UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Masyarakat Filipina Gelar Prosesi Maria untuk Memprotes Pelanggaran HAM

Mei 29, 2018

Masyarakat Filipina Gelar Prosesi Maria untuk Memprotes Pelanggaran HAM

Beberapa perempuan yang mengenakan kostum yang merupakan simbol dari kebenaran, pengharapan, keadilan, perdamaian dan kemartiran berparade mengelilingi kampus Universitas Filipina di Quezon City pada 26 Mei untuk mendramatisasi aksi protes mereka menentang dugaan pelanggaran hak asasi manusia. (Foto: Jire Carreon/ucanews.com)

Sejumlah aktivis hak asasi manusia (HAM) di Filipina menggelar apa yang mereka sebut sebagai prosesi Maria “alternatif” pada 26 Mei untuk mendramatisasi aksi protes mereka terhadap dugaan pelanggaran HAM.

Kelompok HAM Karapatan dan Hustisya mengadakan “Protes Mei Melawan Tirani” yang menggambarkan pelanggaran HAM yang diduga dilakukan oleh pemerintahan Presiden Rodrigo Duterte.

Beberapa perempuan mengenakan berbagai macam kostum yang merupakan simbol dari kebenaran, pengharapan, keadilan, perdamaian dan kemartiran. Mereka berparade di sekitar kampus Universitas Filipina di Quezon City.

Sejumlah isu yang diangkat dalam aksi protes itu adalah perang melawan narkoba yang dilakukan Presiden Duterte, serangan terhadap pembela HAM, pembatasan kebebasan pers dan kebangkitan komunis.

Cristina Palabay dari Karapatan mengatakan para perempuan yang mengenakan kostum itu mewakili berbagai masalah yang dihadapi masyarakat Filipina di bawah pemerintahan Presiden Duterte.

Deborah Escudero, saudara kandung dari Ephraim Escudero, 18, yang terbunuh dalam perang melawan narkoba yang dilakukan oleh pemerintah, mengenakan pakaian berwarna putih dengan bercak-bercak darah dan sebuah kain selempang bertuliskan “Garis Polisi, Dilarang Melintas.”

“Siapa saja bisa menjadi korban dari perang melawan narkoba yang mematikan, bahkan orang yang tidak bersalah sekalipun,” katanya.

Aksi protes itu juga merupakan respon terhadap kampanye “Saya adalah perempuan” di kalangan berbagai kelompok perempuan yang memprotes kritik Presiden Duterte terhadap perempuan.

Dalam sebuah sambutan pada 24 Mei, Presiden Duterte mengatakan ia yakin akan “kompetensi dan kapabilitas” perempuan. Namun hal ini tidak terkait dengan semua aspek kehidupan. Perempuan “tidak bisa melawan ancaman dan intimidasi.”

“Presiden telah menyinggung perasaan perempuan, bukan hanya dengan kata-kata tetapi dengan perbuatan,” kata Gleezajoy Belandrez, seorang warga suku yang memerankan “Ratu Perdamaian” selama aksi protes tersebut.

“Deklarasi kepemimpinan militer (dari Presiden Duterte) di Mindanao sangat mempengaruhi perempuan dan anak-anak, kelompok yang paling rawan,” lanjutnya.

Maria Solo Taule, pengacara biarawati asal Australia, Patricia Fox, yang diperintahkan oleh Presiden Duterte untuk meninggalkan Filipina, mendesain dua kostum yang dikenakan selama aksi protes yang disebut Santacruzan itu.

“Santacruzan memainkan peran yang besar dalam kehidupan kami sebagai masyarakat Filipina,” katanya, seraya menambahkan bahwa masyarakat Filipina “mengaitkan pertempuran kami dengan bagaimana umat Kristiani perdana berjuang mencari kebenaran.”

Suster Maria Rosario Battung dari Kongregasi Gembala Baik memuji panitia prosesi.

“Pencarian Suster Helena akan Salib Sejati merupakan sebuah pencarian akan kebenaran. Kebenaran yang akan memberikan keadilan dan menjawab semua pertanyaan,” katanya.

Suster Battung mengatakan “Santacruzan alternatif” juga merupakan “sebuah pencarian akan kebenaran yang akan memberikan keadilan bagi para korban tirani.”

“Masyarakat di negara ini telah mengalami begitu banyak kesulitan. Mereka membawa salib ketidakadilan, budaya impunitas dan penindasan,” lanjutnya.

Promosi Respon Umat Gereja mengatakan aksi protes itu merupakan “ungkapan iman” umat Kristiani yang tengah mengalami ketidaksetaraan dan prasangka.

“Iman dan religiositas sangat mengakar dalam kebudayaan kita,” kata Nikki Gamara, juru bicara kelompok itu.

Ia mengatakan prosesi yang membawa sebuah pernyataan politis itu “merupakan cara kami untuk menunjukkan ketidaksetujuan terhadap kebijakan pemerintah yang menambah beban bagi perjuangan kami sehari-hari.”

“Saat masyarakat Filipina memohon perantaraan Bunda Maria, penting bahwa kita melakukan sesuatu untuk mempromosikan keadilan dan perdamaian abadi,” lanjutnya.

Santacruzan seyogyanya merupakan kontes Katolik yang diadakan di seluruh negara itu selama bulan Maria untuk menghormati Bunda Maria.

Kontes itu dimulai setelah proklamasi dogma Maria Dikandung Tanpa Noda pada 1854 dan setelah publikasi terjemahan Mariano Sevilla atas devosi Flores de Maria atau Bunga Mawar Maria.

Perayaan itu juga memperingati apa yang sebenarnya merupakan pencarian Salib Suci oleh Ratu Helena dan anak laki-lakinya, Kaisar Konstantin.

 

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi