UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

INDIA – Gunakanlah Ajaran Sosial Gereja untuk Membangun Keadilan, Kata Para Pembicara

Maret 18, 2009

MUMBAI, India (UCAN) — Sebuah simposium tentang ajaran sosial Gereja menekankan peran umat Katolik India dalam mengupayakan suatu masyarakat yang adil dan damai berlandaskan ajaran Gereja.

India adalah sebuah negara “sangat nyaman” dan “kemiskinan sangat tidak manusiawi.” Jutaan orang hidup “di garis kemiskinan,” kata Oswald Kardinal Gracias dari Bombay kepada para peserta simposium dalam pertemuan 13-15 Maret itu.

Mengacu pada ajaran sosial Katolik yang dirangkum dalam “Compendium of the Social Doctrine of the Church” (Kompendium Ajaran Sosial Gereja) itu, kardinal mengatakan bahwa Gereja di India “telah menunjukkan rasa prihatinnya terhadap kehidupan manusia dalam masyarakat melalui beragam karya pembangunan, lembaga sosial, sekolah, dan rumah sakit yang banyak jumlahnya.”

Kompendium itu diterbitkan tahun 2004 oleh Dewan Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian.

Kardinal mendesak peserta untuk “membuka hati guna memenuhi kebutuhan kaum miskin” dan mengambil langkah-langkah untuk memerangi kemiskinan” dalam berbagai upaya untuk “membangun suatu peradaban perdamaian.”

Simposium di Mumbai itu diselenggarakan oleh Komisi Ajaran dan Teologi dari Konferensi Waligereja India. Simposium itu membahas “Church’s Social Doctrine Promoting A Civilization Of Peace: Commitment To The Common Good In A World of Economic, Political And Social Conflicts” (Ajaran Sosial Gereja yang Mempromosikan Peradaban Perdamaian: Komitmen Kesejahteraan Bersama dalam Dunia Konflik Ekonomi, Politik, Sosial).

Sekitar 600 orang termasuk 12 uskup, 90 imam, dan sekitar 150 suster dari 58 keuskupan menghadiri program itu. Para pembicara mengatakan, ajaran sosial Gereja dapat digunakan sebagai alat untuk membangun suatu peradaban perdamaian.

Dalam makalahnya, Renato Raffaele Kardinal Martino, ketua Dewan Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian, mengatakan bahwa berbagai surat kabar secara rutin memberitakan berbagai persoalan sosial, ekonomi, dan politik.

“Terlalu banyak berita buruk” dari India dengan kekerasan anti-Kristen yang terus terjadi sehingga “melumpuhkan kehidupan sedemikian banyak orang di berbagai wilayah di negeri ini,” demikian makalah kardinal itu, yang dibacakan karena dia tidak bisa menghadiri pragram itu.

“Berbagai solusi untuk banyak dari persoalan-persoalan ini langsung berasal dari pesan Injil yang diberikan kepada kita oleh Tuhan Yesus. Salah satu cara, yang melaluinya pesan itu sampai kepada kita, adalah melalui ajaran sosial Gereja,” kata Kardinal Martino.

Kardinal Gracias, dalam presentasinya, berbicara tentang begaimana perlakuan yang diskriminasi dan tidak manusiawi terhadap lebih dari 165 juta warga dalit di India itu dijustifikasi atas dasar kasta, suatu isu yang perlu menjadi perhatian Gereja.

Sekitar 60 persen dari 2,3 juta umat Kristen India itu berasal dari kelompok-kelompok warga dalit. Dalit, yang secara literer berarti “terinjak-injak” atau “pecah berantakan,” tertuju pada masyarakat paling bawah dalam sistem kasta India yang sebelumnya dikenal dengan orang-orang yang emoh disentuh.

Kardinal Gracias, ketua Konferensi Waligereja India yang tinggal di Mumbai, mengatakan “Compendium on the Social Doctrine of the Church” itu menegaskan “kesetaraan radikal dan persaudaraan di antara semua orang, tanpa mempedulikan ras, bangsa, seks, asal-usul, kebudayaan, dan kelas.”

Gereja juga berkarya untuk melenyapkan eksploitasi perempuan dan diskriminasi gender, katanya. Tentang eksploitasi seksual terhadap perempuan dan anak-anak, prelatus itu mencatat bahwa perdagangan manusia menurut laporan merupakan kejahatan nomor tiga paling menguntungkan di dunia, setelah perdagangan obat terlarang dan perdagangan senjata. “Kita perlu berusaha untuk memastikan bahwa kaum perempuan sepenuhnya dihormati” dalam pengertian martabat mereka, tegasnya.

Ajaran Gereja juga mendesak umat Katolik untuk melindungi keluarga, memerangi kemiskinan, dan memperhatikan orang lanjut usia, tambahnya.

Kardinal itu menegaskan bahwa “komitmen kita terhadap budaya kehidupan dan peradaban perdamaian dapat dilihat melalui sikap dan tanggapan kita terhadap mereka yang lebih miskin dan lemah.”

Sensus India 2001 menunjukkan bahwa 12,5 juta anak usia 5-14 tahun menjadi pekerja anak, katanya. Banyak dari mereka, termasuk gadis-gadis, terlibat dalam berbagai pekerjaan yang berbahaya walaupun undang-undang melarang mempekerjakan anak-anak.

“Ini merupakan tanda bahwa nilai-nilai Injil belum cukup diresapi untuk menghancurkan perpaduan tanpa belas kasihan antara kemiskinan dan kepentingan diri sendiri yang membuat pekerja anak itu bisa terjadi. Ini jelas merupakan tugas di tangan Gereja India,” tegas kardinal itu.    

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi