UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

PAKISTAN – Wawancara – Sikap Bersama Gereja dalam Pertempuran antara Tentara dengan Ekstrimis Taliban Dipuji

Mei 26, 2009

RAWALPINDI, Pakistan (UCAN) — Saat sisa pasukan keamanan Pakistan tetap berperang dengan milisi Taliban di bagian barat laut negeri itu, Gereja-Gereja secara bersama menghimbau adanya reformasi kebijakan, hukum, dan struktural untuk membuka jalan bagi perdamaian.

Pada 8 Mei, pasukan keamanan Pakistan melancarkan serangan mematikan terhadap pejuang Taliban di sejumlah distrik — Lower Dir, Swat, dan Buner – yang menyebabkan terjadinya eksodus terburuk dalam sejarah Pakistan.

Mehboob Sada, direktur Pusat Studi Kristen, ikut dalam pertemuan para pemimpin Gereja-Gereja Kristen, termasuk para uskup Katolik, pada  22 Mei. Pertemuan itu bertema “On Extremism and Religious Minorities” (Tentang Ekstrimisme dan Kelompok-Kelompok Agama Minoritas). Dia juga turut merumuskan pernyataan yang dikeluarkan kemudian dalam sebuah konferensi pers. Dalam pernyataan itu, Gereja mengungkapkan keprihatinannya tentang kenyataan sekarang ini di Pakistan.

Sada, 62, telah berkarya di pusat itu selama 23 tahun, termasuk delapan tahun sebagai direkturnya. Karya di pusat ekumene itu terfokus pada isu-isu yang sedang dihadapi negeri itu, termasuk studi tentang Islamisasi dan dampaknya pada kaum perempuan dan kelompok-kelompok minoritas agama, dan penelitian tentang hubungan Kristen-Muslim.

Pada hari-hari belakangan ini, Sada terus berkontak dengan masyarakat lokal di Swat dan mengadakan pertemuan-pertemuan dengan umat Islam dan umat Kristen untuk meninjau situasi.

Dalam wawancara dengan UCA News, Sada menjelaskan bahwa militansi Taliban di Pakistan berakar dalam Islamisasi, yang secara serius mempengaruhi persatuan di negeri itu dan bahkan kemerdekaannya. Meskipun demikian, katanya, harapan terletak pada reformasi konstitusi dan suatu silabus yang seimbang dalam lembaga-lembaga pendidikan.

 

Berikut ini wawancara dengan Sada:

 

UCA NEWS: Bagaimana akan Anda menggambarkan situasi di Swat sekarang ini?

 

MEHBOOB SADA: Kita  sedang menyaksikan dampak negatif dari proses yang disebut Islamisasi yang dimulai dengan kekuasaan militer di bawah mendiang Jenderal Mohammad Zia ul-Haq yang menjadi presiden selama 1977-1988. Kehidupan normal dan harmonis masyarakat dijungkirbalikkan dan masyarakat terpecah ke dalam sekte-sekte agama. Kebencian berkembang secara arogan, kami lebih suci dari kamu. Kerusuhan tidaklah hanya terjadi di Swat tetapi di seluruh negeri. Kita gagal berfungsi sebagai suatu bangsa.

 

Seberapa serius situasi di Pakistan sekarang ini sebagai suatu ancaman?

 

Situasi sekarang ini sangat berbahaya bagi negeri ini. Yang ada sekarang ini adalah benar-benar suatu ketidakamanan. Ekonomi sedang menjadi lemah dan kehidupan masyarakat sangat menderita. Turisme terhenti, terutama di Swat yang indah pemandangannya. Swat pernah menjadi tujuan paling populer di Pakistan bagi para turis asing. Semua alur pembangunan tertutup.

 

Bisa Anda jelaskan tentang ideologi milisi Taliban di Swat?

 

Mereka  sedang berusaha memaksakan suatu Shariah (hukum Islam) yang baru tanpa semangat Islami yang benar. Orang-orang fundamentalis Islam ini menyatakan bahwa demokrasi, pendidikan gadis-gadis, dan sistem hukum itu tidak Islami. Mereka hanya percaya pada prinsip “membunuh atau dibunuh,” dengan menjanjikan surga. Berbagai praktek yang tidak manusiawi seperti ini tidak ditemukan dalam sejarah Islam.

Kaum Muslim liberal sudah mengutuk tafsiran fundamentalis Taliban tentang Islam. Tafsiran yang dikutuk itu justru disetujui oleh orang tertentu dengan kepentingan tertentu.

 

Apakah ada kekuatiran tertentu bagi orang Kristen dan kelompok-kelompok agama minoritas lain?

 

Di Propinsi North West Frontier, sejumlah lembaga pendidikan Kristen justru dijadikan sasaran. Ada selentingan dari sejumlah partai politik Islam bahwa organisasi-organisasi Kristen berusaha melakukan Kristenisasi dalam memberi bantuan.

Di antara kelompok-kelompok agama minoritas, komunitas Sikh merupakan persentasi tertinggi dari mereka yang kehilangan tempat tinggal. Mereka itu umumnya pedagang dan dipaksa membayar jazia (pajak agama yang diterapkan bagi kaum non-Muslim yang hidup di negara Muslim) atau menjadi Muslim. Di antara mereka yang mengungsi itu juga terdapat banyak keluarga Kristen dan sejumlah umat Hindu.

     

Seserius apa krisis kemanusian yang muncul dari situasi ini?

 

Sejak Pakistan terpisah dari India tahun 1947, kini pemerintah menghadapi suatu tantangan baru setelah terjadi migrasi terbesar. Hampir semua dari mereka yang bermigrasi itu bukan orang miskin, namun mereka harus pergi dengan meninggalkan harta benda dan bisnis mereka. Rekonstruksi wilayah-wilayah yang terkena operasi militer itu butuh waktu dan orang-orang ini tidak akan kembali ke rumah mereka dalam satu dua tahun.

 

Apa yang dilakukan Gereja-Gereja Kristen untuk membantu?

 

Dalam konferensi pers di Lahore 22 Mei, para pemimpin Gereja secara jelas memperlihatkan persatuan terkait dampak ekstrimisme terhadap kelompok-kelompok agama minoritas. Sikap bersama Gereja-Gereja di tengah pergolakan sekarang ini merupakan sebuah tanda yang baik. Kita sudah membentuk strategi perjuangan penuh perdamaian dan menghimbau agar satu hari dijadikan hari doa dan puasa serta satu hari sebagai hari unjuk rasa.

Keuskupan di utara Pakistan itu juga membuka dua penampungan bagi para pengungsi Kristen dan Hindu di kota Mardan di Propinsi North West Frontier. Penampungan itu kini ditempat oleh 103 keluarga, enam keluarga Hindu dan tujuh keluarga Muslim, sisanya Kristen.

 

Apakah Anda lihat masalah saat ini sedang meluas?

 

Pemerintah mengaku bahwa tentara akan mengendalikan situasi  dan masyarakat kini mendukung pasukan keamanan. Saya juga berharap bahwa operasi militer bisa memberi solusi atas persoalan menyangkut Taliban.

 

Apa ada hal lain yang ingin Anda tambahkan atau komentari?

 

Status kelompok-kelompok agama minoritas merupakan persoalan kunci yang harus diselesaikan dalam demokratisasi Pakistan. Gereja-Gereja Kristen belajar dari pengalaman bahwa menanggapi situasi darurat saja tidak cukup.

Ekstrimisme agama di pakistan dapat dilenyapkan dengan mencabut undang-undang yang diskriminatif dari konstitusi dan bahan pelajaran agama yang bias dari kurikulum.

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi