UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Umat ​​Katolik Protes Perampasan Tanah untuk Proyek

Mei 25, 2018

Umat ​​Katolik Protes Perampasan Tanah untuk Proyek

Umat Katolik menghadiri Misa hari Minggu di Gereja Thu Thiem Church pada 20 Mei. Gereja paroki berusia 159 tahun itu adalah salah satu tertua di kota Ho Chi Minh. (Foto: Tin Mung Cho Nguoi Ngheo)

Aktivis dan intelektual termasuk umat Katolik meminta pemerintah Vietnam  mengembalikan tanah milik kepada organisasi religius  dan penduduk yang diusir dari rumah-rumah mereka karena proyek pembangunan yang sangat kontroversial.

Pada  1 Mei, Nguyen Thanh Phong, ketua Komite Rakyat Kota Ho Chi Minh, meminta pihak berwenang yang lebih rendah  merencanakan pemindahan Gereja Thu Thiem dan biara dari Kongregasi Suster-suster Salib Suci dari daerah perkotaan baru Thu Thiem sehingga investor dapat membangun jalan dan taman umum.

Dua fasilitas religius itu, yang telah ada selama lebih dari 150 tahun, tetap berada di daerah yang akan  menjadi pusat perdagangan dan keuangan internasional. Daerah ini dikelilingi oleh Sungai Saigon yang berbatasan dengan Distrik 1, kawasan perdagangan perkotaan terbesar di Vietnam. Proyek ini disetujui oleh perdana menteri almarhum Vo Van Kiet  tahun 1996.

Sekitar 50.000 penduduk telah dipindahkan secara paksa atau digusur dari lebih dari 10.000 rumah mereka sendiri. Pihak berwenang mengusir banyak biksu Buddha dari Pagoda Lien Tri dan merobohkannya tahun 2016.

Surat kabar Tuoi Tre yang dikelola negara melaporkan bahwa pemerintah kota mengubah rencana proyek asli dan mengambil 169 hektar dari penduduk untuk ditawarkan kepada investor membangun apartemen.

“Masyarakat sipil dan pribadi  baik di Vietnam serta di luar negeri secara resmi meminta pemerintah memberikan Lien Tri Temple, para Suster  Salib Suci dan penduduk mengembalikan rumah dan tanah mereka, yang bukan bagian dari rencana ekspansi perkotaan sesuai dengan arahan  perdana menteri,” demikian pernyataan para pengunjukrasa.

Pernyataan yang dikeluarkan pada 19 Mei telah menarik banyak warga melakukan petisi online dari 20 kelompok masyarakat sipil, kelompok pembela demokrasi HAM, 361 aktivis, mantan pejabat pemerintah dan intelektual termasuk Uskup Paul Nguyen Thai Hop, ketua Komisi Keadilan dan Perdamaian Konferensi Waligereja Vietnam,  11 imam dan pendeta.

Mereka meminta pemerintah  memberikan ganti rugi yang tepat bagi mereka yang rumah dan tanah diambil secara paksa.

Pernyataan mereka muncul setelah Perdana Menteri Nguyen Xuan Phuc mengakui 15 Mei bahwa pihak berwenang setempat membuat kesalahan dalam mengelola lahan proyek, menangani keluhan warga dan menyimpan dokumen. Dia memerintahkan pihak berwenang  memastikan warga memiliki rumah dan menyelesaikan keluhan mereka dengan benar dan sesuai ketentuan hukum.

Selama pertemuan 9 Mei dengan pemerintah kota, ratusan warga memprotes karena mereka diusir paksa dari rumah mereka dan diberi pembayaran kompensasi yang tidak pantas. Banyak yang tidak memiliki cukup uang untuk hidup di tempat baru dan yang lain menjadi tunawisma. Rumah-rumah di tempat-tempat yang direlokasi berada dalam kondisi buruk.

Nguyen Ngoc Thanh,  korban, mengatakan ia diberi  94 juta dong (sekitar Rp 58 juta) sebagai kompensasi untuk rumahnya yang berukuran 59 meter persegi tetapi harus mencari 800 juta dong untuk membeli rumah di tempat lain.

Wanita lain, Le Thi Bach Tuyet, mengatakan tidak adil bahwa di beberapa tempat pemerintah memberi kompensasi kepada orang-orang sebesar 18 juta dong per meter persegi untuk rumah mereka tetapi kemudian para investor menjual petak tersebut 350 juta dong per meter persegi.

Pernyataan mengenai proyek itu menunjukkan bahwa hak untuk hidup dan beribadah ribuan warga telah dilanggar secara serius.

Pernyataan itu menunjukkan betapa pelanggaran hukum sangat mempengaruhi rezim totaliter saat ini, dan akar masalahnya adalah anggapan bahwa seluruh tanah adalah milik semua orang tetapi harus dikelola oleh negara.

Pernyataan itu mendesak pemerintah segera menghentikan semua perampasan lahan ilegal yang dilakukan oleh pemerintah setempat terhadap pemilik yang sah. Pemerintah harus mengadili secara hukum hingga batas maksimum kepada mereka yang bertanggung jawab atas penghancuran kehidupan warga, melanggar hukum dan menodai nilai-nilai nasional.

Peserta penandatangan ingin membuat panel inspeksi termasuk anggota masyarakat sipil dan korban perampasan tanah untuk meninjau proses perencanaan kota secara menyeluruh dan memantau pelaksanaannya di seluruh Vietnam.

Mereka juga meminta agar konstitusi diamandemen untuk memungkinkan kepemilikan lahan publik dan pribadi.

 

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi