Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) akan mengeluarkan sebuah dokumen yang digunakan sebagai pedoman untuk menghapus diskriminasi ras dan etnis yang akan digunakan dalam kampanye pemilihan umum presiden (pilpres) dan pemilu legislatif (pileg).
Langkah ini muncul setelah Komnas HAM mencatat kampanye menentang ras dan etnis berperan penting dalam Pilkada DKI Jakarta tahun lalu dan pilkada belum lama ini.
Dokumen ini akan dikeluarkan dalam beberapa minggu ke depan dan disebarkan ke semua partai politik, KPU, Bawaslu, penegak hukum, dan organisasi keagamaan untuk dipelajari menjelang pileg dan pilpres pada 17 April tahun depan.
Pengacara, akademisi, pakar, aktivis dan organisasi keagamaan membantu untuk mememberikan masukan untuk dokumen tersebut.
“Komisi ini bertekad menetapkan norma-norma untuk menghapus diskriminasi ras dan etnis selama pilpres dan pileg tahun 2019, karena itu penting berkaitan dengan persatuan bangsa,” kata Choiril Anam, seorang komisioner Komnas HAM, kepada ucanews.com pada 19 Juli.
Komnas HAM telah memantau kampanye sektarian yang terkait dengan pilkada pada 27 Juni lalu, kata Anam.
Dia merujuk pada pemilihan gubernur di Sumatera Utara, di mana pemilih Muslim diajak menolak calon-calon dari kelompok etnis dan agama lainnya, misalnya, Jarot Saiful Hidayat, seorang etnis Jawa dan wakilnya Sihar Sitorus, seorang Kristen.
Mantan gubernur Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), menjadi korban SARA dalam pilgub Jakarta tahun 2016 karena ia adalah seorang Kristen.
Menurut Anam, pilpres tahun depan akan rawan dengan isu-isu ras dan etnis yang digunakan terhadap Presiden Joko Widodo.
Dia sering dituduh sebagai anti-Islam, anak PKI, dan pro-Cina.
Muhammad Ali Safaat, dosen Universitas Brawijaya Malang, Jawa Timur, mengatakan bahwa dia senang Komnas HAM memberikan perhatian khusus untuk mencegah diskriminasi ras dan etnis selama kampanye.
“Meskipun sudah ada undang-undang untuk mencegah diskriminasi, pedoman ini akan menuntun orang dan membuat mereka menyadari bahwa kampanye sektarian tidak memiliki tempat dalam demokrasi Indonesia,” katanya.
Pastor Paulus Christian Siswantoko, sekretaris eksekutif Komisi Kerasulan Awam Konferensi Waligereja Indonesia (Kerawam KWI), mengatakan Gereja Katolik mendukung dan memberikan apresiasi langkah tersebut guna memberikan penyadaran kepada masyarakat.
Namun, ia juga menyarankan sanksi ketat dikenakan pada individu atau partai politik yang membuat pernyataan diskriminatif yang memungkinkan hal-hal seperti itu terjadi.
“Kualitas demokrasi di negara ini akan jauh lebih baik jika kita dapat meminimalkan segala bentuk diskriminasi,” kata imam itu.