UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Profesionalitas para advokat dipertanyakan terkait korupsi

Januari 19, 2018

Profesionalitas  para advokat dipertanyakan terkait korupsi

Azaz Tigor Nainggolan

Para lawyer Katolik mempertanyakan profesionalisme rekan mereka setelah puluhan orang terjerat kasus hukum terkait Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), termasuk pengacara Katolik dan sejumlah dari mereka telah dipenjara.

Indonesian Corruption Watch (ICW) mengatakan dalam laporannya awal tahun ini bahwa 22 advokat  terjerat dalam Tipikor dari tahun 2005 hingga 2017.

“Para pengacara dalam menjalankan profesi mereka sangat dekat dengan praktek mafia peradilan. Mereka menggunakan jaringan di lembaga pengadilan untuk memenangkan perkara,” kata Lalola Easter Kaban, peneliti dari ICW, menyampaikan laporan tersebut kepada media.

Ia menuturkan, dari 22 orang tersebut, 16 di antaranya dijerat karena melakukan suap-menyuap, dua karena memberikan keterangan tidak benar, empat karena merintangi penyidikan perkara korupsi.

“Kasus yang melibatkan 22 advokat tersebut mayoritas ditangani oleh KPK. Ada 16 orang yang ditangani KPK, 5 orang ditangani oleh Kejaksaan, 1 orang ditangani Kepolisian,” kata dia.

Menanggapi laporan tersebut, Azas Tigor Nainggolan dari Komisi Keadilan dan Perdamaian Konferensi Waligereja Indonesia mengatakan korupsi terjadi karena sistem hukum Indonesia sangat lemah.

“Sistem hukum kita sangat lemah maka banyak pengacara terjerat kasus hukum terkait Tipikor termasuk penyuapan,” katanya kepada ucanews.com.

Bertolak dari keprihatinannya tersebut, tahun lalu ia mendirikan Komunitas Advokat Katolik Indonesia, sebuah kelompok yang mengakomodir dan memfasilitasi para pengacara Katolik dari seluruh Indonesia.

Ia mengatakan komunitas itu didukung oleh Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan akan menjadi bagian dari Komisi Keadilan dan Perdamaian KWI.

Komunitas ini, lanjutnya, akan dibentuk di setiap keuskupan guna memberikan pendampingan kepada para advokat agar mereka menjalankan profesinya dengan baik.

Petrus Salestinus, seorang pengacara, mengatakan pengacara yang terjerat dalam tindak pidana korupsi memiliki jumlah yang cukup banyak, rata-rata terkait dengan pekerjaan mereka sebagai pembela yang mendampingi klien mereka.

Ia mengatakan penyuapan dan korupsi adalah hal yang biasa bagi para pengacara. “Para pengacara biasa berinisiatif memberikan suap untuk memenangkan perkara yang ditangani mereka,” katanya kepada ucanews.com.

KPK boleh melakukan OTT setiap hari tapi para pengacara tidak akan kehilangan cara untuk melancarkan aksi mereka, katanya.

“Banyak cara dilakukan, misalnya pertemuan di restoran tanpa komunikasi via handpone karena mereka takut disadap dan mereka juga mencari restoran yang tidak menggunakan CCTV dan cara tersebut dilakukan hingga sekarang,” katanya.

Banyak pengacara nakal, lanjutnya, ingin menjadi kaya. Bahkan sejumlah oknum  advokat Katolik juga terlibat karena potensi korupsi di kalangan para pengacara  sangat sulit untuk dihindari.

Nicholas Simanjuntak, ketua bidang kajian hukum  dan Perundang-Undangan DPN Peradi mengatakan bila ada pengacara yang melanggar kode etik profesi advokat maka mereka harus dihukum.

UU Advokat no 18/2003 mengatur tentang kode etik profesi advokat dan dewan pengawas yang menegakan dan mengeksekusi pelanggaran tersebut.

Ia mengatakan, Peradi memiliki sekitar 50.000 advokat di 102 cabang di seluruh  Indonesia. “Banyak anggotanya yang senior sudah independen maka ia mengatakan bahwa Peradi sulit mengawasi anggotanya karena terlalu banyak,” katanya kepada ucanews.com.

Selama ini, tambahnya, Peradi memberikan pendampingan dan pembinaan kepada para advokat terutama advokat muda.

 

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi