UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Kurangnya gizi spiritual di Cina

Maret 2, 2010

Kurangnya gizi spiritual di Cina

Diakon-diakon dalam pentahbisan mereka di Cina

BEIJING (CNI) – Seorang imam Katolik di Cina Daratan mengatakan pendidikan itu penting untuk menyelesaikan berbagai tantangan yang ada dalam Gereja Cina, demikian UCA News, kantor pelayanan berita Katolik Asia yang berpusat di Bangkok.

Pastor Paulus Gan membuat refleksi tentang surat bagi klerus Cina dari Sekretaris Negara Vatikan, Tarcisio Kardinal Bertone, pada November 2009. Surat itu dikeluarkan pada Tahun Imam.

Imam yang tidak ingin menggunakan nama aslinya itu berasal dari keluarga Katolik tradisional di Cina utara. Dia ditahbiskan imam di luar negeri tahun 2006. Pada tahun yang sama ia menyelesaikan studi Teologi Misi dan Sejarah Gereja.

Sekembalinya ke Cina, ia mengajar di sebuah seminari, membimbing retret untuk umat Katolik dan para suster, mengadakan program-program pelayanan sosial, serta melakukan pekerjaan menulis dan menerjemahkan.

Berikut ini komentarnya:

Satu paragraf dari surat Kardinal Bertone kepada klerus di Cina November lalu sangat menarik bagi saya dan saya tetap ingat sampai sekarang. Perkenankan saya mengutipnya secara lengkap.

“Pada saat ini mudah-mudahan tidak seorang pun ragu untuk mengupayakan rekonsiliasi secara nyata, untuk mengulurkan tangan kepada saudara-saudara yang mungkin “memiliki sesuatu dalam hatinya terhadap kamu” (bdk. Mat 5:23-24). Untuk itu, sangatlah perlu untuk juga memperhatikan pembinaan insani segenap umat, termasuk biarawan dan biarawati, karena sumber kesalahpahaman, tidak adanya kerja sama, dan berbagai konflik antara komunitas Katolik yang satu dengan komunitas Katolik yang lain adalah tidak adanya kedewasaan insani, pengendalian diri, dan keharmonisan batiniah.” 

Paragraf ini membuat seluruh isi surat itu relevan bagi Cina – himbauan untuk rekonsiliasi dan pembinaan yang lebih baik! Mengapa ada begitu banyak konflik dan perpecahan dalam komunitas-komunitas Gereja, tidak hanya di Cina, tetapi di seluruh dunia dan selama berabad-abad? Alasannya terletak pada kekurangan dan kelemahan insani, bukan pada pesan Injil dan ajaran-ajaran Gereja.

Tetapi poin itu juga secara langsung tertuju pada problem berkepanjangan yang dihadapi Gereja Cina. Ini merupakan konsekuensi dari latar belakang sejarah yang kurang beruntung tapi belum ditangani secara langsung. Baik surat terkenal dari Paus Benediktus XVI untuk umat Katolik di Cina daratan maupun surat dari Kardinal Bertone pada November lalu untuk para klerus di Republik Rakyat Cina tidak secara memadai memahami dan menyentuh tantangan fundamental yang dihadapi Gereja di Cina. Sekalipun kedua dokumen itu sangat bernilai.

Karena hubungan Gereja-Negara yang kurang beruntung selama beberapa dekade lalu dan tidak adanya pembinaan yang memadai dalam teologi dan spiritualitas yang sesuai dengan Konsili Vatikan Kedua, para uskup, imam, kaum religius, serta umat awam di Cina kini menderita kekurangan gizi baik bersifat psikologis, emosional, maupun spiritual.

Untuk tetap memegang obor iman, malah orang-orang yang “kekurangan gizi” inilah yang sedang melakukan tugas pembinaan bagi umat awam, kaum religius, serta orang-orang muda di seminari.

Hasil memuaskan macam apa yang kita harapkan selain penyakit yang diwariskan kepada generasi berikutnya?

Uskup-uskup kami memiliki tanggung jawab utama terkait dengan bina lanjut para imam muda dan pendidikan di seminari. Namun, bila sebagian besar waktu dan energi mereka, mau atau tidak mau, tersedot oleh rapat, administrasi, dan urusan non-Gerejani yang sering terjadi, maka akhirnya waktu dan tenaga mereka yang tersisa hanya sedikit. Justrru waktu dan tenaga tersisa inilah yang mereka manfaatkan untuk tugas-tugas mereka yang paling pokok dan penting.

Lebih buruk lagi, para uskup ini mestinya lebih banyak bicara tentang pendidikan dan pengelolaan seminari, namun karena kurang koordinasi dan berbagai hambatan lain, pengaruh mereka dalam kepemimpinan dan manajeman seminari betul-betul dikerdilkan.

Saat ini ada 12 seminari tinggi di Cina. Sebagian besar rektor seminari tinggi tidak diakui oleh Dewan Direksi, yang umumnya terdiri dari para uskup. Meskipun beberapa rektor tidak memenuhi syarat dan sangat tidak mampu melakukan tugasnya, tidak seorang pun bisa memecat mereka dan mencari pengganti baru.

Akibatnya, generasi muda jadi generasi korban.

Karena itu perlu – dan mendesak – untuk menghimbau adanya rekonsiliasi dan pembinaan yang lebih baik dalam Gereja di Cina. Bahkan yang lebih mendesak dan perlu adalah menemukan cara-cara untuk membuat Gereja berfungsi sebagai Gereja yang tepat.

Surat Kardinal Bertone itu juga menyentuh tugas ini dalam cakupan yang lebih luas ketika dia menulis: “Tanpa meninggalkan prinsip-prinsip iman Katolik, di antara berbagai persoalan, saya ingin menekankan rekonsiliasi dalam komunitas Katolik dan dialog konstruktif dan penuh rasa hormat dengan Pemerintah.”

 
 Saya kira inilah sesungguhnya yang perlu dan harus dilakukan oleh Gereja di Cina. Gereja hendaknya tidak membuang-buang waktu dan energi dalam perselisihan internal dan dalam permainan petak umpet dengan pemerintah, namun muncul secara terbuka untuk melaksanakan misi dan pelayanannya dengan sebuah visi yang kompak. Ini bisa bermanfaat bagi Gereja dan masyarakat serta bagi evangelisasi dan kesaksian akan nilai-nilai Injil.

Dalam melakukan dialog dalam Gereja maupun dengan pemerintah, masing-masing pihak harus menghadapi isu-isu terkait dengan “prinsip-prinsip.” Tapi jika kita mau mengikuti kebijaksanaan filsafat Cina kuno – mengesampingkan perbedaan dan mencari landasan bersama – banyak hal dapat dicapai. Sebaliknya, kita hanya akan menuai perpecahan dan perpisahan tanpa akhir atas nama “prinsip” sebagaimana terjadi dalam komunitas Gereja Terbuka dan komunitas Gereja Bawah Tanah di berbagai daerah.

Gereja Katolik di Cina memerlukan kepemimpinan baru dengan visi dan keberanian. Tapi Tahta Suci juga memiliki banyak pekerjaan yang akan dihadapi jika dia mulai mengadakan perundingan diplomatik dengan pemerintah Cina. Mungkin hasil yang paling penting adalah pembentukan mata rantai komando langsung dalam Gereja dengan semacam kerja sama dan konsultasi dengan sejumlah lembaga negara yang terkait. Ini pasti menjadi pekerjaan untuk masa depan.

Kebijaksanaan dan keberanian dibutuhkan. Ini bisa menimbulkan sejumlah kegemparan, namun dalam jangka panjang ini akan jauh lebih baik daripada membiarkan berbagai hal berjalan seperti yang terjadi selama ini.

Akhirnya, yang paling menghibur saya adalah kata-kata yang menenteramkan dari Kardinal Bertone: “Saya meyakinkan Anda bahwa Tahta Suci sadar akan situasi yang sulit dan kompleks di tempat Anda berada.”

Setelah bertahun-tahun jatuh bangun, terutama setelah bertahun-tahun mempelajari dan mengadakan penilaian secara seksama, Tahta Suci akhir lebih mengerti situasi yang sulit dan kompleks yang dihadapi Gereja di Cina. Harapan saya, semoga ada studi dan evaluasi yang lebih banyak tentang situasi Gereja di Cina di masa depan, lebih baik kalau pihak-pihak yang menerima kedua surat itu semakin dilibatkan, tidak hanya melibatkan orang-orang yang pernah mengunjungi Cina, maupun orang-orang yang hanya mendengar, membaca, atau menulis sesuatu tentang Cina.

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi