UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Dua mantan Yesuit berbagi pengalaman praktek teologi di Simposium Teologi Pembebasan

Pebruari 27, 2014

Dua mantan Yesuit berbagi pengalaman praktek teologi di Simposium Teologi Pembebasan

Sejumlah warga terpaksa menggunakan air dari Sungai Ciliwung di Bukit Duri.

 

Sandyawan Sumardi, mantan pastor Yesuit, berbagi pengalaman berteologi bersama masyarakat pinggiran Kali Ciliwung di forum Simposium Teologi Pembebasan Asia, Selasa (25/2).

Pembelajaran menarik dari pengalaman yang dilakukan Sandyawan, dikatakan bahwa, “bekerja untuk masyarakat, kita harus jujur pada diri sendiri dan sesama, dan lakukan saja langsung dengan sepenuh hati.”  

Pada kegiatan Simposium Teologi Pembebasan Asia (Asian Theology of Liberation Symposium) yang diadakan oleh STT Jakarta dan Perhimpunan Sekolah-sekolah Teologi di Indoneisa (Persetia), yang berlangsung dari tanggal 24-27 Februari, pihak panitia mengundang pekerja kemanusiaan Sandyawan, karena dinilai telah menjalankan praktek teologi pembebasan.

“Sandyawan Sumardi telah secara konkrit memperjuangkan pemberdayaan masyarakat miskin kota,” demikian jelas Pendeta Robert Setio, Ketua Persetia.Kisah lain dari pengalaman pemberdayaan masyarakat yang diungkapkan Sandyawan, “di sanggar belajar di masyarakat Kampung Pulo dan Bukit Duri, ada seorang anak SD yang ternyata mampu menjadi guru bagi anak remaja yang bersekolah di tingkat SMP.”

Cerita ini dikisahkan oleh Sandyawan, sebagai contoh dari prinsip ‘setiap orang adalah guru, setiap tempat adalah sekolah’, dan menurut Sandyawan, sudah selayaknya semua orang saling menghormati, terutama kepada kaum miskin.

Sandyawan juga menceritakan bahwa dalam melayani seringkali akan berhadapan dengan persepsi orang-orang yang harus dilakukan “program ulang” dengan segala keterbukaan agar bisa masuk dan mengubah pola pikir. Dalam kasus pengentasan kemisikinan, misalnya, “tidak cukup hanya mengatakan kemiskinan itu hal yang kotor, kumuh, kemiskinan itu tak berpendidikan. Pada kenyataannya, masyarakat pinggiran memiliki solidaritas untuk saling menopang dan saling belajar.”  

Hal yang terakhir inilah yang dicontohkan dengan cerita anak sekolah dasar ternyata menjadi guru bagi anak remaja yang bersekolah lebih tinggi. Sandyawan yang berbicara dalam satu sesi dengan teolog Anna Marciana, yang menceritakan pengalaman berteologi di beberapa daerah di Indonesia dan Asia.

Ketika ditemui satuharapan.com seusai pemaparan, Sandyawan menceritakan kondisi nyata yang dihadapi warga yang dilayaninya, Selasa (25/2), “Hari ini tadi air masih naik lagi, banjir, dan di Bukit Duri ini berarti ke-sembilan kali, warga membersihkan rumahnya. Sejak banjir bulan lalu. Membersihkan lumpur banjir itu tak gampang, itu butuh tak kurang 5 jam.” Sandyawan menceritakan kondisi di Kampung Pulo dan Bukit Duri dengan menunjukkan beberapa foto dari telepon pintarnya. 

Tentang daya tahan, Sandyawan mengatakan, “Harus diakui, mereka memiliki kemampuan bertahan yang kuat. Saya pernah menghitung, setidaknya ada 32 sektor informal, pedagang kelontong, pembuat sapu, itu kalau banjir besar, habis, termasuk banjir kemarin. Tetapi dalam waktu tiga minggu sampai satu bulan, mereka bisa berjualan kembali.”

Daya survival masyarakat pinggiran yang luar biasa ini menurut Sandyawan, seharusnya dikelola dengan sistem yang lebih baik, “Misalnya saja dikembangkan sebuah pasar rakyat, dengan cara warga membuat semacam saung knock down. Saya pernah mengamati di luar negeri, sebuah stasiun kereta yang hari Sabtu dan Minggu diubah menjadi pasar informal, dan masyarakat menjaga kebersihannya, itu berdampak ekonomi yang luar biasa,” demikian kata Sandyawan yang mengakui ide-ide pemberdayaan tidaklah mudah terlaksana. 

Masyarakat Pinggiran Sungai Ciliwung

Berkaitan Rencana Program Normalisasi Kali Ciliwung, Sandyawan bercerita bahwa Gubernur DKI, Jokowi pernah datang setelah terpilih, pada waktu itu Sandyawan berkesempatan mewakili warga dan mempresentasikan usulan pendirian kampung susun manusiawi Bukit Duri. Gubernur menjanjikan pembangunannya, namun ada masalah dengan rencana pelebaran sungai menjadi 50 m. Ini berarti seluruh areal permukiman di Kampung Pulo dan Bukit Duri, terpakai semua. Sandyawan kemudian mengusulkan lebar sungai menjadi 35 m dan dibangun bangunan rumah susun yang dibangun atas kerja sama, pemprov, masyarakat, dan investor.

Keinginan warga adalah memiliki rumah tinggal (Rusunami), karena warga yang telah puluhan tahun mengalami ketidakpastian. Sandyawan menyayangkan dengan tawaran pola sewa (Rusunawa), ini berarti solusi yang ditawarkan masih bersifat emergensi, bukan seperti rencana awal, yakni pembangunan kampung deret yang menampung warga bantaran sungai Ciliwung.

Solusi kreatif berteologi

Berkaitan dengan kegiatan SimposiumTeologi Pembebasan Asia yang dilaksanakan di STT Jakarta, Sandyawan mengatakan, dirinya melihat ada banyak orang-orang muda yang kreatif, yang dapat memberikan solusi alternatif, termasuk upaya mengatasi kebekuan institusional berteologi, “orang-orang muda punya banyak energi kreatif, bila dengan orang yang telah mapan, seringkali membuat teologi menjadi susah dan tidak pernah jadi. Cara menjalankan teologi adalah lakukan langsung,” Sandyawan Sumardi menegaskan pendapatnya.

Simposium Teologi Pembebasan Asia kali ini dihadiri sejumlah pembicara dari dalam dan luar negeri yang ikut memperkaya. Pada hari pertama tersebut sejumlah teolog menyajikan paparannya, seperti, J.B. Banawiratma, yang juga mantan pastor Yesuit, memaparkan tentang Teologi Pinggiran di Era Globalisasi yang dipandu oleh Pendeta Josef Widyaatmadja, teolog Dr. Huang Po Ho dari Taiwan memberikan paparan tentang “Doing Asian Theologies in the Context of God’s Oikos”.

Selain itu ada juga teolog dari India dan Korea yang turut memberikan masukan pengalaman berteologi, yakni Dr. Hwang Namduk dan Dr. R. Christoper Rajkumar. (satuharapan.com)

 

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi