UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

HONG KONG – Gereja Dorong Masyarakat untuk Fokus pada Nilai-Nilai Abadi di Tengah Krisis Finansial

Desember 12, 2008

HONG KONG (UCAN) — Sekalipun telah berpengalaman dalam sektor finansial selama lebih dari satu dekade, Bernard Tsui Wai-hung merasa seperti diombang-ambing gelombag laut, ketika berusaha membantu para klien mengurangi resiko dan kerugian di tengah krisis finansial.

Dalam sebuah seminar baru-baru ini, yang merupakan bagian dari tanggapan Gereja Katolik terhadap krisis itu, Tsui memperingatkan akan air yang mungkin lebih bergelombang di depan dan menasehati masyarakat untuk mempersiapkan diri mereka secara spiritual. Dia memprediksi bahwa banyak kebangkrutan dan pemutusan hubungan kerja akan memuncak dalam periode sebelum Tahun Baru Imlek, di akhir Januari.

Krisis sekarang ini berasal dari kelemahan manusia, khususnya kekuatiran dan ketamakan, katanya. Dia juga mengatakan bahwa gelembung-gelembung ekonomi akan pecah setelah spekulasi di tengah situasi yang kelihatan sebagai sebuah periode kemakmuran tanpa batas itu ternyata hanya meninggalkan bahaya.

Masyarakat harus kembali menyesuaikan diri dengan berbagai tujuan hidupnya dan menempatkan nilai tertinggi pada aset-aset non-finansial seperti keluarga, persahabatan, kesehatan, dan pengetahuan, demikian nasehat Tsui.

“Jika aset Anda hanya terpusat pada uang, itu akan seperti membangun rumah di atas pasir yang akan disapu bersih oleh “tsunami ekonomi,” demikian peringatan dari kaum awam itu. Dia menambahkan bahwa hati manusia akan penuh kedamaian dan syukur sekalipun berada dalam kekacauan, jika kita memiliki komitmen kepada Allah.

Seminar itu dihadiri oleh sekitar 100 orang, umumnya umat Katolik kelas menengah. Seminar itu diselenggarakan oleh Komisi Pastoral Keuskupan untuk Perkawinan dan Keluarga (Diocesan Pastoral Commission for Marriage and the Family) dan Serikat Pasangan Ko-kreasi (Couple Co-creation Society), sebuah kelompok awam yang mendorong adanya saling tolong-menolong di antara para pasangan Katolik.

Komisi Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Hong Kong juga turut menyelenggarakan sebuah seminar pada 14 Desember, demikian Lina Chan Lai-na, sekretaris eksekutif komisi itu.

“Kami prihatin dengan masyarakat akar rumput, yang sangat terkena dampak kapan saja ekonomi mengalami fluktuasi,” kata Chan kepada UCA News.

Seminar itu akan mengevaluasi berbagai kebijakan pemerintah sekarang ini dan berbagai ukuran kesejahteraan sosial bagi masyarakat dalam tatanan ekonomi yang lebih rendah, serta peran Gereja dalam melayani kaum miskin, kata perempuan itu.

Sejak krisis finansial global menimpa ekonomi Hong Kong dalam paruhan kedua tahun 2008, banyak perusahaan memutuskan hubungan kerja para karyawannya walaupun masih ada pesangon, namun tanggungjawab sosial perusahan terhadap karyawan diabaikan, demikian pengamatan Chan.

Francisca Cheung Hoi-han, anggota Komisi Keluarga dan anggota Serikat Pasangan Ko-kreasi, mengatakan kepada UCA News bahwa krisis itu telah menghilangkan sumbangan yang menjadi sumber pegangan kelompok itu.

Iuran para anggota telah menutup hampir semua pengeluaran pokok, seperti pinjaman dan jasa, namun upah dua karyawan full-time masih belum diberikan sejak November. Kelompok itu merencanakan suatu perjalanan untuk mencari dana pada 1 Januari, dan “selebihnya terserah kepada Allah,” kata Cheung.

Vicky, seorang akuntan Protestan, mengalami kerugian sekitar HK$300,000 (US$38,700), sepertiga dari asetnya. “Ketika investasi saya gagal, saya memang memiliki pola pikir gambling, yang ingin menginvestasi lebih banyak lagi agar uang saya bisa kembali,” katanya setelah seminar baru-baru itu. Namun seminar itu memperingatkannya untuk tidak terlalu mementingkan uang, tetapi bersyukur karena masih memiliki pekerjaan di saat banyak orang mengalami pemutusan hubungan kerja, lanjutnya.

Seorang peserta lain, Tanny Tin, mengatakan dia membawa temannya ke seminar itu dengan harapan bahwa bisa membantu temannya mengarungi krisis itu.

Temannya, Clara Chan, seorang Katolik yang tidak aktif mempraktekkan imannya, tidak memperoleh satu sen pun dari “mini-bonds” yang diinvestasikannya di Lehman Brothers, bank investasi Amerika Serikat yang bangkrut pada bulan September. Investasi-investasi beresiko tinggi, lebih tidak aman ketimbang “bonds,” kini hanya menjadi kertas yang tak ada gunanya, dan janda yang kehilangan pekerjaan itu mengalami kerugian setengah dari dana yang diinvestasikannya.

“Saya berpikir bahwa investasi saya itu bersifat konservatif, tetapi dia bisa menduga …,” katanya penuh dengan rasa sedih. Ribuan orang seperti dia mengalami kerugian dan kekecewaan yang sama.

Dengan menahan airmata, Chan mengatakan bahwa dia merasa bingung dan tak berdaya, serta tidak bisa tidur dengan tenang. Berkat dorongan dari temannya, Tin, seorang Katolik yang saleh, dia kini ingin “kembali kepada Allah dan memulai suatu kehidupan yang baru.”

Pastor Thomas Kwan Tsun-tong mengatakan dalam seminar itu bahwa “rasa kebersamaan yang kental” (sense of coherence) dapat membantu masyarakat menghadapi berbagai tantangan kehidupan dengan lebih baik.

Dengan memperkenalkan konsep yang dikembangkan oleh sosiolog Yahudi-Amerika Aaron Antonovsky (1923-1994) itu, imam itu mengatakan, orang yang memiliki rasa kebersamaan seperti itu akan bisa menerima sebab akibat terkait dengan berbagai persoalan sebagai bagian dari hakekat kehidupan yang memang senantiasa berubah. Hal ini membuat mereka mampu memprediksi berbagai persoalan dan menerima kejadian-kejadian dengan lebih tenang.

Menghadapi nasib sial, orang yang memiliki sense of coherence tidak akan terus bersedih dengan menanyakan mengapa dan mengapa, tetapi bertanya “Apa arti kejadian itu bagi saya?” katanya. “Kita akan menemukan rahmat yang dianugerahkan Allah kepada kita, dan men-sharing-kan itu dengan orang lain.”

END

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi