UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Umat ​​Katolik Harus Terlibat Aktif Dalam Politik Indonesia

Juni 13, 2018

Umat ​​Katolik Harus Terlibat Aktif Dalam Politik Indonesia

Seorang wanita menyalurkan suaranya pada Pilkada gubernus DKI Jakarta pada 15 Februari 2017. (Foto: Ryan Dagur/ucanews.com)

Bertahun-tahun berkprah dalam dunia politik telah mengajarkan Stefanus Asat Gusma untuk mengambil kegagalan sebagai persiapan menuju sesuatu yang lebih besar.

Empat tahun lalu Gusma, yang berasal dari Bondowoso  Jawa Tengah, tidak lolos menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

Namun hal itu tidak menghalanginya dan berharap akan kembali mengikuti pemilihan legislatif pada bulan April tahun depan.

“Saat ini proses sedang berjalan dan menunggu penugasan dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, untuk masuk ke daerah pemilihan yang mana,” kata Gusma.

Baginya, keterlibatan dalam politik adalah manifestasi dari keyakinannya dan ajaran sosial Gereja.

Minatnya dalam politik dimulai saat di sekolah menengah dan berkembang selama belajar di universitas di Surakarta. Kemudian ia terpilih sebagai ketua Presidium Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) dari 2009 hingga 2011.

Pindah ke Jakarta memungkinkan Gusma memperluas wawasan politiknya. Dia semakin terlibat jauh ke dalam perjuangan masyarakat Indonesia dan meningkatkan relasi dengan orang-orang yang berpengaruh dan partai politik.

“Setelah saya selesai di PMKRI, beberapa partai politik mendekati saya, tetapi saya memilih PDIP, karena misi politiknya paling dekat dengan saya,” katanya.

Sekarang PDIP, yang didirikan  tahun 1999 oleh Megawati Soekarnoputri, putri presiden pertama Indonesia Sukarno menjadi partai penguasa. PDIP dikenal sebagai partai wong cilik – orang-orang yang terpinggirkan.

Partai PDIP saat ini menjadi  bagian dari koalisi pemerintahan setelah memenangkan 109 kursi di dewan perwakilan rakyat dari  560 kursi yang diperebutkan empat tahun lalu.

Selain Gusma, ada sejumlah politisi Kristiani lainnya menjadi anggota PDIP. Namun mayoritas dari 340.000 anggotanya adalah Muslim.

“Tetapi menurut saya tidak penting apa partai yang dimasuki orang Katolik atau Kristen. Mereka harus berjuang demi kepentingan rakyat Indonesia, dan harus menjalani kehidupan politik yang bermartabat baik di tingkat nasional maupun lokal,” katanya.

Stefanus Asat Gusma berbagi pengalamannya dalam politik dengan umat Katolik dari keuskupan Jakarta pada sebuah pertemuan di Jakarta belum lama ini. (Foto tersedia)

 

Sekitar 10 persen dari 237 juta (sensus 2010) penduduk Indonesia adalah Kristen, dimana 16,4 juta adalah Protestan dan 7 juta Katolik. Saat ini, diprediksi jumlah penduduk sudah mencapai sekitar 260 juta.

Sebagian besar terkonsentrasi di Nusa Tenggara Timur, Sumatera Utara, Papua, Sulawesi Utara, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jakarta dan provinsi-provinsi lain.

Beberapa dari provinsi ini termasuk di antara 17 yang akan memilih gubernur baru pada 27 Juni, dan pemilihan bupati dan walikota di 154 kabupaten dan kota.

Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) mendorong umat Katolik untuk berpartisipasi aktif dalam pemilihan bulan ini. Politik memiliki nilai-nilai luhur seperti pelayanan, dedikasi, pengorbanan, keadilan, kejujuran, solidaritas, kebebasan, dan tanggung jawab, kata para Bapak Uskup.

“Jika nilai-nilai itu dijalani dan diikuti, politik akan menjadikan kehidupan yang mulia,” kata Uskup Agung Vincentius Sensi Potokota, ketua Komisi Kerasulan Awam KWI baru-baru ini dalam sebuah pernyataan.

Umat ​​Katolik dipanggil untuk menjadi garam dan terang dunia. Dalam konteks pemilihan ini, diharapkan menjadi pemilih yang baik, berpartisipasi sebagai penyelenggara, dan menjadi kandidat, kata para uskup.

Bagi mereka yang mencalonkan diri sebagai kandidat, para uskup mengatakan mereka harus menghindari kampanye sektarian dan harus menawarkan solusi yang lebih baik untuk masalah-masalah rakyat, dan menjadi berani dalam menghadapi ancaman seperti munculnya kelompok-kelompok radikal di wilayah mereka.

 

Keluar dari zona nyaman Gereja

Krissantono, mantan anggota parlemen dari Partai Golkar pada era  Soeharto, menghargai perkembangan terakhir di kalangan umat Katolik Indonesia. Tokoh-tokoh awam mulai melihat politik dengan kacamata yang positif, tidak seperti di tahun-tahun sebelumnya yg  menganggapnya harus dijauhi karena “menjijikan”, penuh dengan tipuan.

Politik dianggap kotor  karena politisi menampilkan contoh buruk, seperti korupsi dan manipulasi atau bahkan di dalam partai yang sama orang saling berebut kekuasaan.

“Tetapi para politisi Katolik harus berbeda dari yang lain, khususnya dalam  semangat pengorbannya untuk kepentingan seluruh rakyat (bonum commune). Politik harus  dianggap salah satu bidang kerasulan untuk menegakkan kebenaran, keadilan dan kesejahteraan umun. Karena itu harus ditopang oleh semangat pelayanan, dan kalau perlu siap untuk menjadi korban karena mempertahankan prinsip yang benar, dan bukan hanya untuk mendapatkan posisi atau keuntungan pribadi,” katanya.

Dia sharing pengalaman ketika dia menjadi anggota parlemen, dia tiga kali mendapat ancaman recall karena berani mempertahankan apa yang dianggapnya benar. Hal yg diperjuangkan adalah perjuangan rakyat kecil yg tergusur oleh proyek bendungan Kedung Ombo di Jateng. Selain itu tentang pendidikan agama yang dipaksakan di sekolah negeri dan swasta. Dan tentang hari lahirnya Pancasila yang ditetapkan pada  18 Agustus 1945, padahal  yang benar 1 Juni 1945.  Golkar menganggapnya tidak disiplin kepada Fraksi, tetapi Pak Harto yang punya hak veto di Golkar, dapat memahami sikap kritis dari Kriss, maka ia tidak direcall.

“Politisi Katolik yang mencalonkan diri untuk posisi legislator atau pemimpin daerah harus punya integritas yg tinggi dan berpegang pada  prinsip dan harus  berani ke luar dari zona nyaman yang  diperoleh dari Gereja atau dari pihak manapun,” katanya.

“Jangan bangga jika Anda hanya jadi kandidat favorit di paroki atau keuskupan Anda. Keluarlah dari paroki dn lingkungan Gereja dan bangunlah kepercayaan  dengan  mempererat relasi dengan komunitas-komunitas non-Katolik, seperti buruh, pengemudi taksi, kelompok wanita, tokoh ulama berbagai agama terutama Muslim dan sebagainya,” kata Kriss.

Dia juga meminta para politisi Katolik untuk terus mempertahankan  integritas, dan tidak dengan mudah memperdagangkannya dengan praktik yang korup atau tidak etis, seperti suap. Ia mengajak kita  belajar dari IJ Kasimo, seorang tokoh politik Katolik yang jujur, berani dan berpolitik secara  berkeadaban. Kasimo juga dihormati sebagai pahlawan nasional karena kecintaannya dan pengabdiannya yang  besar terhadap negara.

Menurut Kriss, umat Katolik perlu melakukan konsolidasi internal untuk menciptakan pengaruh yang  baik dan maksimal di masyarakat. Misalnya, jika di satu paroki atau daerah elektoral ada lima kandidat Katolik, mereka sebaiknya sepakat siapa yang akan maju, agar suara umat Katolik tidak terpecah.

“Harus jujur, bersama-sama menentukan siapa yang layak untuk maju, daripada semuanya bersaing, dan pada akhirnya tidak ada yang terpilih,” katanya.

Pastor Antonius Suyadi, ketua Komisi Hubungan Antaragama dan Kemasyarakatan Keuskupan Agung Jakarta mengatakan, setiap umat Katolik memiliki tanggung jawab untuk berpartisipasi dalam pembangunan bangsa.

“Umat Katolik didorong untuk berpartisipasi dalam politik untuk memastikan bahwa tidak ada individu, kelompok atau partai politik mendirikan negara berdasarkan satu agama tertentu,” katanya.

Hubungan dengan  agama lain

Menurut Berthy B Rahawarin, seorang aktivis Katolik dan dosen Filsafat Negara di President University, mengatakan salah satu tantangan terbesar bagi umat Katolik dalam masyarakat multi-etnis dan agama adalah membina hubungan baik dengan non-Katolik.

“(Banyak) non-Kristen masih menyamakan Kekristenan dengan kolonialisme,” katanya.

“Orang Katolik yang terlibat dalam politik harus menyadari hal ini, dan jangan terlalu percaya diri dalam cara mereka berpikir, bertindak dan berkomunikasi. Namun ini juga tidak perlu menjadi beban berlebihan bagi mereka,” katanya kepada ucanews.com.

“Jika perlu, mereka harus dapat menjelaskan bagaimana Gereja berbeda dari kolonialisme,” tambahnya.

Dia juga mengatakan bahwa dengan Presiden Joko Widodo menyediakan ruang yang lebih luas untuk demokrasi dan partisipasi publik dalam beberapa tahun terakhir, sekarang ada “kesempatan yang baik bagi masyarakat secara keseluruhan, bukan hanya Gereja, untuk berpartisipasi lebih efisien, terukur, dan membuat perubahan yang lebih baik.”

 

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi