UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Women’s March 2018 Tekankan Perlindungan Hukum Bagi Perempuan

Maret 6, 2018

Women’s March 2018 Tekankan Perlindungan Hukum Bagi Perempuan

Anis Hidayah (tengah, mengenakan kaos putih), kepala Pusat Riset dan Studi Migrasi Migrant CARE, mengajak beberapa anggota kelompoknya dalam Women’s March yang digelar Sabtu (3/3) di Jakarta Pusat. (Foto: Katharina R. Lestari/ucanews.com)

Sekitar 1.200 perempuan berpartisipasi dalam Women’s March yang digelar di Jakarta Pusat baru-baru ini untuk mendorog pengesahan sejumlah rancangan undang-undang (RUU) yang mampu melindungi perempuan dari kekerasan.

Dengan tagar #LawanBersama, peserta aksi yakni anak-anak, pelajar dan mahasiswi serta beberapa laki-laki dan komunitas Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) membawa spanduk dengan berbagai macam pesan sambil berjalan sejauh sekitar 2,5 kilometer dari halaman Hotel Sari Pan Pacific menuju Taman Pandang Istana yang terletak di pelataran Monumen Nasional (Monas) pada Sabtu (3/3), lima hari menjelang peringatan Hari Perempuan Internasional.

“Tahun ini temanya kekerasan berbasis gender. Hashtag kita, #LawanBersama, maksudnya kita melawan bersama kekerasan (terhadap perempuan),” kata Kerrina Basaria, ketua panitia aksi dari Jakarta Feminist Discussion Group, kepada ucanews.com di sela-sela acara yang berlangsung selama sekitar lima jam itu.

Ia menyebut RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS) dan RUU Pekerja Rumah Tangga (RUU-PRT) sebagai contoh. “Yang mau kita tekankan adalah protection untuk kaum rentan, terutama perempuan. Kita mau menekankan hukum dan kebijakan,” lanjutnya.

RUU-PKS yang dirancang oleh Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) sudah tiga kali dibahas oleh Komisi VIII DPR-RI. Sementara itu, RUU-PRT belum dibahas oleh DPR-RI sejak 2004.

“Yang kita mau ada legitimasi hukum dan kebijakan yang non-diskriminatif,” kata Basaria.

Ketua Komnas Perempuan Azriana Manalu mengatakan Women’s March merupakan momentum bagi masyarakat Indonesia untuk membangun kesadaran untuk menghapus kekerasan terhadap perempuan di kalangan banyak pihak termasuk DPR-RI.

“Jika bicara soal otonomi tubuh, ini sangat dekat dengan situasi kekerasan terhadap perempuan yang semakin hari kita tahu angkanya semakin meningkat terutama di ranah privat – dalam keluarga dan relasi personal lainnya,” katanya.

Ia mengatakan banyak perempuan menjadi korban kekerasan seksual tetapi perlindungan hukum minim sekali. “Akibatnya, korban punya hambatan untuk mengakses keadilan,” lanjutnya.

Komnas Perempuan mencatat 321.752 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan pada tahun 2015. Angka ini meningkat dari 293.220 kasus pada tahun 2014.

 

Sekitar 1.200 perempuan berpartisipasi dalam Womens March untuk menuntut perlindungan hukum bagi perempuan. (Foto: Katharina R. Lestari/ucanews.com)   

 

Menurut Kepala Pusat Riset dan Studi Migrasi Migrant CARE Anis Hidayah,  gerakan perempuan dan masyarakat sipil sebenarnya telah berjuang mendorong pemerintah agar membangun sistem tata kelola yang berpihak kepada perempuan.

“Tapi tantangannya berlapis, tidak hanya negara, tapi juga pemodal. Situasi lain, misalnya soal iklim makin menguatnya fundamentalisme, turut berkontribusi,” katanya.

Sementara itu, Siti Musdah Mulia, Ketua Umum Yayasan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), menyesalkan pemahaman keliru pemerintah terkait perlindungan terhadap perempuan.

“Proteksi itu maksudnya apa? Seringkali yang dimaksudkan adalah kontrol. Kalau mau proteksi, proteksi kami melalui hukum yang adil, keamanan untuk menjaga supaya tidak ada perempuan yang dilecehkan,” katanya.

“Jadi proteksinya membangun keamanan yang adil dan tidak berpihak, membangun hukum yang adil gender, membangun fasilitas yang nyaman buat perempuan, memberikan pendidikan gratis dan berkualitas untuk perempuan terutama di tempat-tempat kecil dan terpelosok,” lanjutnya.

Data Komnas Perempuan menunjukkan bahwa ada sekitar 421 peraturan daerah (Perda) diskriminatif yang menargetkan perempuan di Indonesia. Misalnya, di Propinsi Aceh yang menerapkan Syariat Islam, ada satu Perda yang melarang perempuan duduk mengangkang di atas sepeda motor

Mike Verawati dari Paroki Keluarga Kudus di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, mengatakan ia berpartisipasi dalam aksi itu untuk menunjukkan solidaritas kepada semua perempuan yang menjadi korban kekerasan.

“Ini masanya bagi umat Katolik untuk melebur dengan society untuk bicara soal perdamaian, solidaritas antar-umat. Kita perlu banyak bersuara,” katanya.

Peserta lainnya, Aisha Servia, seorang pelajar di Global Jaya School di Tangerang, mengatakan perubahan sudah saatnya dilakukan agar hak asasi manusia ditegakkan oleh siapa pun.

“Yang perlu kita lakukan sekarang adalah mendidik orang lain dan membuat mereka tahu betapa penting penegakan hak asasi manusia itu, karena kita adalah satu dan kita tidak bisa membiarkan perbedaan kita memisahkan kita,” katanya.

Women’s March pertama diadakan tahun lalu dan diikuti oleh sekitar 1.000 orang. Tuntutannya adalah kesetaraan hak.

 

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi