INDORE, India (UCAN) — Seorang imam yang memulai sebuah gerakan evangelisasi di India mengatakan, umat Kristen bertanggungjawab mempromosikan spiritualitas yang pluralistik di India.
Pastor Varghese Alengaden, yang berbasis di Indore, 810 kilometer selatan New Delhi, mendirikan Universal Solidarity Movement (gerakan Solidaritas Universal) untuk meningkatkan perdamaian, persatuan, dan kemajuan melalui pemberian semangat yang menggerakkan kepada para pelajar.
Imam yang berusia 56 tahun itu mendirikan gerakan itu 16 tahun lalu untuk melawan aliran-aliran sektarian yang telah melanda seluruh India dan menyebabkan ribuan orang tewas dalam berbagai kerusuhan, umumnya kaum Muslim. Belakangan ini, kaum ekstrimis Hindu menghancurkan ribuan rumah keluarga Kristen dan sekitar 150 bangunan dan lembaga milik Gereja di Orissa selama tujuh pekan mulai 24 Agustus. Kekerasan anti-Kristen itu menewaskan sedikitnya 59 orang dan 50.000 orang lainnya kehilangan tempat tinggal.
Gerakan itu bertujuan untuk meningkatkan kerukunan di antara berbagai kelompok di India dengan menggunakan spiritualitas yang mencakup berbagai agama untuk mengembangkan suatu generasi masyarakat India yang menghormati deklarasi konstitusi India sebagai sebuah negara sekular dan jaminannya terhadap kebebasan beragama. Umat Hindu berjumlah 80 persen dari 1,1 miliar total penduduk India, sementara umat Kristen hanya 2,3 persen. Kaum Muslim berjumlah 13,4 persen, yang merupakan kelompok minoritas agama terbesar di India.
Pastor Alengaden juga menggunakan sebuah metode meditasi cermin untuk mendorong meningkatkan kerukunan dan solidaritas. Ruang meditasi di pusatnya tidak ada salib atau tabernakel, tetapi ada cermin berukuran dua meter persegi dengan tulisan dalam bahasa Inggris “God within” dan dalam bahasa Sansekerta Aham brahmasmi (Aku adalah Allah).
Berikut ini wawancaranya dengan UCA News:
UCA NEWS: Seberapa jauh gerakan Anda berbeda dengan berbagai gerakan dan organisasi lain dalam Gereja?
PASTOR VARGHESE ALENGADEN: Perbedaannya adalah bahwa para anggota kami yakin bahwa perubahan dunia terjadi melalui perubahan diri mereka sendiri. Kami menegaskannya dalam praktek sebelum mulai berkotbah. Setiap kami mengalami perubahan dari dalam sebelum berusaha membuat orang lain berubah.
Aspek unik lain dari gerakan adalah spiritualitasnya yang pluralistik, suatu warisan yang kita terima dari Yesus. Ini juga merupakan warisan nasional India. Karena itu, sebagai murid-murid Kristus, kita memiliki tanggungjawab besar untuk mempertahankan dan mempromosikan spiritualitas yang pluralistik, yang menjadi ancaman bagi kelompok-kelompok keagamaan yang fanatik. Setiap manusia di dunia ini terkait satu sama lain melalui nilai-nilai, dan agama-agama mestinya membantu kita untuk melihat keterkaitan ini dan bukan memecah-belah kita.
Bagaimana Anda membuat orang menemukan keterkaitan ini?
Kami membantu orang memusatkan perhatian pada spiritualitas sebagai nilai ketimbang religiositas dari berbagai ritual. Bila orang mulai memusatkan perhatian pada agama dan ritual, muncul berbagai perbedaan baik itu kasta, kredo, dan warna yang sesungguhnya hanya menimbulkan perpecahan. Dari perpecahan, segala macam kejahatan – sakit hati, iri, dan balas dendam — muncul. Religiositas itu berlandaskan pada keyakinan, sementara spiritualitas berlandaskan pada kebenaran. Lebih banyak orang mati karena agama mereka ketimbang demi kebenaran. Agar mereka memahami perbedaan antara spiritualitas dan religiositas, kami mengadakan berbagai pengajaran dan seminar.
Apa fokus seminar-seminar Anda?
Seminar kami memiliki pendekatan dua arah. Satu, dari sudut pandang kita, kita mengembalikan Gereja ke periode Yesus. Yesus memulai kekristenan bukan sebagai sebuah agama, tetapi sebagai suatu cara hidup, suatu gerakan spiritual. Karena itu, kita berusaha memiliki suatu pergantian pola pikir dalam evangelisasi. Kita perlu beralih ke suatu tatanan nilai-nilai yang baru, suatu cara hidup baru, dengan memusatkan perhatian pada spiritualitas dari nilai-nilai Injil [ketimbang] religiositas dari berbagai ritual.
Dewasa ini perhatian banyak orang justru terpusat pada ritual-ritual, tetapi penting untuk memahami visi dari gerakan spiritual Yesus yang bertujuan untuk mentransformasi dunia seutuhnya menjadi Kerajaan Allah. Jika kita menerima visi itu, kita sudah pasti menjadi bagian integral dari gerakan itu. Gerakan itu butuh orientasi baru.
Untuk mencapai tujuan ini, kami mengadakan seminar bagi orang-orang seperti provinsial, superior, para ketua dan pemimpin berbagai institusi di keuskupan-keuskupan dan kongregasi-kongregasi. Saat mereka yakin akan program itu, kami mengadakan tindak lanjut. Ini akan membantu mereka memasukan anggur baru ke kantong kulit yang baru.
Kedua, kami mengunjungi sekolah dan pendidikan tinggi, mengundang pelajar untuk mengikuti program-program pelatihan kepemimpinan. Ini membantu mereka menemukan kembali saling keterkaitan mereka dan berpegang pada spiritualitas nilai-nilai itu. Kami meminta anak-anak itu untuk menjadi pemimpin-pemimpin baru dalam sejarah seperti halnya Abraham Lincoln dan Mahatma Gandhi. Kami meminta mereka untuk membangun suatu kemanusiaan yang baru, suatu generasi baru dengan suatu visi yang baru – yang melampaui kasta, warna kulit, dan agama. Gagasan seutuhnya adalah menciptakan sebuah peradaban cinta dan ikut dalam pembangunan bangsa. Ini adalah misi Kristus. Itulah sebabnya kami memiliki orang-orang dari berbagai agama yang tinggal bersama kami. Mereka juga berkomitmen dan berkarya seperti kami. Ini adalah sebuah evangelisasi.
Mengapa Anda melakukan ini padahal serangan kelompok fanatik Hindu terhadap umat Kristen semakin gencar?
Kita mestinya memikirkan mengapa orang Kristen menghadapi berbagai serangan yang semakin gencar dewasa ini. Itu karena kita membawa anggur baru dalam kantong kulit yang lama. Tuhan kita telah meminta kita untuk menaruh anggur baru dalam kantong kulit yang baru. Cara hidup Yesus itu berbeda dari tradisi orang Yahudi. Sistem sekarang ini yang kita ikuti itu cocok untuk 50 tahun yang lalu. Kini, kita harus mengubah cara hidup kita.
Bagaimana? Perubahan macam apa?
Tuhan Yesus telah melakukan, maka kita perlu memiliki kantong kulit yang baru untuk menangani berbagai persoalan kita. Untuk itu, pembinaan religius mesti berubah. Berbagai pelayanan mesti berubah. Berbagai sekolah, perguruan tinggi, dan institusi lain yang kita kelola perlu mengembangkan cara pandang yang berbeda terhadap berbagai persoalan ini. Kita hendaknya memiliki cara baru dalam menghadapi manusia. Gereja selamanya sederhana, rendah hati, dan pasif. Gereja perlu melihat persoalan-persoalan ini secara lain. Para pastor dan suster kita di kampus-kampus harus keluar dan berbaur dengan kehidupan India pada umumnya.
Apa Anda tengah mengusulkan perubahan menyeluruh dalam berbagai aturan kaum religius?
Ya. Tidak ada artinya memiliki sebuah komunitas di mana orang tidak sependapat tapi hidup di bawah atap yang sama dan berdoa bersama. Sebaliknya, kita hendaknya memiliki persekutuan, persekutuan berlandaskan kharisma. Seorang suster mungkin hidup jauh dari anggota kongregasinya yang lain, tetapi mereka memiliki saling keterkaitan dalam semangat kharisma mereka. Jika kita tetap terkungkung dalam kampus-kampus kita, hanya memikirkan pengembangan institusi dan mempertahankan semua itu, kita menderita. Kita akan disingkirkan. Kita perlu membuang citra kolonial dan cara hidup kita yang lama.
Saya tidak melihat kapel atau tabernakel di sini. Apa di sini ada perayaan Ekaristi secara teratur?
Ya. Di sini ada Ekaristi secara teratur. Tetapi kami tidak memiliki sebuah kapel. kami memiliki orang-orang dari berbagai agama, dan karena itu kita tidak memiliki kapel atau tabernakel di sini. Kita merayakan Misa di sebuah aula. Kita memiliki ruang meditasi bersama dengan hanya sebuah cermin di dalamnya.
Banyak orang mengkritik ruang “mirror meditation” (meditasi cermin) itu. Sementara orang bahkan menyebutnya spiritualitas New Age (zaman baru) dan aliran Setan. Apa tanggapan Anda terhadap kritikan semacam itu?
Mereka yang tidak memahami konsep itu dan mereka yang menderita karena kemiskinan spiritual akan menghadapi kesulitan untuk menerima ruang cermin. Kritikan mereka itu berlandaskan pada spiritualitas kanak-kanak. Orang yang percaya hanya pada penyembahan terhadap Yesus dan mereka yang tidak mampu mengikuti teladan dan nilai-nilai dari Yesus akan melihat spiritualitas kami sebagai teologi yang sinting dan mematikan.
Yesus tidak mengajar kita untuk mengikuti berbagai ritual secara membabi-buta. Yang diajarkan Yesus kepada kita adalah spiritualitas nilai-nilai. Yesus menolak semua ritual yang tidak membuat orang spiritual. Bagi mereka yang terbiasa dengan cara doa konvensional, meditasi cermin mungkin dipandang sebagai sesuatu yang tidak biasa. Menyembah Yesus itu gampang, yang sulit adalah mengikuti-Nya. Saya juga ingin mengatakan bahwa banyak uskup dan imam mempersembahkan Misa di pusat kami melihat ruang cermin itu. Mereka menghargai konsepnya. Bahkan beberapa imam dari luar negeri juga menghargai konsepnya setelah melihat ruang cermin itu.
Apakah Anda telah menolak tabernakel?
Tidak, tidak sepenuhnya. Saya sangat menghormati tabernakel. Kita menerima Yesus dalam Ekaristi dan Dia tinggal di dalam kita. Sejumlah pastor dan suster yang tinggal bersama kami juga sangat menghargai perayaan Ekaristi. Cara menerima mereka, keramahtamahan, dan cara hidup yang mereka saksikan di sini telah membuktikan bahwa kami adalah tabernakel-tabernakel yang hidup. Santo Paulus mengatakan: “Kamu adalah bait kudus Allah.” Karena itu, jika saya lihat diri saya sendiri di cermin dan melihat Allah yang hidup berdiam di dalam diri saya, bukankah saya secara serius menanggapi Santo Paulus?
Hal itu mengandung kesesatan New Age, demikian sementara kritisi.
Tidak, saya tidak menganjurkan atau mempromosikan spiritualitas New Age apapun atau sebuah doktrin yang baru. Ini murni suatu cara menemukan Allah di dalam diri kita. Saya bahkan tidak tahu bentuk-bentuk heretik atau dogma baru macam apa yang terkandung di dalamnya.
Bukankah orang buta juga bisa menemukan Allah tanpa cermin?
Orang buta dapat menemukan Allah di dalam setiap orang bahkan lebih mudah daripada manusia berbakat yang melek, karena bagi orang buta tabernakel, ruang cermin, gereja, kapel, kuil, dan jalan, semua itu sama saja. Maka, secara intelektual dan spiritual, orang buta itu lebih diberkati daripada orang berbakat yang melek.
END