UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Kehadiran profetis di tengah kaum marginal menantang kaum religius

Pebruari 16, 2017

Kehadiran profetis di tengah kaum marginal menantang kaum religius

Para biarawati bergabung dalam sebuah aksi protes di Manila.

 

Sebuah lembaga kehidupan religius Asia menandai pekan ketiga Januari tahun ini sebagai “Pekan Hidup Religius” dengan tema “Kehidupan Religius: Kehadiran Profetis di Tengah Kaum Marginal,” bagaimana berbicara tentang relevansinya dalam dunia saat ini.

Dalam mengikuti ajaran Yesus, orang “religius” atau orang “tertahbis”, secara fundamental dipanggil untuk “menciptakan” sebuah komunitas laki-laki atau perempuan yang hendaknya menempatkan Allah di pusat kehidupan mereka di atas segalanya.

Dalam sejarah Israel, Allah Abraham, Allah Yakub, Allah Musa, dan Allah Yesus, selalu berada di tengah masyarakat marginal – orang miskin, para janda, anak-anak, serta korban kekerasan dan korupsi.

Yesus sendiri diutus “membawa kabar baik kepada orang miskin, mewartakan pembebasan kepada tawanan, dan menyembuhkan orang buta, membebaskan yang tertindas dan mengumumkan tahun kerahiman Ilahi,” menurut Injil Lukas.

Dalam pembicaraannya selama salah satu kegiatan pekan lalu, cendikiwan Dominikan Laurie Brink memberikan dasar alkitabiah dari “panggilan profetis kehidupan religius.” Dia menyebutnya “dialog profetis,” yang ia gambarkan sebagai “berbicara langsung” dan “berbicara menentang.”

“Berbicara langsung” mewartakan kebenaran Injil setiap saat, baik dalam kata-kata dan melalui tindakan kenabian, atau “kehidupan kesaksian,” sementara “berbicara menentang” mengatakan kebenaran ketimbang kekuasaan seperti dikatakan Yohanes Pembaptis dalam Injil Lukas.

Sementara itu, Pastor Diarmuid O’Murchu, misionaris Irlandia, berbicara tentang hidup kaul religius “dalam komunitas marginal,” atau dengan mereka yang secara ekonomi tertinggal, secara budaya lemah, dan tak bersuara secara politik.

Kaum religius, sebagai “nabi Allah saat ini,” kata Pastor O’Murchu, dipanggil untuk menghilangkan kemiskinan, mengurangi orang terpinggirkan, yang secara diametris ditentang dengan apa yang diwartakan Yesus, takhta atau kerajaan Allah, kerajaan keadilan, perdamaian, cinta, harmoni, (kesetaraan) dan persaudaraan dengan semua orang.

Dia mengusulkan untuk mengubah nama  “Kerajaan Allah” menjadi “Kerajaan Pemberdayaan” karena dahulu, jika dipahami dalam konteks raja-raja sejarah dunia, yang lalim dan diktator dengan kekuasaan mutlak meninggalkan orang-orang miskin dan tak berdaya, dan bahkan diturunkan menjadi perbudakan.

Ketika Yesus mengumumkan bahwa Kerajaan Allah sudah dekat, ia tidak berniat untuk memiliki orang-orang budak. Dia memanggil murid-murid-Nya dan membasuh kaki mereka sebagai tanda apa yang harus mereka lakukan dengan satu sama lain. Dalam semangat tidak hanya kerendahan hati, tapi kesetaraan dan persaudaraan, para murid untuk melayani satu sama lain dan seluruh umat manusia.

“Kerajaan Pemberdayaan” adalah bahasa yang tepat saat ini.

Kaum religius, yang seharusnya adalah Sequala Christi, atau “pengikut jejak Kristus,” ditantang untuk menjadi sahabat orang miskin dengan memberdayakan mereka  di  tengah masyarakat yang menolak mereka, menyalahgunakan mereka dan melecehkan mereka.

Seorang misionaris dari Pulau Basilan, Filipina bagian selatan telah menjalani pengalaman “kenabian” dalam komunitas terpinggirkan selama 45 tahun.

Pastor Angel Calvo, dari tarekat Clarensian, dikirim ke pulau terpencil Mindanao tahun 1972 setelah ditahbiskan di Spanyol.

Misinya dimulai pada puncak kekuasaan militer di negara itu. Dia tinggal dengan dan bekerja untuk orang-orang di pulau itu, yang mayoritas Muslim yang menderita akibat eksploitasi oleh pemilik tanah besar dan perusahaan multinasional.

Pastor Calvo membantu masyarakat pindah dari kerusakan yang ditimbulkan oleh konflik. Ia mengatakan, “komunitas manusia” dengan menggunakan metode pendidikan yang membebaskan dari Paolo Freire. Dan bersama-sama dengan tim relawan, ia memfasilitasi pendidikan masyarakat suku miskin melalui pemberdayaan.

Imam itu kemudian dipaksa pindah ke kota terdekat Zamboanga setelah serentetan penculikan dan pembunuhan terhadap para misionaris, imam, bruder, suster, guru, katekis, dan bahkan wisatawan, oleh kelompok militan Abu Sayyaf.

Sekali lagi, Pastor Calvo menemukan orang terpinggirkan di tempatnya yang baru di Zamboanga – anak-anak jalanan, para gadis dan wanita muda yang menjadi korban perdagangan ilegal, dan pemukim miskin perkotaan. Ia mengorganisir jaringan dan memfasilitasi pembangunan rumah bagi masyarakat.

Karya misionaris religius ini diperluas dengan mendirikan Advokat Perdamaian Zamboanga, yang mengumpulkan berbagai elemen masyarakat yang peduli dengan perdamaian di tengah-tengah konflik.

Hal ini telah menjadi sebuah gerakan untuk pemberdayaan orang terpinggirkan untuk merebut kembali hak-hak dan martabat mereka sebagai manusia. Hal ini telah menjadi sebuah gerakan untuk perdamaian dan keamanan manusia yang mempromosikan kebebasan dari keinginan, kebebasan dari rasa takut, dan kebebasan untuk hidup dengan bermartabat sebagai manusia.

Dalam dunia konflik dan perpecahan, tangisan orang miskin – mereka yang terus tertinggal secara ekonomi, korban kekerasan, ketidakadilan, dan kejahatan terhadap kemanusiaan – mencapai puncak dan memohon keadilan Tuhan.

Kaum Religius dipanggil untuk berjalan di jejak Yesus ditantang untuk menghidupkan panggilan mereka dari perspektif yang terpinggirkan dan bekerja untuk dan dengan kaum marginal di dunia, atau menghadapi ketidakrelevanan.

Bonifacio Tago Jr adalah wakil ketua program akademik dan profesor filsafat di Kolese Samaria Yang Baik Cabanatuan City, Filipina. Dia saat ini mengambil gelar doktor Teologi dalam Bidang Hidup Bakti di Institut Hidup Bakti Asia.

Sumber: ucanews.com

 

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi