UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

ASIA – Para Pekerja Media, Pendidik, dan Mahasiswa Menerima Peran Media dalam Pendidikan Hak Asasi Manusia

Agustus 29, 2008

Davao City, Filipina (UCAN) — Sebuah iklan televisi untuk whiskey yang menampilkan seorang wanita mengenakan bikini di punggung kuda diangkat dalam sebuah konferensi media Asia sebagai contoh pelanggaran hak asasi manusia dalam media.

Esther Esteban, yang mengajar psikologi di Universitas Asia dan Pasifik di Pasig City, Manila selatan, mengatakan kepada peserta konferensi itu bahwa ia tidak menangkap apa sebenarnya yang mau dikatakan iklan itu ketika pertama kali ia melihatnya. “Saya mengira itu iklan tentang pakaian renang,” kata dosen asal Jerman itu.

Menurutnya, gambaran seperti itu di media turut melenyapkan penghormatan terhadap hak dan martabat perempuan, karena “martabat dan hak itu diciutkan menjadi komoditas seksual.”

Esteban berbicara dalam sesi pleno pada hari ketiga dari Konferensi Internasional 2008 dari Kongres untuk Media dan Komunikasi Asia (ACMC) itu, yang diselenggarakan 21-23 Agustus di Universitas Ateneo de Davao yang dikelola Yesuit.

Lebih dari 100 mahasiswa komunikasi, praktisi media, dan pendidik dari India, Korea, Pakistan, Filipina, Sri Lanka, dan Thailand menghadiri konferensi  di kota Davao itu. Davao berjarak 965 kilometer tenggara Manila.

ACMC adalah sebuah organisasi profesional para dosen, praktisi, dan mahasiswa di bidang pendidikan media, komunikasi, dan bahasa di seluruh Asia. Organisasi itu berbasis di Filipina.

Banyak laporan penelitian yang berkisar pada tema Media in Asia: A Tool for Human Rights Education and Monitoring (Media di Asia: Sebuah alat bagi Pendidikan dan Pemantauan Hak Asasi Manusia) dipresentasikan dan didiskusikan. Proyek-proyek ini meneliti perempuan dalam media, anak-anak dan media, korupsi, pemerintahan, etika, ras, kesukuan, kemiskinan, dan kepekaan gender dalam pemberitaan.

Smith Boonchutima, dosen hubungan kemasyarakatan dan periklanan di Universitas Chulalongkorn di Bangkok, pada 22 Agustus berbicara tentang gambaran media Thailand sebagai “tujuan wisatawan seks.” Mengutip penelitiannya berjudul “The Image and its Resistance to Change: A Case Study of Thailand’s Image as Sex Tourist Destination” (Citra dan Penolakan terhadap Perubahan: Sebuah Studi Kasus tentang Citra Thailand sebagai Tujuan Wisatawan Seks), ia mengkritik penggambaran media Inggris terhadap Thailand karena “bersifat stereotip dan bias.” Sebuah majalah bahkan menggambarkan negaranya itu sebagai “tujuan seks terbaik,” lapornya.

Alan Davis, direktur proyek-proyek khusus untuk Institut Pemberitaan Perang dan Perdamaian (Institute for War and Peace Reporting) yang berbasis di London, menjadi pembicara utama. Ia mengingatkan para praktisi media bahwa audiens mereka akan menganggap gambar-gambar yang mereka paparkan sebagai kebenaran.

“Orang menoleh ke media” untuk menemukan apa yang sedang terjadi di masyarakat, kata kepala Institut Proyek Pemberitaan Hak Asasi Manusia Filipina itu pada 21 Agustus. Ia mendesak para peserta untuk membuat berita-berita tentang hak asasi manusia sebagai “bagian integral” dari peliputan media harian.

Tidaklah cukup untuk hanya memperoleh kedua sisi dari sebuah berita, tegas Davis. “Media harus memberikan cerita yang berkelanjutan untuk menemukan apa yang sedang terjadi dalam kasus-kasus pembunuhan masal, pembunuhan di luar hukum, atau hilang paksa untuk lepas dari hukuman,” katanya. Menurutnya, “menegakkan perlindungan hak asasi manusia” merupakan “cara terbaik untuk melayani masyarakat.”

Hari berikutnya, Su-jin Choi, mahasiswi Universitas Kyung-Hee di Seoul, memberi presentasi berjudul Abandoning Media: An Analysis of Media Coverage on Human Rights Issues in Korea (Meninggalkan Media: Sebuah Analisa Peliputan Media tentang Isu-Isu Hak Asasi Manusia di Korea).

Perempuan itu menemukan bahwa kurang dari 64 persen dari 475 kasus pelanggaran hak asasi manusia yang ada dalam Komisi Hak asasi Manusia Korea tahun 2006 dan 2007 diberitakan di koran dan televisi. Media Korea “melepaskan” tanggung jawab mereka untuk melaporkan isu-isu hak asasi manusia, demikian mahasiswi jurnalistik itu.

Namun, para peserta juga menyebutkan perkembangan yang penuh harapan. Khrysta Rara, professor assisten di Universitas Filipina di kota Quezon, barat laut Manila, mengatakan kepada UCA News bahwa isu-isu tentang hak asasi manusia “sedang menjadi berita” sekalipun para korban itu tidak berasal dari keluarga terkemuka.

Namun, Rara, yang juga bekerja sebagai editor majalah wanita, mengakui “masih banyak yang bisa kita lakukan untuk memperbaiki pemberitaan tentang hak asasi manusia.”

Sheryl Andes, rekannya dari universitas negeri itu berbicara tentang penghargaan Most Gender Sensitive Film, yang diberikan sejak tahun 2003 oleh festival film Manila untuk mendorong munculnya film-film tentang kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan.

Pastor Theodore Fernando SJ, dosen komunikasi massa dan kajian konflik di Universitas Terbuka Sri Lanka, juga menghadiri kongres itu. Ia mengatakan kepada UCA News bahwa Gereja mempromosikan hak asasi manusia dengan mengajari orang untuk “saling menghormati tanpa mempedulikan agama.”

Menurut panitia, tema kongres itu diinspirasikan oleh peringatan Hari Ulang Tahun ke-60 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dari Perserikatan Bangsa-Bangsa yang akan dirayakan Desember tahun ini.

END

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi