UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Kisah Pahit Warga Eks-Timor Timur untuk Bertahan Hidup

Pebruari 6, 2018

Kisah Pahit Warga Eks-Timor Timur untuk Bertahan Hidup

Maria Pereira, 67, tinggal di sebuah rumah kayu beratapkan daun gewang kering di Raknamo. Status tanah di mana rumahnya dibangun masih belum jelas. (Foto: Siktus Harson/ucanews.com)

Maria Pereira, 67, tidak pernah merasakan kesejahteraan selama hampir dua dekade ini. Sejak meninggalkan Timor Timur karena konflik yang terjadi pada tahun 1999, hidupnya tidak pernah berubah.

Kini ia tinggal di sebuah rumah kecil yang terbuat dari kayu dan beratapkan daun gewang kering di Raknamo, sebuah wilayah di Kabupaten Kupang, Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

“Sejak saya pindah ke sini beberapa tahun lalu dari sebuah kamp pengungsi UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees), hidup saya tidak pernah berubah. Rumah saya dibangun di atas tanah yang bukan milik saya. Tanah ini milik orang lain,” katanya kepada ucanews.com.

Suami dan ketiga anaknya meninggalkan dia tanpa alasan yang jelas pada awal masa sulit itu. Kini ia bergantung pada bantuan kerabat dan teman di Timor-Leste.

Menurut UNHCR, Pereira merupakan satu dari 250.000 warga Timor Timur yang mengungsi ke Propinsi NTT ketika Timor Timur mengalami gejolak politik pasca-jajak pendapat 30 Agustus 1999.

Dalam jajak pendapat tersebut, 94.388 orang atau 21,5 persen dari warga Timor Timur memilih untuk tetap menjadi bagian dari Indonesia. Sementara 344.580 orang atau 78,5 persen memilih untuk merdeka dari Indonesia.

Banyak warga sudah pulang setelah ditawari repatriasi. Tetapi banyak pula yang memilih untuk tetap tinggal di Propinsi NTT.

Satuan Koordinator Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Pengungsi Propinsi NTT mencatat sekitar 104.436 pengungsi pada tahun 2005. Dari jumlah ini, 70.453 pengungsi tinggal di Kabupaten Belu, 11.176 pengungsi di Kabupaten Timor Tengah Utara dan 11.360 pengungsi di Kabupaten Kupang.

Sebagian besar warga eks-Timor Timur hidup dalam kemiskinan dan tidak memiliki tanah meskipun sejumlah besar uang sudah dikeluarkan selama proses resettlement (pemukiman kembali) di bawah kepemimpinan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014).

“Terlalu banyak birokrasi. Dan kami merasa itu tidak efektif,” kata Matius Alves, 40, juga warga eks-Timor Timur.

Namun Alves lebih beruntung dibanding warga eks-Timor Timur lainnya. Pemilik tanah mengijinkan dia untuk mengelola sekitar dua hektar lahan dengan syarat berbagai keuntungan. Di lahan ini, ia menanam singkong, jagung, pepaya dan pisang.

“Tapi ini agak dilematis. Di satu sisi, saya bersyukur. Di sisi lain, ini bukan tanah saya dan bisa diambil dari kami kapan saja,” katanya.

Matius Alves, 40, menjelaskan tentang Bendungan Raknamo yang akan menyediakan irigasi dan air bersih bagi masyarakat di Kabupaten Kupang, termasuk warga eks-Timor Timur. (Foto: Siktus Harson/ucanews.com)

 

Francisco Ximenes, tokoh masyarakat setempat asal Distrik Baucau di Timor-Leste, mengatakan warga eks-Timor Timur merasa hak-hak mereka dirampas.

“Sebagian besar warga itu petani. Mereka butuh lahan untuk mengaktualisasikan diri mereka dan memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Sayangnya, sebagian besar warga tinggal di atas tanah milik orang lain dan mereka tidak tahu masa depan mereka,” katanya.

“Awalnya, ketika kami tiba di sini (tahun 1999), wilayah ini merupakan sebuah hutan. Tidak seorang pun mengklaim ini milknya. Namun setelah warga menebang pohon dan membersihkan lahan, satu-persatu orang datang dan mengklaim lahan ini milik mereka,” lanjutnya.

Ximenes tinggal bersama sekitar 700 keluarga di wilayah milik Tentara Nasional Indonesia (TNI). TNI pernah satu kali meminta mereka untuk pergi. “Tapi kemana kami harus pergi?” tanyanya.

Menurut Ximenes, pemerintah tidak pernah mendengar permintaan mereka terkait sertifikat tanah di mana mereka tinggal. Sementara itu harga tanah semakin mahal dan warga eks-Timor Timur semakin sulit untuk memiliki bahkan sebidang kecil tanah sekalipun.

Bom Waktu

Mariano Parada, 34, aktivis dari Masyarakat Timor-Indonesia – sebuah kelompok nirlaba yang memberikan advokasi kepada warga eks-Timor Timur di Kabupaten Belu, mengatakan setelah pelayanan UNHCR berakhir tahun 2002, warga eks-Timor Timur diberi kesempatan untuk memilih repatriasi atau pemukiman kembali.

Ia mengatakan hanya repatriasi yang berhasil. Sementara pemukiman kembali gagal total.

Sebagian besar warga eks-Timor Timut di kabupaten itu hidup dalam kemiskinan kecuali sebagian kecil dari mereka yang direkrut lembaga pemerintah atau polisi.

“Ini dilematis. Kami memilih untuk tinggal tapi kami tidak punya tempat tinggal yang layak. Banyak warga tidak bisa pulang ke Timor-Leste. Hidup begitu sulit,” katanya.

Parada khawatir kondisi seperti ini akan menjadi bom waktu yang suatu saat akan memunculkan konflik.

“Jika warga tidak bisa lagi bertahan dan terus menerus hidup tidak menentu, saya khawatir ini akan berakhir dengan balas dendam,” katanya.

“Warga sudah banyak berkorban. Mereka meninggalkan rumah, bahkan beberapa warga membunuh orang lain selama perang pro-Indonesia. Jika pengorbanan mereka tidak terbayarkan, saya khawatir warga akan memberontak,” lanjutnya.

Menurut Parada, pemerintah Indonesia belum memberi perhatian serius terhadap penderitaan mereka.

“Kami telah melakukan banyak aksi untuk menuntut pemerintah agar menyediakan fasilitas listrik, layanan kesehatan dan pendidikan di wilayah pemukiman kembali. Tapi hingga saat ini tidak ada,” katanya.

Pada  Desember 2016, warga eks-Timor Timur meminta Presiden Joko “Jokowi” Widodo untuk membantu kehidupan mereka khususnya dengan memberi mereka sertifikat tanah. “Tapi kami tidak mendapat tanggapan,” lanjutnya.

Tantangan Gereja

Pastor Vincent Tamelab dari Paroki St. Maria Fatima di Taklale yang dilayani oleh Keuskupan Agung Kupang mengatakan 95 persen dari 18.000 umat paroki adalah warga eks-Timor Timur. Sebagian besar berasal dari Distrik Los Palos, Dili, Baucau, Viqueque, Aileu dan Manatutu.

Ia mengatakan Gereja Katolik sering menyuarakan keprihatinan dan meminta pemerintah untuk membantu menyelesaikan persoalan tanah, tapi tidak pernah berhasil.

“Ini aneh, pemerintah mengatakan telah memberi tanah kepada warga pada tahun 1999, tapi sampai saat ini tidak jelas tentang status tanah itu,” katanya.

Imam itu juga menyinggung soal Bendungan Raknamo yang diresmikan oleh Presiden Jokowi pada 9 Januari lalu.

Bendungan yang dibangun di atas lahan seluas 245 hektar itu akan menyediakan irigasi dan air bersih bagi masyarakat di Kabupaten Kupang, termasuk warga eks-Timor Timur.

Bendungan Raknamo tentu baik bagi masyarakat sekitarnya, khususnya pemilik tanah, tapi mungkin tidak bagi warga eks-Timor Timur.

Pastor Tamelab khawatir jika bendungan itu mulai beroperasi dalam beberapa tahun ke depan, para pemilik tanah akan mengambil-alih pengelolaan lahan yang saat ini dipercayakan kepada warga eks-Timor Timur.

“Kami khawatir akan hal ini. Karena jika lahan itu diambil dari mereia, mereka tidak akan punya apa-apa dan ini akan memicu konflik lain,” katanya.

Paroki St. Maria Fatima mengubah pendekatannya kepada umat paroki, lanjutnya. Paroki mendorong umat Katolik warga eks-Timor Timur agar membuka diri dan merangkul warga setempat.

“Jika sesuatu yang buruk terjadi, hal ini tidak akan melebar karena mereka telah mambangun hubungan baik dangan warga setempat,” katanya.

 

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi