Seorang imam Katolik yang melayani sebagai pastor di Kepolisian Filipina mengalami luka-luka setelah serangan senjata di Kota Calamba, sekitar 60 kilometer dari Manila, pada 6 Juni.
Pastor Rey Urmeneta, 64, seorang imam di Paroki St. Michael Malaikat Agung di kota itu, sedang dalam perjalanan untuk menghadiri sebuah pertemuan Gereja ketika dua pria bersenjata menembaknya.
Laporan polisi yang diperoleh oleh ucanews.com mengatakan imam itu berada di mobilnya berama sekretaris Remedios de Belen ketika penembakan terjadi sekitar pukul 9.40 pagi.
Pastor Urmeneta menderita luka di punggung kiri bagian atas dan lengan kirinya. Dia dilarikan ke rumah sakit dimana dia dilaporkan berada dalam kondisi stabil.
Penyelidikan sedang berlangsung untuk menentukan motif serangan itu, meskipun imam itu mengatakan kepada polisi bahwa insiden itu mungkin ada hubungannya dengan orang-orang yang berhutang padanya.
Pada April, Pastor Mark Ventura dari kota Gattaran Filipina utara meninggal setelah ditembak oleh seorang pria bersenjata tak lama setelah merayakan Misa hari Minggu.
Pada 4 Desember 2017, Pastor Marcelito Paez juga ditembak dan dibunuh di kota Jaen, provinsi Nueva Ecija.
Jaringan pembangunan sosial berbasis agama di Filipina, Misereor Partnership Inc. (PMPI), mengungkapkan “dukacita yang mendalam” atas kematian para imam yang dikenal sebagai pembela HAM.
Yoly Esguerra, koordinator PMPI, menjelaskan pembunuhan Pastor Ventura sebagai “tidak masuk akal.”
“Membunuh seorang imam yang telah memilih untuk hidup dengan orang-orang sederhana di tempat-tempat jauh dan terlupakan untuk menebus kurangnya kehadiran pemerintah di daerah itu tidak masuk akal,” kata Esguerra dalam sebuah pernyataan.
Pastor Paez ditembak setelah mengunjungi penjara untuk membantu membebaskan seorang tahanan politik.
Kelompok HAM mengatakan pembunuhan para imam dan serangan terhadap pembela HAM di negara itu telah menjadi “sumber keprihatinan mendalam kami.”
“Kami tidak bisa tidak bertanya, apakah ini cara untuk membungkam suara-suara kritis dari kelompok yang berpotensi menantang dan menentang peraturan dan kebijakan dari mereka yang berkuasa?” demikian pernyataan PMPI yang dirilis pada Mei.
Kelompok itu mengatakan Gereja, “meskipun banyak peluang dan tantangan internal,” telah menjadi “landasan moral yang konsisten” bagi para pemimpin dan pemerintah di masa lalu.
Menurut Global Witness, kelompok non-pemerintah yang berbasis di London, Filipina adalah negara paling mematikan kedua bagi para aktivis tahun 2017.