Selama satu dekade, Ropina Tarigan (Vina) menjadi ibu kedua bagi lebih dari 100 anak penderita HIV di sekitar Jabotabek.
Orang tua mereka telah meninggal akibat tertular virus mematikan itu sehingga anak-anak tersebut kini tinggal bersama nenek atau kerabat mereka dan juga bantuan dari Vina.
Bidan berusia 54 tahun dan ibu dari dua anak ini mulai mengasuh lima anak tahun 2007 dan sejak itu jumlahnya melonjak menjadi 130. Mereka berusia dari 4-17 tahun.
Setiap hari Vina mengunjungi banyak anak di tempat mereka tinggal untuk memantau kesehatan mereka dan menyediakan obat-obatan antiretroviral (ARV).
Menurut Departemen Kesehatan Indonesia, lebih dari 620.000 orang penderita HIV, sekitar 4.000 di antaranya adalah anak-anak.
“Anak-anak dengan HIV ini ditularkan dari ibu mereka dan ibu mengidap virus itu dari suami mereka,” kata Vina kepada ucanews.com.
Dia mengatakan dari 130 anak asuhannya, 20 orang tinggal di rumahnya bersama keluarganya sehingga dia dapat memantau kesehatan mereka setiap hari.
“Kadang mereka merasa rindu dan ingin melihat kakek dan nenek mereka,” kata Vina.
Dia sebelumnya bekerja di KIOS Atma Jaya, sebuah kelompok peneliti dan pencegahan HIV/AIDS yang dikelola oleh Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta.
Diskriminasi
Beberapa orang di sekitar anak-anak ini, termasuk teman sekolahnya tahu bahwa mereka memiliki HIV dan sering mendapat perlakuan diskriminatif.
“Mereka menghadapi beban berat pada usia muda mereka,” kata Vina.
Seringkali guru, siswa dan masyarakat pada umumnya tidak diberitahu tentang HIV/AIDS dengan baik dan ini menjadi tantangan besar bagi dia dan orang lain untuk membantu.
“Jadi saya memutuskan untuk membuka status mereka di sekolah mereka sehingga anak-anak tersebut mendapat perhatian khusus,” tambah Vina.
“Misalnya, ketika mereka sakit di sekolah, guru atau siswa dapat membantu mereka pulang,” katanya.
Vina dan suaminya Agus Siswanto memberikan konseling dan mendidik siswa SMP dan SMA serta masyarakat umum tentang bahaya HIV/AIDS serta bagaimana membantu orang lain yang terjangkit virus itu.
Dituduh Kristenisasi
Pada tahun-tahun awal pelayanannya, Vina dituduh tetangganya melakukan kristenisasi terhadap anak-anak penderita HIV. Bahkan seorang ulama Muslim mengumumkan di sebuah masjid setempat bahwa Vina memiliki misi untuk melakukan kristenisasi terhadap anak-anak itu.
Tetapi setelah menyaksikan ketulusan komitmennya, kebanyakan warga tidak lagi memiliki kekhawatiran seperti itu dan dia sekarang berhubungan baik dengan para pemimpin Muslim lokal dan pejabat pemerintah.
“Yang paling mengejutkannya adalah beberapa sekolah tempat anak-anak belajar dan teman-temannya mengatakan kepada saya bahwa Vina lebih baik kamu suntik mati saja mereka,” katanya.
Tetapi ,dia menyadari bahwa mereka bereaksi dengan cara itu karena ketidaktahuan mereka.
“Ini tantangan untuk mendidik orang tentang cara melakukan advokasi dan merangkul orang dengan HIV/AIDS,” kata Vina.
Kesulitan lain mencakup biaya sekolah, membeli makanan dan mengadakan kampanye kupada masyarakat.
Setiap bulan ia menghabiskan dana sekitar Rp 14.000.000, untuk kampanye, pelatihan, advokasi dan pendidikan tentang HIV.
Tahun 2015, Vina mendirikan yayasan sendiri, Vina Smart Era (VSE) di Jakarta Barat yang padat penduduk untuk memberikan perawatan kesehatan dan pendidikan bagi anak-anak dengan HIV serta advokasi agar mereka diterima kembali oleh anak-anak lain.
Yayasan ini juga memiliki asrama, fasilitas bimbingan belajar agar anak-anak dengan HIV ini bisa berbaur dengan anak-anak lain serta klinik ini telah memberikan tes HIV kepada 2.500 orang.
Relawan, termasuk para mahasiswa dari Universitas Katolik Atma Jaya dan Universitas Indonesia membantu Yayasan itu dan juga bekerja sama dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).
Kementerian Kesehatan Indonesia menyediakan ARV dan memberi anak akses ke beberapa rumah sakit dan pusat kesehatan masyarakat.
Merasa diberkati
Menurut Vina, menemukan anak penderita HIV sangat sulit karena mereka adalah sebuah komunitas tersembunyi atau tertutup karena mereka takut mengalami diskriminasi setelah warga sekitar mengetahui status mereka.
Namun, ia melakukan segala kemungkinan untuk menemukan anak-anak penderita HIV yang membutuhkan perawatan.
Aditya, 13, dan adik laki-lakinya berusia 7 tahun, menderita HIV sejak lahir. Ibu mereka meninggal karena AIDS tahun 2013 dan sekarang mereka tinggal di Ciputat, Provinsi Banten, bersama ayah mereka, seorang pekerja bangunan.
Dia mengucapkan terima kasih atas dukungan, termasuk obat-obatan, yang diberikan oleh Vina Smart Era Foundation.
Mira, 14, siswi kelas 8, mengatakan kadang-kadang dia tidak bersekolah dan tidak dapat fokus dalam belajarnya karena dia merasa pusing jika ia lupa minum ARV.
“Aku ingin sembuh karena aku merasa tidak enak minum obat setiap hari. Kadang-kadang aku menangis sendirian di kamarku,” katanya.
Ayah dan ibunya serta satu adiknya telah meninggal akibat AIDS. Ia seksrang tingel beraam neneknya namun biaya sekolahnya oleh VSE.
Angela Yvone, seorang relawan di VSE, mengatakan membantu anak-anak memberinya kesempatan untuk belajar dari mereka.
“Saya telah belajar banyak tentang HIV/AIDS, bagaimana penularannya dan bagaimana membantu mereka yang hidup dengan virus itu,” katanya.
* Aditya dan Mira bukan nama sebenarnya.