UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Misionaris Columban Tidak Pernah Bisa Mengabaikan Cina

April 30, 2018

Misionaris Columban Tidak Pernah Bisa Mengabaikan Cina

Foto di Konsulat Irlandia di Hong Kong pada 15 Maret pada peluncuran sebuah buku (dari kiri) Peter Ryan, Kardinal John Tong, Pastor Houston, Kardinal Joseph Zen dan Pastor Dan Troy. (Foto: ucanews.com)

Para misionaris Columban merayakan 100 tahun (1918-2018) dengan meluncurkan sebuah buku baru yang berisi sejarah misi mereka di Hong Kong dan Cina sebagai kesaksian atas apa yang telah mereka lakukan.

Pastor Joseph Houston menghabiskan waktu hingga lima bulan  menulis buku berjudul “Misionaris Columban di Hong Kong.”

Kisah para misionaris awalnya muncul dalam jilid ketiga “Sejarah Ordo Religius Katolik dan Kongregasi Misionaris di Hong Kong,” yang diterbitkan oleh Pusat Studi Katolik Universitas Cina Hong Kong.

Buku terbaru itu menunjukkan betapa besarnya peran para misionaris Columban bagi perkembangan Gereja di Cina dan Hong Kong.

Salah satu pendiri kongregasi ini, Uskup Edward Galvin, diilhami oleh seorang misionaris Kanada. Ia membentuk komite para imam yang tertarik  mengajukan petisi kepada para uskup Irlandia  membantu mendirikan seminari bagi para imam untuk Gereja Cina, kata buku itu.

Tahun 1918, seminari dan sebuah komunitas misionaris baru dibentuk. Kemudian, kongregasi  itu dinamai Perhimpunan Santo Columban, orang kudus  Irlandia kuno. Kongregasi ini didirikan dengan tujuan evagelisasi di Tiongkok.

Tahun 1902, Uskup Galvin tiba di keuskupan Hanyang, yang terletak di provinsi Hubei. Para misionaris segera mengambil alih dua paroki yang baru dibentuk – Nancheng di provinsi Jiangxi dan Huzhou di provinsi Zhejiang.

Pastor Galvin kemudian melayani sebagai uskup pertama di Hanyang.

Para imam dilatih di seminari untuk bekerja di Cina dan mendorong mereka  belajar bahasa Inggris sehingga mereka dapat mempersiapkan misi mereka.

Sejak itu, banyak misionaris yang dikirim ke Tiongkok melayani di tiga provinsi di Hubei, Jiangxi dan Ganjiang, serta di Beijing dan Shanghai.

Pada peluncuran buku itu, Peter Ryan, konsulat jendral Irlandia untuk  Hong Kong dan Macau, berterima kasih kepada para misionaris Columban atas kerendahan hati, kepedulian, empati dan kontribusi mereka dalam hal membawa Kekristenan ke Tiongkok.

“Mereka mimiliki pemahaman budaya yang nyata, empati yang nyata, cara hidup misionaris yang alami, dan pendekatan alami dalam berurusan dengan masyarakat,” katanya.

“Mereka tidak pernah datang dengan rasa superioritas. Malah sebaliknya, mereka sangat rendah hati dan bersahaja.”

Bahkan ketika para misionaris ditekan dan dipenjarakan di Tiongkok selama Revolusi Kebudayaan (1966-1976), mereka tidak pernah kehilangan iman.

Setelah buku itu diterbitkan, Pastor Houston mengenang Pastor Aedan McGrath, salah satu misionaris Columban, yang menceritakan bagaimana dia dipenjara di Shanghai dari tahun 1951 hingga 1954, seraya  menambahkan  penjara itu tidak bisa mengikis imannya.

Mengutip dari buku, Pastor McGrath berkata: “Dia baik-baik saja, dalam semangat terbaik, berjuang setiap hari  mempertahankan imannya.”

Pastor McGrath mempromosikan Legio Maria di Cina  tahun 1947 dan mendirikan kelompok lain di Hong Kong  tahun 1948, yang kemudian ia kunjungi kembali di tahun-tahun terakhirnya.

Tahun 1920, Pastor John Blowick, salah satu pendiri kongegasi, melewati Hong Kong dan terkesan oleh gaya hidup miskin dari Uskup Hong Kong Pozzoni dan anggota klerus lainnya.

Dia mengenang kembali betapa ia terpikat oleh keindahan kota itu.

Sejak saat itu, Hong Kong telah menempa peran yang tak tergantikan untuk dirinya sendiri dalam membantu pengembangan misionaris di Tiongkok.

Selama Revolusi Kebudayaan ketika para rohaniwan, biarawati dan orang awam dianiaya di Tiongkok, Hong Kong berfungsi sebagai stasiun tengah bagi mereka saat mereka transit ke negara-negara yang lebih “bersahabat”.

Para misionaris pada waktu itu akan membantu mengatur akomodasi untuk mereka dan membeli tiket sehingga mereka dapat berlayar ke tujuan berikutnya.

Sementara situasi di Cina menjadi semakin parah, properti Gereja disita, imam dan biarawati terperosok dalam kemiskinan, sering bergantung pada bantuan untuk bertahan hidup.

“Seorang imam menyebutkan bahwa barang-barang seperti gula, daging, dan ikan hanyalah kenangan indah,” menurut salah satu bagian di buku baru itu.

Tahun 1952, Uskup Galvin dan misionaris lainnya melarikan diri dari Cina. Ketika uskup tiba di Hong Kong, dia “kurus, tampak lusuh, lebih mirip pengemis daripada yang lainnya,” kata buku itu, mengutip seorang suster  yang menemuinya di Susteran Columban di Sanatorium Ruttonjee sesaat setelah dia tiba.

“Dia menyemangati semua orang dengan martabat yang tinggi, kesopanan, dan udara kemenangan ada di sekelilingnya. Itu adalah kemenangan ketabahan, kemenangan Salib,” kata biarawati.

Narasi lain yang menarik adalah bagaimana seorang imam memberi kepada klerus lain “sensasi kegembiraan karena pada akhirnya bisa bebas” setelah ia muncul di stasiun kereta Lowu di Hong Kong.

Kemudian, wilayah itu berfungsi sebagai “rumah singgah” dan membantu para imam di Myanmar.

Meskipun pekerjaan para misionaris di Cina secara paksa ditangguhkan, harapan mereka bahwa penginjilan akan menyebar di Cina tidak pernah memudar, dan  tahun 1980-an mereka kembali ke sana.

Tahun 1987, Audrey Donnithorne, mantan rekan profesor di Universitas Nasional Australia di Canberra, bertemu seorang teman yang telah menghabiskan 20 tahun dipenjara karena imannya di Guiyang provinsi Guizhou.

Teman itu menyebutkan bagaimana seorang misionaris Yesuit Italia bernama Pastor Matteo Ricci dapat bekerja di Cina karena kontribusi budayanya kepada negara.

Dia menyarankan umat Katolik hari ini menggunakan metode yang sama untuk masuk ke negara itu, di mana Partai Komunis yang berkuasa mempertahankan kontrol ketat terhadap Gereja.

Donnithorne kembali ke Hong Kong dan membantu mendirikan organisasi yang dapat memberikan kontribusi ke Tiongkok.

Organisasi itu disebut Asosiasi Pertukaran Teknologi, Ekonomi, dan Budaya Internasional (AITECE) dan mencari orang-orang seperti pendiri kongregasi Columban, Pastor Edward Kelly.

Hingga September tahun lalu, AITECE telah menempatkan 395 guru di 23 provinsi dan wilayah metropolitan di Cina.

Organisasai ini juga mempromosikan industri pertenunan untuk membantu komunitas Gereja lokal menjadi mandiri, dan membantu mengatur agar para siswa Cina dari seminari dan imam dapat belajar di luar negeri dan kemudian membawa Injil ke Tiongkok.

Pastor Edward Kelly, seorang misionaris yang telah aktif di Cina, telah berhubungan dengan para uskup Cina sejak tahun 1986 dan menulis banyak artikel tentang evagelisasi di Cina.

Dalam salah satu yang ia tulis: “Warisan mereka (Misionaris Columban) kepada kami adalah komitmen mereka kepada Kristus dan kepada Cina. Komitmen itu perlu dilanjutkan dengan kekuatan yang sama hari ini dalam terang Tanda-Tanda Zaman kita. Tugas pertama kami adalah harus mengerti tanda-tanda ini. ”

 

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi