UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Myanmar Memperingati Pemberontakan Demokrasi 1988

Agustus 9, 2018

Myanmar Memperingati Pemberontakan Demokrasi 1988

Warga foto bersama dengan tulisan angka 8888 di sebuah hall pada peringatan 30 tahun pemberontakan demokrasi 1988 di Universitas Yangon pada 8 Agustus. (Foto: Ye Aung Thu/AFP)

Berbicara pada peringatan 30 tahun pemberontakan demokrasi di Myanmar 1988, para aktivis dan anggota parlemen menekankan pentingnya demokrasi untuk masa depan bangsa.

Ribuan orang Myanmar pada 8 Agustus memperingati pemberontakan demokrasi 1988 yang mengakibatkan penumpasan berdarah oleh militer.

Mahn Johnny, mantan menteri utama wilayah Irrawaddy, mengatakan tanggal tersebut merupakan tonggak penting dalam sejarah Myanmar. Orang-orang memberi hidup mereka untuk demokrasi selama protes – juga dikenal sebagai Pemberontakan 8888 – jadi itu tidak boleh dilupakan, katanya.

Protes besar mahasiswa terhadap kediktatoran 26 tahun terhadap Jenderal Ne Win memicu tindakan keras militer pada 8 Agustus 1988. Ribuan orang diyakini tewas. Protes yang populer itu juga mendorong Aung San Suu Kyi dan Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) menjadi terkenal di dunia internasional.

Mahn Johnny mengatakan kepada ucanews.com bahwa gerakan demokrasi tahun 1988 memberi Myanmar landasan yang dibutuhkan untuk perubahan demokratis.

“Kita harus bersatu dan mendorong negara  menjadi negara federal demokratis. Dan semua pemangku kepentingan perlu berkompromi untuk perdamaian dan rekonsiliasi,” katanya.

Anggota parlemen Katolik berusia 77 tahun dari partai NLD yang sekarang berkuasa mengatakan tantangan terbesar bagi demokrasi penuh adalah militer memainkan peran kunci dalam pemerintahan sesuai konstitusi 2008.

 

Perwakilan militer yang tidak dipilih membentuk 25 persen parlemen di negara ini. Militer juga mengontrol kementerian utama; pertahanan, perbatasan dan urusan dalam Negeri.

Memenangi pemilu 2015, konselor negara saat ini, Suu Kyi menekankan rekonsiliasi dengan para jenderal, orang-orang yang sama yang menahannya di bawah tahanan rumah selama 15 tahun.

Ashin Ariya Wuntha Bhiwunsa, seorang biksu berbasis Mandalay yang terlibat dalam program lintas agama, mengambil bagian dalam pemberontakan 1988.

Dia mengatakan kepada ucanews.com bahwa rakyat Myanmar masih perlu mendorong demokrasi.

“Kita harus memiliki kesabaran dan akan terus berjuang untuk demokrasi dengan cara tanpa kekerasan,” katanya.

“Jika semua orang memiliki persatuan dan mereka siap mengorbankan hidup mereka untuk negara, kita dapat mencapai tujuan untuk mendapatkan demokrasi. Saya percaya kita akan mencapainya suatu hari nanti.”

Ariya Wuntha adalah satu dari ribuan orang yang bergabung dengan perayaan peringatan yang diadakan di beberapa kota di Myanmar pada 6-8 Agustus.

 

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi