UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Siksaan Apapun Tidak Dapat Membungkam Umat Katolik di Cina

Agustus 13, 2018

Siksaan Apapun Tidak Dapat Membungkam Umat Katolik di Cina

Banyak imam dipenjara di Shaanxi selama revolusi kebudayaan. Foto ini menunjukkan orang-orang sedang membaca poster-poster yang mengkritik Gereja Katolik di sebuah tembok. (Foto: Lang Tao Sha)

Thomas Zhang lahir di desa Yaozhang, distrik Liquan, provinsi Shaanxi, Cina Tengah tahun 1944. Keluarganya belajar tentang agama  Katolik dari neneknya, sementara salah satu paman dari pihak ibunya adalah seorang imam.

Tahun 1961, setelah lulus dari sekolah menengah pertama, Zhang membantu keluarganya bertani dan mengikuti paman dan pastor parokinya untuk membawakan khotbah di sekitar daerah itu.

Selama apa yang disebut Empat  Gerakan Pembersihan yang dikeluarkan oleh Mao Zedong  tahun 1963 yang menargetkan orang-orang yang dicap sebagai reaksioner di daerah-daerah – Jingyang, Gaoling dan Sanyuan – provinsi Shaanxi adalah yang paling terpengaruh sebagai anggota kelompok kerja yang dibentuk oleh Partai Komunis Tiongkok yang ditempatkan di setiap rumah, tinggal bersama mereka untuk mencuci otak mereka.

Zhang, 74, mengenang: “Pada awal Revolusi Kebudayaan, masyarakat kacau balau, tidak teratur dan tidak disiplin. Banyak imam dipenjara dan keluarga saya juga terpengaruh.”

Tahun 1966, ketika Zhang berumur 22 tahun, umat kristiani dipaksa menyerahkan benda-benda  suci dan kitab suci mereka. Pengawal Merah (mahasiswa militan atau pelajar sekolah menengah) memukul drum dan berteriak di pintu rumah umat beriman, yang diberi label monster dan setan.

Murid-murid di kota Xian, ibukota Shaanxi, mengorganisir seri nasional, salah satu langkah mobilisasi sosial yang diluncurkan Mao dalam Revolusi Kebudayaan (1966-1976), dari paruh kedua tahun 1966 hingga awal 1967. Pengawal Merah berkeliling Tiongkok untuk mempropaganda.

Orang-orang muda ini agresif terhadap siapa pun yang tidak mau mendengarkan Mao dan akan menggantung kartu-kartu besar di dada mereka yang menandakan mereka sebagai kacung. Banyak orang menderita nasib seperti ini.

Zhang mengatakan banyak umat beriman juga mengalami penganiayaan. Orang yang diserang oleh binatang buas  tidak dapat menerima perawatan medis karena dia adalah seorang Katolik. Dia meninggal akibat tetanus.

Suatu hari, seorang Pengawal Merah datang ke desanya dan berteriak: “Hiduplah Partai Komunis!” Pamannya menjawab: “Panjang umur Tuhan! Hidup Yesus Kristus!”

Imam itu dicap seorang reaksioner dan diarak di jalan-jalan bersama saudara laki-lakinya yang sudah menikah dan istrinya. Seorang pria memukul gong memimpin jalan untuk menarik perhatian publik dan wajah mereka dicat hitam dan merah. Imam itu kemudian dipenjara bersama dengan banyak imam lainnya di seluruh negeri itu.

Meskipun Revolusi Kebudayaan begitu kacau, keluarga Zhang masih  tetap setia pada keyakinan mereka.

Suami dari bibi ibu Zhang dan paman yang sudah menikah melihat tidak ada imam  berkhotbah, jadi setiap malam mereka mengendarai sepeda secara diam-diam ke desa-desa di mana Zhang dan pamannya  adalah seorang  imam berkhotbah untuk menumbuhkan iman  umat beriman. Zhang pergi bersama mereka setiap kali.

Mereka berkhotbah di rumah-rumah umat beriman. Saat mereka berkhotbah, umat  beriman lainnya berdiri mengawasi pintu masuk ke desa dan di pintu rumah. Jika ada orang yang mencurigakan muncul, para pengkhotbah akan segera pergi.

Zhang membaca banyak buku yang disembunyikan di rumah pamannya yang seorang  imam. Buku-buku tentang Gereja memperkaya dunia spiritualnya dan membantunya menulis banyak artikel di masa depan untuk bersaksi tentang Tuhan.

Keluarga Zhang kemudian menolak mengumumkan secara terbuka kesesatannya. Akibatnya, paman yang sudah menikah dan istrinya dipermalukan di depan umum dan saudara dan sepupu Zhang dijatuhi hukuman penjara dua hingga 10 tahun.

Dia sangat marah ketika melihat pamannya yang sudah menikah dan istrinya, yang hanya petani biasa, dipaksa memakai topi kertas karena menolak untuk menyatakan kemurtadan mereka.

“Saya tidak bisa membantu dan naik ke panggung di mana mereka dipermalukan dan disiksa untuk mengambil topi mereka,” kata Zhang.

Pengawal  Merah memaksanya ke tanah dan memberinya label reaksioner. Dia dipermalukan dan disiksa di malam hari. Dia kemudian dikirim ke bagian produksi untuk bekerja sebagai buruh.

“Dalam tim, seorang pria yang bekerja selama sehari dapat memperoleh 10 poin untuk bertukar makanan pada akhir bulan. Bahkan mereka yang dicap memiliki pikiran kotor dapat memperoleh delapan poin sehari, tetapi saya, sebagai reaksioner, tidak memiliki apa pun, “Zhang ingat.

Setelah Revolusi Kebudayaan, Zhang masih antusias untuk berkhotbah. Pada usia 50 tahun, dia seharusnya membantu keluarganya bertani tetapi dia pergi membantu Gereja dengan melakukan pekerjaan sukarela tanpa upah.

Mengingat pengalamannya dalam Revolusi Kebudayaan, Zhang mengatakan secara emosional: “Jika tidak ada bantuan dari Tuhan, saya tidak bisa menjalaninya dengan begitu mulus. Semuanya diatur oleh Tuhan.”

Lang Tao Sha adalah seorang Katolik dan jurnalis Cina. Satu lagi artikel Lang tentang Revolusi Kebudayaan Cina akan mengisi laporan kedua ini.

 

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi