisi Nasional untuk Dialog Antaragama dan Ekumene Konferensi Waligereja Pakistan mengadakan sebuah pelayanan doa antaragama untuk para korban pada 18 Desember di Katedral Hati Kudus.

Uskup Agung Sebastian Shaw bergabung dengan beberapa Pastor dalam mengungkapkan rasa syukur kepada badan keamanan karena melawan  teroris.

“Ini adalah hari berkabung bagi semua orang Pakistan dan terutama bagi orang Kristen,” kata Uskup Agung.

“Ini membuktikan bahwa mereka tidak percaya pada agama apapun, mereka tidak menghormati umat Allah atau Tuhan.”

Uskup Agung Shaw menambahkan: “Para pemimpin militer dan agama meyakinkan kita bahwa kita bersatu sebagai sebuah negara. Kami menerima pesan belasungkawa dari semua komunitas religius.”

“Musuh tidak berada di perbatasan, tapi di jalanan dan lingkungan kita, kita harus lebih sadar akan unsur-unsur bajingan tersebut dan bekerja sama dengan badan keamanan untuk menyingkirkan teroris. Darah orang-orang yang tidak bersalah seharusnya tidak menumpahkan di tanah kita.”

Hafiz Muhammad Tahir Mehmood Ashrafi, ketua Majelis Ulama Pakistan, dan pendeta Protestan mengadakan konferensi pers bersama.

Mereka memperingatkan bahwa mereka akan mempertahankan tanah air mereka melawan “elemen” di Afghanistan yang berkonspirasi melawan Pakistan.

 

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi