UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

INDONESIA – Para Guru dan Polisi Didesak untuk Memutus Mata Rantai Perdagangan Manusia

Agustus 14, 2008

MAUMERE, Nusa Tenggara Timur (UCAN) — Gereja di Flores mengadakan lokakarya untuk menumbuhkan kesadaran para guru, polisi, dan warga gereja tentang perdagangan perempuan dan anak-anak setempat.

Dalam lokakarya yang diselenggarakan baru-baru ini oleh Tim Relawan Untuk Kemanusiaan Flores (TRUK-F) dan Pusat Solidaritas Buruh Internasional Amerika (ACILS, American Center for International Labor Solidarity), sebuah lembaga swadaya masyarakat, seorang suster dengan tegas mendesak para guru dan polisi untuk memutus mata rantai perdagangan manusia. 

Suster Eusthocia Monika Nata SSpS, yang mengepalai divisi perempuan dari TRUK-F, menjadi satu-satunya narasumber dalam lokakarya 4-6 Agustus di Maumere, ibukota Kabupaten Sikka di Flores itu.

Sekitar 100 peserta, kebanyakan guru dan polisi dari berbagai agama, mengikuti lokakarya bertema “Memutus Mata Rantai Tindakan Perdagangan Manusia” itu.

Perdagangan semacam itu, kata suster Nata, merupakan masalah besar di Propinsi Nusa Tenggara Timur, terutama di Sikka, salah satu dari 15 kabupaten di propinsi itu, dan usaha penanggulangannya sangat sulit karena yang diketahui itu hanya “bagaikan puncak gunung es.”

Menurut TRUK-F, katanya, di antara 470 kasus, termasuk migrasi tenaga kerja dari Sikka, yang dilaporkan oleh polisi dari tahun 2000-2007, sebanyak 13.16 persennya berhubungan dengan perdagangan perempuan dan anak-anak.

Biarawati itu menyampaikan bahwa Maumere adalah kota pelabuhan, dan Kabupaten Sikka, bagian dari keuskupan Maumere, sangat mudah terjangkau dengan transportasi air, udara, dan darat, maka melakukan perdagangan manusia jelas merupakan pilihan.

“Proses penghapusan perdagangan perempuan dan anak-anak,” tegasnya, “membutuhkan kesadaran dan partisipasi pemerintah daerah, LSM, keluarga, kaum religius, tokoh agama, dan para akademisi.”

Salah satu peserta lokakarya itu, Pastor Yeremias Koten SVD, mengatakan kepada UCA News pada 13 Agustus bahwa Gereja setempat harus peduli dengan perdagangan manusia di Keuskupan Maumere. Ketua Komisi Migran Keuskupan Maumere itu mengakui, “Kami sadar bahwa sangat sulit untuk menghentikan praktik kejahatan karena Maumere sangat strategis untuk melalukan perdagangan manusia.”

Bahkan Gereja saat ini sedang berusaha memutus mata rantai perdagangan manusia itu, lanjutnya. Untuk itu, katanya, Komisi Migran keuskupan Maumere menyelenggarakan lokakarya pada 28-29 April yang lalu dan perwakilan dari 35 paroki turut ambil bagian di dalamnya. Seusai lokakarya itu, katanya, para peserta didesak untuk menyebarkan pesan itu di paroki-paroki mereka.

“Dengan pengetahuan dan kesadaran ini, kami berharap seluruh keluarga Katolik dan segenap masyarakat akan bergabung dalam usaha pencegahan tindak kejahatan ini,” tambahnya.

Dalam lokakarya bulan Agustus itu, suster Nata mengutip Undang-Undang No. 21 tahun 2007, untuk menjelaskan perdagangan manusia dalam istilah hukum.

Ia menunjukkan bahwa dalam Bab 1, ayat 1 undang-undang itu menjelaskan deskripsi perdagangan manusia: “Tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan uang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan dalam negara maupun antarnegara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.

Setelah Sosimus Mitang, Bupati Sikka, membuka lokakarya itu pada hari pertama, Suster Nata memberikan gambaran tentang situasi perdagangan manusia di daerah tersebut, dan disusul dengan diskusi. Pada hari kedua, ia menjelaskan perdagangan perempuan dan anak-anak secara detail, yang kemudian juga diikuti dengan diskusi.

Pada hari terakhir, ia memberitahu para peserta mengenai masalah-masalah hukum yang berkaitan dengan perdagangan manusia dan mengajari mereka cara berbicara mengenai perdagangan manusia di depan umum.

Di akhir lokakarya itu, setiap peserta mendapat satu CD dan modul pembelajaran yang berbentuk buku mengenai perdagangan perempuan dan anak-anak. Semua peserta didorong untuk menyebarkan apa yang telah didapat kepada orang lain, dan mereka yang berbicara kepada UCA News berjanji untuk melakukannya, terutama kepada rekan kerja dan teman-teman mereka.

Nikodemus Mesi berjanji untuk “memberikan informasi tentang perdagangan manusia kepada siswa-siswa yang saya ajar di sekolah, dan kepada para mudika Paroki St. Perawan Maria Yang Tak Bernoda.”  Putu Sumadi, seorang polisi yang bertugas di kota Maumere, mengatakan, “Saya akan memberi penyuluhan kepada polisi lainnya untuk membuat mereka semakin sadar akan perdagangan manusia.”

Suster Nata mengatakan organisasinya sedang menyusun rancangan kurikulum berdasarkan hasil diskusi dalam lokakarya itu. Setelah disetujui oleh Departemen Pendidikan Nasional Tingkat Kabupaten, kurikulum itu akan dikirim ke sekolah-sekolah di kabupaten itu.

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi