UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

INDONESIA – Para Ulama Islam Minta Fleksibilitas Agama

Maret 4, 2009

JAKARTA (UCAN) — Para ulama Islam dari propinsi-propinsi mayoritas non-Muslim mengatakan mereka ingin umat Islam yang tinggal di daerah-daerah itu diberikan kelonggaran beragama untuk membantu mereka menyatu dengan masyarakat lokal dengan lebih baik.

Sekitar 30 ulama yang berasal dari propinsi-propinsi seperti Bali, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Sulawesi Utara dan Papua itu menceritakan keprihatinan ini dan keprihatinan yang terkait lainnya pada pertemuan yang berlangsung pada 18-19 Februari di Jakarta.

International Conference of Islamic Scholars (ICIS) mengadakan acara itu, dengan tema, ”Moderasi Komunitas Muslim dalam Konteks Integrasi Nasional.”

Kiai Haji Abdul Kadir Makarim, dari Nusa Tenggara Timur yang mayoritas Katolik, mengatakan ia menyesal bahwa umat Muslim tidak bisa terlibat dalam perayaan Natal, yang diadakan oleh umat Kristen, sejak tahun 1981. Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa yang melarang segenap umat Islam di Indonesia untuk menghadiri acara seperti itu.

Propinsi itu memiliki 4,2 juta penduduk. Umat Katolik 52,9 persen, Protestan 33,8 persen, dan Muslim hanya 8,8 persen.

Para ulama itu mendesak MUI mengeluarkan fiqh minoritas bagi umat Islam yang minoritas di daerah-daerah tertentu. Fiqh adalah sebuah jabaran dari hukum Shari’a dan termasuk yang dikembangkan oleh para ahli hukum Islam.

Untuk mempromosikan Islam sebagai Rahmatan lil Alamin (berkat untuk dunia)dan melibatkan ulama atau cendekiawan dalam meningkatkan perdamaian dan mencegah konflik, diperlukan konsep Islam tentang berbagai hubungan antar-individu, antar-kelompok dan antar-bangsa, kata mereka.

Konsep hubungan antar-kelompok adalah “hubungan antara Muslim dan non-Muslim dalam sebuah masyarakat atau negara minoritas Muslim,” kata mereka, seraya menambahkan bahwa hal ini termasuk keterlibatan umat Islam dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politik.

“Umat Islam di mana pun berada diharuskan menunjukkan sikap kasih sayang, toleran serta cinta perdamaian dan persatuan,” kata mereka.

Para ulama Islam itu mengakui bahwa rumusan-rumusan Islam tentang hubungan Muslim dan non-Muslim terutama dalam masyarakat atau negara minoritas Muslim memang belum dirumuskan oleh ulama-ulama pada masa lalu. Ini karena para ulama saat itu hidup di wilayah mayoritas Muslim.

Baru akhir-akhir ini, sejumlah ulama memperkenalkan rumusan fiqh al-aqalliyyat (fiqh minoritas) dalam buku-buku mereka, kata mereka.

“Umat Islam yang tinggal di wilayah mayoritas non-Muslim hendaknya berinteraksi, menjaga pergaulan yang baik dan menghindari konflik dengan warga non-Muslim,” tekan mereka dalam rekomendasi mereka. Namun, mereka hendaknya mempertahankan identitas budaya mereka dan nilai-nilai aqidah Islam.

“Setiap Muslim diharapkan bisa membedakan antara aqidah dan pergaulan serta bisa memposisikan dan menyesuaikan diri tanpa mengorbankan aqidah,” kata mereka.

Salah satu pembicara pertemuan itu, Yunahar Ilyas, menjelaskan kepada para peserta bahwa fiqh minoritas merupakan sebuah hukum Islam tentang masalah-masalah spesifik termasuk makanan halal, peribadatan dan kawin campur.

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi