Mantan Presiden Sri Lanka Mahinda Rajapaksa yang memenangkan pemilihan kepala daerah secara mutlak membuka kembali luka lama bagi korban perang Tamil.
Kemenangan besar mutlak partai Sri Lanka Podujana Peramuna (SLPP) mengancam orang Tamil yang sedang mencari kerabat yang hilang selama rezim Rajapaksa.
Rajapaksa, yang merupakan presiden dari tahun 2005 hingan 2015, memimpin kekalahan Macan Pembebasan Tamil Eelam (LTTE), mengakhiri perang saudara selama 26 tahun pada 2009.
Dia tetap populer di kalangan sebagian besar komunitas Sinhala di Sri Lanka namun dikalangan banyak minoritas Tamil ia tidak dipercaya.
Rezim Rajapaksa menolak permintaan pertanggungjawaban atas kejahatan perang yang terjadi selama perang sipil, dengan perkiraan PBB bahwa sebanyak 40.000 warga sipil Tamil terbunuh pada tahap akhir konflik tersebut.
Ananthy Sasitharan, seorang aktivis Tamil dan utusan daerah, mengatakan bahwa kemenangan pemilihan SLPP merupakan ancaman bagi HAM.
“Kami melihat ini sebagai kemenangan ekstremisme,” kata Sasitharan, yang suaminya hilang secara misterius menjelang akhir perang tahun 2009.
“Rezim Rajapaksa selalu menekan orang Tamil, melanggar hak asasi manusia dan menegakan keadilan atas pelanggaran hak dan kejahatan perang.”
Kasipillai Jeyavanitha, Ketua Forum untuk Orang Hilang di Vavuniya, mengatakan bahwa rezim Rajapaksa bertanggung jawab atas banyak orang yang hilang.
“Kami belum mendapat keadilan bahkan delapan tahun setelah perang usai, tapi kami terus menekannya,” kata Jeyavanitha.
“Dia harus bertanggung jawab atas kerabat kami yang hilang karena kami menyerahkan anak-anak kami ke tangan militer selama masa rezimnya.”
Pastor Jeyabalan Croos dari Keuskupan Mannar, seorang aktivis HAM Tamil, mengatakan bahwa PBB menyerukan pengadilan berbeda untuk menyelidiki tuduhan kejahatan perang.
“Amerika Serikat kemudian mensponsori bersama sebuah resolusi melawan kejahatan perang dengan pemerintah, namun tidak ada keadilan yang diberikan kepada orang-orang Tamil kami,” katanya.