UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

INDONESIA – Seorang Cendekiawan Muslim Puji Kritik Diri Cendekiawan Katolik

Desember 8, 2008

SLEMAN, DIY (UCAN) — Ahmad Syafii Maarif, seorang cendekiawan Muslim yang dianugerahi Magsaysay Award 2008 dengan kategori Perdamaian dan Pemahaman Internasional, mendukung para cendekiawan Katolik untuk melanjutkan evaluasi diri secara jujur.

“Kesediaan mengkritik kalangan sendiri adalah pertanda kematangan dan kecermatan membaca peta psiko-sosiologis yang terlihat pada orang awam dan hirarki,” kata Maarif kepada 200 anggota Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA) dalam seminar nasional pada 22 November di Yogyakarta.

Kerangka acuan (TOR, term of reference) seminar itu menyebutkan kemunduran yang tajam dari integritas para pemimpin, awam, klerus, dan Religius Katolik, seraya mengungkapkan bahwa sejumlah tokoh Katolik telah melanggar norma-norma moral dan hukum.

Maarif, guru besar ilmu sejarah pada Universitas Negeri Yogyakarta, menyatakan kritik diri sekarang ini penting bagi bangsa Indonesia, karena banyak golongan hidup dalam politik dan kekerasan.

“Dengan kesediaan mengkritik diri siapa tahu bangsa ini akan berangsur siuman dari suasana batin yang masih berkubang dalam lumpur penyakit kultural yang meningkatkan sifat oportunistik dan mengabaikan kesejahteraan umum,” tambahnya. Maarif, 73, menegaskan bahwa dia sering mengkritik perilaku orang-orang Muslim dan beberapa dari mereka marah karena hal ini.

Mantan ketua umum Muhammadiyah ini mengangkat keteladanan Ignatius Joseph Kasimo Hendrowahyono (1900-1986), yang mendirikan Partai Katolik pada 1923. “Dia selalu berjuang dengan akal sehat dan hati nurani,” dan memegang filosofi bonum commune (kebaikan bersama) dalam pikiran dan hatinya, kata cendekiawan Muslim itu.

Maarif berada di antara empat pembicara dalam seminar yang diselenggarakan di Universitas Sanata Dharma (USD) yang dikelola Jesuit itu. ISKA menyelenggarakan seminar yang bertemakan “Politik Katolik, Politik untuk Kepentingan Umum” untuk memperingati ulang tahunnya yang ke-50.

Para pembicara lainnya adalah pastor Gregorius Budi Subanar S.J, dosen pascasarjana USD; Aria Bima, seorang anggota DPR dari PDI Perjuangan; dan Stanislaus Sularto, wakil pemimpin umum harian Kompas. Mereka berbicara mengenai peran politik Katolik dari sudut pandang missiologi, praktek perpolitikan di Indonesia, dan peran media masa dalam pergerakan Katolik.

Perayaan ulang tahun itu dimulai dengan misa syukur pada 21 November sore di komplek Museum Misi Muntilan. Pastor Pius Riana Prabdi, vikjen Keuskupan Agung Semarang, memimpin misa tersebut. Ia mengingatkan para anggota ISKA bahwa pemakaian kata “Katolik” dalam organisasi mereka itu memberikan tantangan bagi mereka untuk “memberikan harapan bagi cerahnya hidup bersama.”

Setelah Misa, ISKA meluncurkan buku berjudul “Politik Katolik, Politik Kebaikan Bersama. Buku yang terdiri dari 268 halaman itu berisi tulisan-tulisan dari beberapa uskup, akademisi, ahli budaya, dan peneliti. Sebagian besar dari mereka adalah anggota ISKA.

Berbicara dengan UCA News setelah Misa, ketua ISKA, Paulus Harli, menyatakan bahwa meskipun ISKA telah aktif ikut serta dalam berbagai pergerakan di masa lalu, ISKA lebih pada sebuah organisasi yang mewadahi kegiatan para cendekiawan Katolik. “Kami melontarkan wacana sebagai buah-buah pemikiran kami, sehubungan dengan kasus-kasus dalam masyarakat, misalnya ketidakadilan, ketimpangan sosial, kekerasan, dan pelanggaran hukum. Kami biasanya melontarkan pandangan dalam artikel yang ditulis anggota ISKA,” jelasnya.

Ketika ditanya mengapa ISKA membuka perayaan ulang tahunnya di Museum Misi, Harli menjawab, “kami ingin para anggota kami terisnpirasi dengan semangat Katolik yang pernah dilahirkan dari tempat ini.”

Pastor Van Lith, SJ meletakkan dasar Katolik di Jawa ketika misionaris Belanda itu membaptis 171 penduduk desa pada 14 Desember 1904 di Sendangsono. Ia juga mendirikan sebuah sekolah untuk mendidik para Katolik.

“Kami ingin anggota kami diingatkan kembali akan dasar perjuangan umat Katolik yang diletakkan Pastor Van Lith: ‘buatlah apapun yang baik dalam pendidikan, pelayanan kesehatan, dan karya lainnya, dan tunjukkan kelakuan yang baik,’” kata Harli.

ISKA didirikan pada 22 Mei 1958 di Jakarta. ISKA saat ini mempunyai 50 cabang dan beratus-ratus anggota di seluruh negeri ini.

END

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi