UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

KOREA – Wartawan Religius Berjanji untuk Tingkatkan Kerukunan Lintas Agama

Desember 18, 2008

SEOUL (UCAN) — Wartawan-wartawan Korea yang bekerja untuk media religius berjanji untuk meningkatkan perdamaian dan kerukunan, sebagai tanggapan atas “fevoritisme agama” dari pemerintah yang telah menimbulkan banyak protes sejak akhir Juni.

Sekitar 80 wartawan membuat janji ini dalam sebuah simposium yang diselenggarakan pada 12 – 13 Desember di Gyeongju, 280 kilometer tenggara Seoul. Mereka itu beragama Buddha, Katolik, Konghucu, Protestan, dan penganut sekte Buddha Chondogyo dan Won, kedua sekte ini didirikan di Korea. 

Sebuah pernyataan bersama yang mereka keluarkan berbunyi: “Tahun ini, fevoritisme agama dari pemerintah yang tak ada sebelumnya menimbulkan kontroversi yang tajam, dan masalah ini belum tuntas dipecahkan. Sebagai wartawan media religius, kami sungguh menyayangkannya. Kami menyesal bahwa usaha kami untuk menciptakan kerukunan di antara agama-agama ternyata masih belum cukup.

Asosiasi Wartawan Religius mengadakan simposium itu dengan dukungan Departemen Kebudayaan, Olahraga dan Pariwisata.

Peserta berjanji untuk meningkatkan komunikasi dan pertukaran di antara rekan-rekan dari agama-agama lain dan untuk melanjutkan karya mereka dengan kesadaran bahwa semua agama hendaknya memberi kontribusi terhadap rekonsiliasi dalam masyarakat.

“Kami akan melakukan yang terbaik untuk saling menghormati agama lain,” tulis pernyataan itu.

Para wartawan itu juga mendesak lebih banyak lagi dukungan pemerintah dan masyarakat untuk jurnalisme religius terkait dengan peran pentingnya dalam proses rekonsiliasi itu.

Setelah Presiden Lee Myung-bak dan pemerintahannya berkuasa pada bulan Februari, beberapa kejadian membuat banyak umat Buddha menyimpulkan bahwa pemerintah itu menganak-emaskan Protestan dan bias terhadap agama Buddha.

Pada 9 Juni, misalnya, sistem informasi transportasi di Seoul menghapus semua kuil Buddha dari peta online-nya tetapi bahkan memasukkan gereja-gereja Protestan yang kecil. Pada 23 Juni, Ordo Jogye memberi peringatan terhadap perubahan itu.

Pada 29 Juli, polisi, yang mencari para dalang protes anti-pemerintah yang terjadi pada Juni, memeriksa mobil Yang Mulia Jikwan, pemimpin Ordo Jogye, denominasi Buddha terbesar di Korea. Tidak hanya itu, polisi juga menggeledah Kuil Jogyesa di Seoul.

Puluhan ribu umat Buddha mengadakan reli untuk memprotes pemerintah. Mereka mendesak Presiden Lee untuk meminta maaf dan memecat kepala polisi, Eo Cheong-soo, yang menurut laporan terdahulu mendukung doa untuk evangelisasi semua polisi.

Ketegangan berkurang pada pertengahan November ketika Yang Mulia Jikwan menerima permintaan maaf dari Eo menyangkut insiden di kuil itu.

Para pembicara dalam simposium menegaskan bahwa tidak ada satu agamapun boleh mengklaim superior dalam masyarakat Korea Selatan yang pluralistik secara religius dan kultural.

Seorang pembicara beragama Buddha, Lim Yeun-tae, wakil editor The Hyundae Bulkyo Weekly, mengatakan bahwa ketika media Buddha itu menurunkan berita tentang kontroversi itu sebagai diskriminasi religius, hampir semua media Protestan melawan klaim itu atau membela posisi pro-pemerintah dari Gereja mereka.

Dia mendorong asosiasi itu untuk mengembangkan pandangan persatuan yang lebih kokoh menyangkut isu-isu sosial yang melampaui interes agama tertentu dan membuat pandangan persatuan ini bersifat publik.

Seorang pembicara Protestan, Ji Mi-sook, editor The Christian United Press, tidak secara langsung berbicara tentang kontroversi itu, tetapi mengakui bahwa ketegangan dan konfrontasi di antara agama-agama itu bisa meningkat jika salah satu agama bersikeras bahwa dialah satu-satunya agama yang memiliki “kebenaran mutlak.”

“Dalam suatu masyarakat majemuk, suatu agama tertentu tidak bisa mengklaim bahwa kebenaran agamanya merupakan kebenaran satu-satunya. Namun, ini tidak berarti bahwa agama mengabaikan kebenaran religiusnya sendiri. Kebenaran religius ini perlu untuk dialog antaragama,” lanjut wartawan perempuan itu.

Di antara berbagai poin yang muncul dalam simposium itu, seorang pembicara dari media Katolik mencatat bahwa hampir semua jurnalisme religius bisa gampang terjerumus ke dalam kontrol badan-badan pemerintahan yang hampir semua anggotanya para klerus.

Stephano Seo Sang-deok, reporter utama mingguan Keuskupan Agung Daegu Catholic Times, mengatakan bahwa karena klerus dalam jabatan pemerintah itu menjalankan kontrol terhadap personil dan keuangan, maka independensi jurnalistik di media religius menjadi lemah dibandingkan dengan independensi jurnalistik dalam media sekular.

Acara simposium itu mencakup sidang umum, diskusi kelompok, dan kunjungan ke tempat-tempat religius. Sidang umum itu memilih Shin Won-sik, seorang Buddha, sebagai sekretaris jenderal asosiasi itu. Empat ketua baru juga dipilih. Selain Seo, mereka yang lain adalah Jeong Yu-je, editor Milgyo Shinmun (seorang Buddha); Yoo Dal-sang, wakil editor The Christian Newspaper (seorang Protestan); dan Yuk Gwan-eung, editor Won-Bulgyo Shinmun (penganut Buddha Won).

Para anggota asosiasi yang didirikan tahun 1998 itu berkarya di Internet serta media mingguan dan bulanan yang dikelola oleh enam agama. Seminar tahunan asosiasi itu bertujuan meningkatkan saling pengertian di antara para jurnalis religius dan memberi sebuah forum untuk merefleksikan isu-isu sosial dan politik dari perspektif mereka.

END

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi