“Santi” menghadapi perlakuan kasar di tangan suaminya setelah mereka mulai hidup bersama tahun 2012, menempatkannya di antara banyak korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang tidak bisa bersuara.
Empat tahun kemudian, ketika dia hamil empat bulan anak keduanya, dia memutuskan berpisah dan kembali ke rumah orangtuanya di Manggarai Barat, Flores, propinsi NTT.
Lima bulan lagi berlalu ia akan kejatuhan bom yang lebih besar lagi.
Saat itulah Santi, yang menggunakan nama samaran agar tidak menjadikan putranya korban diskriminasi, mengetahui bahwa bayi laki-lakinya telah dilahirkan dengan menderita HIV.
“Saya juga didiagnosis HIV positif, tetapi untungnya putri saya mendapat hasil negatif,” kata wanita berusia 25 tahun itu kepada ucanews.com.
Sejak itu Santi hidup dalam kecemasan yang terus-menerus saat ia bergulat dengan keadaan tanpa harapan dan menyalahkan dirinya sendiri atas apa yang terjadi pada anak laki-lakinya.
Putus asa karena tak kunjung mendapat bantuan atau setidaknya mendapat hiburan, ia menghadiri program sosialisasi tentang kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak pada Oktober 2017.
Salah satu penyelenggara acara adalah Suster Maria Yosephina Pahlawati SSpS dari Rumah Perempuan, sebuah layanan konsultasi di Manggarai Barat.
“Saya tersentuh oleh apa yang dia katakan ketika saya menceritakan masalah saya,” katanya, seraya menambahkan bahwa Suster Yosephine sangat ingin memberikan bantuan.
Santi sekarang adalah salah satu dari sejumlah wanita yang mendapat manfaat dari konseling biarawati dan menerima pil antiretroviral gratis, serta mendapat bantuan biaya akomodasinya.
Advokasi tanpa alas kaki
Selama satu dekade terakhir, Suster Yosephina secara aktif terlibat dalam program-program sosialisasi seperti ini yang mengharuskan dia mengunjungi desa-desa terpencil – terkadang tanpa alas kaki – untuk meningkatkan kesadaran tentang kekerasan rumah tanggak dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya.
Provinsi NTT berpenduduk 5,2 juta orang, 55,4 persen beragama Katolik dan sekitar 1,1 juta hidup dalam kemiskinan.
Di Kabupaten Manggarai Barat, tempat Suster Yosephina tinggal, 42 persen penduduk hidup di bawah garis kemiskinan.
Suster Yosephina berbicara tentang kekerasan terhadap perempuan dan anak di hadapan warga di Welak, Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi NTT, pada 17 Maret. Foto: Ferdinand Ambo)
Dia mengatakan memerangi masyarakat Indonesia yang masih sangat patriarkal adalah perjuangan yang berat.
“Kondisi seperti itu memperburuk kerentanan wanita dan anak-anak, membuka jalan bagi mereka menjadi korban eksploitasi,” kata perempuan berusia 42 tahun itu.
Suster Yosephina telah membantu 56 korban perdagangan manusia, enam korban kekerasan seksual, 14 gadis yang hamil di luar nikah, dan 15 korban kekerasan dalam rumah tangga.
Banyak wanita berharap menemukan cara-cara berdamai dengan pasangan mereka karena masyarakat masih sinis tentang perkawinan yang gagal, katanya.
“Perceraian tidak pernah menjadi solusi yang dicari, terutama bagi mereka yang sudah memiliki banyak anak,” tambahnya.
Sementara dia menyelesaikan yang dianggap perlu dalam kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga, dia mengatakan tidak punya pilihan selain melaporkan kasus perdagangan manusia dan kekerasan seksual kepada polisi.
Ini menyebabkan penangkapan dan pemenjaraan banyak pelaku, katanya.
Pada 2015, dua pelaku perdagangan manusia yang dilaporkannya masing-masing dijatuhi hukuman penjara dua tahun. Pada Februari, seorang pria yang memperkosa seorang gadis lima tahun dijatuhi hukuman delapan tahun penjara karena kejahatannya.
Suster Yosephina mengatakan pedagang manusia mengeksploitasi keluarga miskin dari daerah pedesaan dengan menipu mereka agar berpikir bahwa mereka mengizinkan anak perempuan mereka mencari pekerjaan yang lebih baik dan kehidupan yang lebih baik.
“Lebih buruk lagi, pemerintah sering terlibat dalam kejahatan ini dengan memalsukan dokumen bagi buruh migran,” katanya.
Meningkatkan kesadaran di kalangan para pelajar adalah salah satu kegiatan utama Suster Yosephina.
Suster Yosephina mengatakan HIV adalah kekhawatiran yang berkembang karena banyak wanita yang terjerumus menjadi PSK, dan mereka tidak dapat memilih apakah “pelanggan” mereka menggunakan kondom.
Penyakit ini kemudian dengan mudah disebarkan oleh orang-orang seperti pengemudi truk dan yang lain karena pekerjaannya menyebabkan mereka melakukan perjalanan jauh, katanya.
“Ketika mereka kembali ke rumah, mereka menyebarkannya ke pasangan mereka. Jadi, setiap kali kami mengadakan sesi sosialisasi ini, saya selalu memberi tahu para ibu yang suaminya sering bepergian mendapatkan mereka berdua segera diuji untuk memastikan mereka tidak memiliki HIV atau AIDS,” ujarnya.
Suster Yosephina mengatakan dia juga melatih para wanita berpikir dan bertindak lebih mandiri, misalnya mempersiapkan mereka dengan keterampilan untuk mengubah botol bekas menjadi bunga plastik yang dapat dijual di pasar, atau mengajari mereka cara mengolah kedelai menjadi makanan nutuk memperoleh pendapatan.
“Kami menggunakan sebagian uang dari proyek-proyek ini untuk membantu mereka dan korban lainnya,” katanya.
Untuk Santi, Suster Yosephina berencana mendaftarkannya ke kursus menjahit.
“Saya berharap, di masa depan, mereka dapat mengubah kehidupan mereka sendiri,” katanya.
Tuhan menuntun jalannya
Biarawati itu mengatakan menangani kasus-kasus seperti itu adalah tantangan terus menerus yang membutuhkan banyak stamina karena ia secara efektif “menerima telepon” 24 jam sehari.
“Kadang-kadang ketika saya bersiap tidur, saya mendapat telepon tiba-tiba meminta bantuan,” katanya.
Pada 7 April, ia menyelamatkan tiga gadis yang akan diselundupkan ke Jakarta. Orang-orang yang bertanggung jawab telah memalsukan usia salah satu gadis, di bawah umur, menceritakan bahwa mereka mendapat bantuan dari pemerintah setempat, katanya. Polisi sekarang memburu para tersangka utama.
Namun, ada rahmat besar untuk pekerjaan itu, seperti ketika dia bertemu seseorang yang telah kehilangan harapan dalam hidupnya tetapi, melalui upaya biarawati itu, ia memutuskan untuk terus berjuang.
“Ini membawa saya sukacita besar ketika saya bertemu para wanita yang pada awalnya mengatakan mereka ingin mengakhiri hidup mereka tetapi kemudian berubah dan menjadi lebih optimis,” katanya.
Suster Yosephina mengatakan dia juga tergerak oleh berapa banyak orang yang maju menawarkan bantuan dengan membiayai kegiatannya.
“Sesuatu yang lebih besar adalah mengajak mereka memandang hari-hari ke depan dengan penuh optimisme,” katanya. “Saya benar-benar percaya ini adalah pekerjaan Tuhan. Saya hanya saluran-Nya.”