UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

INDONESIA – Umat Kristiani Mengajukan Judicial Review Terhadap Undang-Undang Pornografi

Maret 16, 2009

JAKARTA (UCAN) — Lebih dari 1.000 orang dari sebuah kabupaten di Propinsi Nusa Tenggara Timur yang mayoritas Katolik memohon dukungan masyarakat untuk pengajuan judicial review terhadap Undang-Undang (UU) Pornografi yang kontroversial.

Dalam pernyataan yang dikeluarkan tanggal 14 Maret, masyarakat Kabupaten Sikka, di Pulau Flores yang mayoritas Katolik ini, mendesak seluruh elemen masyarakat supaya mendukung pengujian yang secara resmi diminta oleh masyarakat sebuah kabupaten yang mayoritas Protestan di Pulau Sulawesi. Para kuasa hukum untuk Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, telah mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi terhadap Undang-Undang Dasar 1945 di Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta tiga hari sebelumnya.

Para penentang UU Pornografi yang disahkan oleh DPR RI Oktober lalu di tengah berbagai penolakan yang dilakukan sejumlah elemen masyarakat, menganggap undang-undang itu tidak jelas dan dapat membatasi ruang gerak kehidupan, termasuk pakaian, seni, dan ekspresi budaya, khususnya di kalangan komunitas minoritas.

“Banyak warga merasa khawatir akan dampak negatif Undang-Undang Pornografi bisa terjadi,” kata pernyataan sikap yang dikeluarkan pada akhir seminar di Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero, Flores, yang dikelola SVD. Awam Katolik, para pastor dan frater menandatangani pernyataan tersebut.

Menurut mereka, undang-undang itu berisikan ide-ide sektarian yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa yang beraneka ragam. Meskipun mayoritas penduduknya Muslim, Indonesia memiliki minoritas Hindu, Kristen, Konghucu dan Buddha serta penganut kepercayaan lokal.

Bonifacius Hargens, pembicara dalam seminar itu, mengatakan kepada peserta bahwa undang-undang itu akan menjadi “sebuah alat untuk mengkondisikan secara kultural membatasi diri pada nilai politik tertentu saja.”

Dosen beragama Katolik yang mengajar di fakultas ilmu sosial-politik di Universitas Indonesia itu kemudian menjelaskan bahwa beberapa partai kecil berbasis Islam berada di belakang undang-undang itu. Menurutnya, undang-undang itu bisa menginspirasi rancangan berbagai perda dan peraturan yang memaksa norma-norma budaya dari satu komunitas terhadap yang lain.

Dalam sidang di Mahkamah Konstitusi, 11 Maret, kuasa hukum Otto Cornelis Kaligis berpendapat bahwa UU itu mengancam budaya tradisional di Minahasa.

UU Pornografi “melanggar living constitutional values yang terdapat dalam penjelasan UUD 1945,” katanya.

Kaligis menyebut beberapa tarian daerah yang bisa menjadi ilegal di bawah undang-undang baru itu. Tarian Timo Penden menceritakan legenda sembilan bidadari sedang mandi di bumi, kemudian seorang pemuda tertarik dengan salah satu bidadari dan mencuri sayapnya. Penari wanita mengenakan pakaian minim dan ketat lalu satu per satu melepas selendangnya, kemudian memperagakan gerakan-gerakan mandi. Penari pria mendekati seorang penari wanita dan menggodanya. Sedangkan Tarian Maengket melambangkan bagaimana pemuda-pemudi Minahasa zaman dulu mencari jodoh. Penari lelaki mengenakan baju perempuan dan penari perempuan mengenakan baju lelaki.

Kebiasaan-kebiasaan lain yang membentuk budaya yang terancam untuk tidak dapat dilaksanakan lagi adalah mandi bersama di pesisir pantai, lelaki membuka celana dan wanita membuka pakaian atas, dan hanya dipisahkan oleh dinding; lomba kencing bersama di muka umum di salah satu kelurahan; dan  pertemuan adat di pantai seminggu atau sebulan sekali, di mana lelaki bertelanjang dada dan perempuan mengenakan pakaian minim seperti celana pendek dan tanpa penutup dada.

Kaligis kemudian mengatakan kepada media bahwa UU itu mematikan kebudayaan Indonesia yang beranekaragam. “Undang-undang  ini penuh muatan politik,” tegasnya, seraya menyerukan kepada masyarakat untuk menghormati masing-masing kebudayaan dan hidup saling berdampingan karena kekayaan kebudayaan itu membuat Indonesia semakin dikenal di dunia luar.

Dalam sidang pertama tanggal 23 Februari, Mahkamah Konstitusi meminta pemohon dari Kabupaten Minahasa ini untuk memperbaiki permohonannya, khususnya kesalahan dalam mengutip Pasal 1 UU Pornografi dan mengenai kedudukan hukum atau legal standing para pemohon.

Ada tiga norma dalam UU Pornografi yang diajukan untuk diuji yakni Pasal 1 angka 1  tentang penjelasan pornografi, Pasal 4 Ayat (1) huruf D tentang larangan memproduksi, memperbanyak, menyebarluaskan dan yang lain, yang berhubungan dengan hal-hal yang mempertontonkan ketelanjangan, dan Pasal 10 tentang larangan mempertontonkan diri di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, ekspolitasi seksual yang bermuatan pornografi.

Para pemohon menyatakan bahwa definisi “pornografi” yang digunakan dalam UU Pornografi membuat pengertian sangat bias dan dangkal dalam melihat dan membatasi apa yang dimaksud dengan pornografi. Para pemohon berpendapat bahwa definisi pornografi yang terdapat dalam UU Pornografi tidak dapat memberikan batasan jelas dan pasti “untuk menilai pelanggaran nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat.” Juga dipertanyakan, bagaimana pekerja seni bisa mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup kalau mereka tidak bisa lagi menjual benda-benda seni yang menurut UU Pornografi melanggar batasan pengertian pornografi.

“Pasal 4 Ayat 1 UU Pornografi ini telah melanggar hak konstitusional pekerja seni, khususnya di wilayah Minahasa, sebab pekerja seni tersebut mencari nafkah dan penghasilan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan jalan memperjualbelikan benda-benda seni yang secara eksplisit memuat ketelanjangan atau tampilan yang menegaskan ketelanjangan,”  demikian salah satu alasan yang diungkapkan para pemohon kepada Mahkamah Konstitusi.

Setelah sidang kedua, Kaligis menunjukkan sebuah bukti yang diserahkan kepada Mahkamah Konstitusi berupa kopi artikel yang diterbitkan oleh The Jakarta Post” tanggal 7 Februari dengan judul “’Jaipong’ dance becomes latest victim of pornography law” (Tarian Jaipong menjadi korban terakhir UU Pronografi).

“Undang-undang pornografi yang kontroversial dimaki karena menargetkan warisan budaya, setelah Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan menggunakannya sebagai dasar hukum untuk melarang para penari Jaipong mengenakan pakaian yang ‘sexy’ dan melakukan gerakan-gerakan tarian yang ‘provokatif’,” tulis artikel itu.

Kaligis menambahkan: “Dalam pikiran kita gerakan-gerakan dalam tarian jaipongan itu adalah keindahan, namun karena UU Pornografi menafsirkannya secara kotor, maka orang memiliki pikiran kotor terhadap tarian itu.”

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi