UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Di balik aksi kekerasan demi agama

Juni 1, 2012

Di balik aksi kekerasan demi agama

Aksi kekerasan atas nama agama masih menjadi topik hangat. Alasannya, kasus-kasus tersebut masih terus muncul dan kian terasa sebagai salah satu dinamika yang akan selalu ada dalam konteks relasi antaragama, bukan hanya di Indonesia tetapi juga di tempat-tempat lain.

Ingatan kita tentu masih akrab dengan peristiwa 2011 lalu ketika terjadi penyerangan kelompok Ahmadiyah di Cikeusik, Banten, Temanggung, Jawa Tengah dan Pasuruan, Jawa Timur. Dua peristiwa itu hanya contoh dari sekian banyak aksi kekerasan atas nama agama pada tahun 2011, yang menurut catatan SETARA Institute, jumlahnya mencapai 299 kasus.

Bila mencermati pemberitaan di media belakangan ini, tahun 2012, jumlahnya pasti meningkat. Saya sebut satu kasus yang masih hangat, yakni yang dialami jemaat HKBP Filadelfia di Bekasi Jawa Barat 17 Mei lalu, dimana mereka diserang dengan batu dan dilempar dengan kantong-kantong plastik berisi urin. Belum lagi kasus-kasus ancaman, intimidasi yang selalu menjadi topik menarik dalam pemberitaan media, seperti dalam kasus GKI Yasmin serta penyegelan gereja di Aceh.

Isu fanatisme agama mudah tercium sebagai sebab dari lahirnya peristiwa-peristiwa itu. Dampaknya sangat terasa. Pasca meledaknya peristiwa-peristiwa itu terjadi kesenjangan relasi antarumat beragama. Relasi yang dialogis dan harmonis kian terancam.

Hal ini diperparah oleh absennya negara dalam meredam aksi-aksi destruktif itu. Seakan-akan kehadirannya diperkenankan karena toh dalam banyak kasus pihak keamanan terkesan masa bodoh, meski mereka sudah mencium isu akan terjadinya peristiwa-peristiwa itu. Di tempat kejadian pun mereka lebih memilih mengevakuasi kelompok yang diserang dan bukannya menangkap pelaku penyerangan. Negara yang diharapkan mampu melindungi semua warganya, seakan-akan mengambil posisi aman, takut menindak para pelaku kekerasan. Bukankah yang seharusnya ditindak adalah pelaku. Mengamankan korban bukan solusi, tapi menunda persoalan dan itu berarti mengabadikan praktek kekerasan atas nama agama.

Mengapa kekerasan bisa terjadi atas nama agama? Akar dari hal ini adalah kecenderungan sebagian kelompok untuk memaksakan apa yang diyakini sebagai kebenaran kepada kelompok lain, tanpa memberi tempat pada kesadaran bahwa setiap orang atau kelompok bisa berbeda.

Kekerasan dapat dibaca sebagai bentuk ketidakmampuan dalam diri pelaku kekerasan untuk menerima kenyataan pluralitas atau keberagaman. Akibatnya, muncul ketakutan atau merasa terancam, karena berbeda atau tidak sejalan dengan paham yang mereka yakini. Lantas, mereka terpacu untuk menguasai yang lain. Maksudnya untuk meminta pengakuan dari yang lain itu. Nah, jalan kekerasan bisa dihalalkan jika yang lain itu tidak mau tunduk, tetap konsisten pada pilihannya.

Jelas, pelaku kekerasan atasnama agama mencerminkan logika ini. Yang terjadi adalah pemaksaan. Pengetahuan manusiawi yang pada dasarnya selalu dapat keliru dipercayai sebagai kehendak Ilahi, yang kebenarannya sudah pasti serta tak perlu diragukan lagi. Maka, yang tidak mau mengakui itu dianggap sesat, melawan Allah serta pantas untuk direpresi dan dieliminasi.

Tentu saja, di hadapan aksi kekerasan, kita sepakat untuk menolak. Kekerasan apapun bentuknya tidak dapat dibenarkan. Apalagi ketika itu dilakukan atas nama pembelaan terhadap agama. Agama pada dasarnya mengajarkan nilai toleransi, kesediaan menerima pluralitas serta keutamaan-keutamaan lain.

Sebuah ironi ketika sebagian orang justru menggunakan agama sebagai alasan untuk menjustifikasi adanya peristiwa kekerasan, ketika alasan-alasan suci dipakai untuk melegitimasi aksi pembasmian terhadap kelompok-kelompok tertentu yang dipersepsi sebagai yang salah, yang keliru dan yang tidak mau tunduk pada kehendak kelompok yang memiliki status quo.

Kekerasan yang selalu tampil di hadapan kita adalah tragedi yang menistakan martabat manusia. Namun sayangnya fenomen ini tetap sering kita jumpai. Demokritos, filsuf Yunani kuno (yang hidup sekitar 460 SM – 370 SM) mengatakan demikian: Barang siapa melakukan kejahatan, seharusnya merasa malu terhadap dirinya sendiri.

Ungkapan ini menyuarakan sebuah keyakinan bahwa melakukan kekerasan atau kejahatan adalah pelecehan terhadap kemanusiaan. Karena itu, seharusnya pelaku merasa malu dengan dirinya sendiri. Mengapa? Karena saat melakukan kekerasan, sebenarnya bukan hanya martabat si korban – yang terpaksa menanggung derita akibat naluri destruktif pelaku – yang dirusak, tapi tindakan kekerasan itu sendiri, telah menistakan martabat si pelaku kekerasan.

Bahwa ternyata, si pelaku itu takluk, tidak berdaya dihadapan kehendaknya sendiri untuk menjadi serigala bagi yang lain. Di hadapan korban kekerasan, ia sebenaranya juga sedang menghancurkan martabatnya sendiri sebagai manusia karena ia tidak bisa mengatasi nafsu yang ada dalam dirinya.

Apalagi ketika orang melakukan kekerasan atas nama agama, bukan hanya martabat manusia yang dilecehkan, tetapi juga agama itu sendiri. Menggunakan agama untuk melegitimasi kekerasan adalah pereduksian dan penistaan terhadap agama.

Siapapun yang mengaku beragama atau ber-Tuhan dan kemudian mengagungkan kekerasan sebagai jalan untuk membela agama dan Tuhan sebenarnya itu sudah merupakan bentuk penyangkalan terhadap Tuhan. Dan, itulah ateisme yang sesungguhnya. Kepercayaan terhadap adanya Tuhan mesti membuat orang berlaku seperti Tuhan, rendah hati serta tahu diri bahwa ia bukanlah pemegang kuasa, bahwa ia sebenarnya kecil dan mesti menyembah Tuhan yang diimani.

Konsekuensi lain, mestinya ia menghidupi kebaikan, karena Tuhan adalah baik, penuh kasih. Kalau kita melakukan kekerasan dan kemudian membaptis tindakan kekerasan itu sebagi bentuk pembelaan terhadap agama dan Tuhan, maka sebenarnya, sekali lagi, itu adalah bentuk penyangkalan akan Tuhan. Kalau demikian, masihkan kita pantas menyebut diri sebagai orang beragama, yang mengimani Tuhan?

Ryan Dagur adalah wartawan ucanews.com

 

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi