UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Aktivis Indonesia Disuruh Tutup Mulut Terkait Hak atas Tanah

Maret 6, 2018

Aktivis Indonesia Disuruh Tutup Mulut Terkait Hak atas Tanah

Handoko, seorang pengacara dari etnis Tionghoa, sedang berjuang menentang dekrit yang melarang warga Indonesia keturunan Tionghoa untuk tidak memiliki tanah.

Pengacara Indonesia berketurunan Tionghoa diperintahkan untuk keluar dari Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta jika tidak mematuhi Surat Instruksi  berusia 40 tahun yang melarang orang-orang keturunan Tionghoa untuk memiliki tanah di wilayah itu.

Yogyakarta, satu-satunya wilayah di Indonesia yang masih mengikuti aturan monarki pra-kolonial – Sultan Yogyakarta yang bertugas  sebagai gubernur turun-temurun – masih memegang teguh pada Surat Instruksi yang dikeluarkan oleh gubernur  tahun 1975, yang hanya memberi hak kepada masyarakat adat untuk memiliki tanah.

Keputusan tersebut dikeluarkan pada saat ketidakpercayaan mendalam terhadap orang-orang etnis Tionghoa, yang dituduh terlibat dalam rencana komunis untuk membunuh perwira militer senior dalam usaha kudeta 10 tahun sebelumnya.

Handoko, seorang pengacara etnis Tionghoa sedang mencoba membuat pengadilan membatalkan keputusan tersebut, dengan mengatakan bahwa hal itu bersifat rasis dan diskriminatif. Pihak berwenang setempat mengatakan bahwa hal itu terjadi untuk mengurangi kesenjangan kekayaan antara orang-orang Tionghoa dan pribumi Indonesia.

Pengacara itu mengajukan banding pada 28 Februari setelah permohonannya ditolak oleh Pengadilan Negeri.

Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Hadiwinoto, saudara Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X mengatakan kepada Handoko untuk meninggalkan provinsi tersebut jika dia tidak menaati Surat Instruksi tersebut.

“Saya mengingatkan teman-teman Tionghoa saya untuk mengingat tidak hanya menuntut hak. Anda tinggal dan mati di sini, jika Anda tidak ingin (mematuhi perintah tersebut), tinggalkan Yogyakarta,” katanya minggu lalu.

Namun, Handoko tetap bersikap menantang.

“Saya akan berjuang untuk mengakhiri diskriminasi ini,” katanya kepada ucanews.com pada 4 Maret.

Pihak berwenang tidak bisa melakukan diskriminasi terhadap warganya berdasarkan ras, katanya.

“Situasinya tahun 1975 ketika Surat Instruksi  dikeluarkan jauh berbeda dengan  sekarang,” katanya.

Dia mengatakan banyak kawin campuran sejak saat itu berarti Surat Instruksi  tersebut juga mempengaruhi orang asli Indonesia juga.

 

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi