UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Kardinal Bo Kritik Militer Myanmar atas Kebrutalan di Kachin

September 6, 2018

Kardinal Bo Kritik Militer Myanmar atas Kebrutalan di  Kachin

Kardinal Charles Maung Bo merayakan Misa pada Kongres Ekaristi Internasional di Kota Cebu, Filipina pada 31 Januari 2016. (Foto: AFP)

Militer Myanmar masih menganiaya etnis Kachin, yang mayoritas beragama Kristen di negara bagian yang dilanda konflik, sebagaimana Muslim Rohingya, kata Kardinal Charles Maung Bo, uskup agung Yangon.

Berbicara di forum perdamaian di Korea Selatan, Kardinal Bo mengatakan penderitaan yang dialami Rohingya telah menarik perhatian dunia dan menggambarkan penderitaan mereka sebagai “bekas luka mengerikan di hati nurani negara saya.” sementara kelompok-kelompok sasaran lainnya diabaikan karena pertempuran etnis berkecamuk di Myanmar utara, dengan ribuan etnis minoritas telah terluka, dibunuh dan terlantar, katanya.

“Desa-desa dibom dan dibakar, para wanita diperkosa, gereja-gereja hancur, penduduk desa digunakan sebagai penyapu ranjau manusia dan perisai manusia,” kata Kardinal Bo kepada para pakar perdamaian di forum perdamaian Semenanjung Korea 2018 di Universitas Katolik Korea di Seoul pada 1 September.

Dalam pidatonya, Kardinal Bo memaparkan tentang serangan udara militer di Kachin pada  Februari dan serangan besar pada  April yang menyebabkan lebih dari 7.000 orang mengungsi.

Dia mengatakan serangkaian “perang” sedang berkecamuk di Myanmar terhadap mereka yang mendukung kebebasan beragama berhadapan dengan kekuatan yang mengajarkan ketidaktoleranan dan kebencian agama.

Kardinal juga menyesalkan serangkaian konflik kekerasan karena sengketa kepemilikan tanah dan masalah lainnya termasuk perdagangan manusia, degradasi lingkungan, penyalahgunaan narkoba oleh orang muda, kemiskinan dan kurangnya perlindungan hak-hak asasi.

“Perang’ ini terus berlanjut meskipun Myanmar telah bergerak selama delapan tahun terakhir melalui (serangkaian) reformasi dan dengan transisi yang rapuh dari kediktatoran militer menuju demokrasi yang rapuh,” kata prelatus berusia 69 tahun itu.

 

Militer masih mendominasi

Pertempuran telah pecah secara sporadis di Negara Bagain Kachin yang mayoritas Kristen sejak negara yang kemudian dikenal sebagai Burma terbebas dari belenggu kolonialnya tahun 1948 dengan memperoleh kemerdekaan dari pemerintahan Inggris.

Situasi memburuk  tahun 2011 ketika sekitar 100.000 orang mengungsi. Sebagian besar populasi negara bagian yang memiliki 1,7 juta jiwa itu adalah orang Kristen, termasuk 116.000 umat Katolik.

Kardinal Bo mengatakan militer mempertahankan kekuatan tertinggi, terutama dalam penguasaannya terhadap tiga kementerian utama, sementara pemerintah sipil hanya memiliki sedikit atau malah tidak memiliki wewenang.

Situasi makin diperparah oleh meningkatnya nasionalisme dan militansi Buddhis, telah menciptakan pendorong untuk kebencian dan represi yang menyangkal minoritas etnis dan agama”, katanya.

Kardinal Bo dikenal sebagai juru kampanye setia rekonsiliasi di Myanmar, di mana perundingan perdamaian dengan milisi bersenjata sedang berlangsung dan krisis pengungsi Rohingya masih sedang diselesaikan.

Dia telah membela Konselor Negara Aung San Suu Kyi dalam usahanya untuk memupuk demokrasi dengan bekerja dengan militer, meskipun ada tuntutan hadiah Nobelnya dicabut karena tetap diam terhadap penganiayaan terhadap Rohingya.

Myanmar menghadapi kecaman keras atas pelanggaran hak asasi di Rakhine setelah sebuah misi pencari fakta menemukan bahwa militer telah melakukan pelanggaran HAM berat di negara bagian itu.

 

Mengincar kedamaian abadi

Kardinal Bo juga berbicara tentang membangun perdamaian permanen di Semenanjung Korea di tengah serangkaian pertemuan penting antara pemimpin Korea Selatan, Korea Utara, AS dan Cina, sekutu kunci Pyongyang.

Dia mengatakan impian perlucutan senjata nuklir dan denuklirisasi di semenanjung itu sekarang menjadi mungkin dan mendesak dialog lanjutan.

Namun, perdamaian sejati tidak dapat direalisasikan ketika warga Korea Utara masih dilucuti hak asasi manusianya dan kebebasan dasar mereka, tambahnya.

AS telah menggambarkan kebijakan represif pemimpin Kim Jong-un sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Di Korea Utara, lebih dari 100.000 orang ditahan di kamp-kamp penjara, disiksa, kerja paksa, dan dilecehakan, kebebasan beragama benar-benar terbatas.

“Perdamaian lahir dari konsep martabat manusia,” kata Kardinal Bo.

“Setiap manusia, termasuk mereka yang membenci kita, dibuat serupa dengan Tuhan. Kebencian diajarkan melalui narasi kebencian. Kita juga bisa mengajarkan setiap jiwa manusia untuk mencintai,” tambahnya.

Dia mengatakan bahwa situasi di Myanmar dan Korea tidak persis sama, tapi tujuan utamanya sama.

Tujuan di kedua kawasan itu adalah “untuk membangun perdamaian abadi yang sejati,” katanya, seraya menambahkan, “martabat manusia harus dibela dihadapan ketidakadilan dan impunitas.”

 

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi