UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Kardinal Quevedo mengaitkan konflik dengan kemiskinan

Juni 21, 2017

Kardinal Quevedo mengaitkan konflik dengan kemiskinan

Kardinal Orlando Quevedo dari Cotabato mengatakan memerangi kemiskinan merupakan kunci dalam menangani ekstrimisme di Filipina.

Menghentikan kekerasan ekstremisme di Filipina harus dimulai dengan memerangi ketidakadilan sosial, terutama di wilayah selatan, kata Kardinal Orlando Quevedo dari Cotabato, Mindanao.

Menangani ketidakadilan sosial, nyata atau dirasakan, adalah kunci untuk memberantas terorisme, bukan intervensi militer, kata Quevedo.

“Pemerintah harus mengatasi akar ekonomi dan politik dari teror,” kata Kardinal Quevedo menjawab pertanyaan media.

Mindanao adalah pulau paling kaya sumber daya di Filipina namun secara terus menerus menjadi wilayah bagi beberapa provinsi termiskin, dengan Lanao del Sur -di mana kota Marawi berada- berada di urutan teratas.

Menurut statistik resmi, kemiskinan di provinsi ini memburuk dalam dekade terakhir.

Dari hanya 44 persen di tahun 2006, data menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan di provinsi ini – yang berpenduduk 1 juta – meningkat secara dramatis menjadi 74,3 persen pada tahun 2015.

Masalah Mindanao sangat kompleks. Kelalaian pemerintah, ketidaksetaraan, dan pengucilan politik selama beberapa dekade telah mendorong banyak kelompok pemberontak melakukan pemberontakan untuk otonomi yang lebih besar selama lebih dari empat dekade.

Sampai saat ini, 11 dari 20 provinsi termiskin di negara ini berada di Mindanao, yang memiliki sekitar 21 juta orang.

Wilayah ini juga dianggap sebagai “keranjang makanan” Filipina. Ironisnya, wilayah ini memiliki kasus kelaparan dan kasus malnutrisi tertinggi di negara ini.

Di seluruh wilayah, Daerah Otonomi Muslim Mindanao (ARMM) juga memiliki tingkat melek huruf terendah sebesar 72,1 persen pada tahun 2015.

“Isu-isu ini menuntut penanganan jangka panjang,” kata Kardinal Quevedo.

Kardinal tersebut mengatakan bahwa terorisme bukan sekadar ancaman, dan menambahkan bahwa hal itu telah terjadi selama beberapa tahun di beberapa bagian Mindanao.

“Tapi terorisme ideologis, misalnya ISIS, adalah hal baru,” katanya, merujuk pada kelompok teroris Maute yang menyerang Marawi pada bulan Mei yang membunuh orang-orang Kristen dan membakar gereja-gereja.

Lebih dari 300.000 orang telah meninggalkan rumah mereka sejak pertempuran dimulai.

Dia menambahkan bahwa akar terorisme juga mencakup bias dan prasangka antara Muslim dan Kristen, dan menyerukan dialog antaragama untuk membantu mengakhiri semua bentuk fundamentalisme.

Kardinal tersebut mengatakan dialog antaragama sangat penting di tengah pertempuran yang sedang berlangsung di Mindanao.

“Dengan realitas tragis terorisme, dialog antaragama menjadi lebih penting dan sangat diperlukan,” kata Kardinal Quevedo.

Dia menambahkan bahwa tugas para pemimpin agama untuk mengatasi akar penyebab terorisme, termasuk bias dan prasangka yang sudah tertanam, yang sering meletus saat perselisihan sosial dan kekerasan terjadi.

Cara mengoreksi “keyakinan yang keliru” dan memberantas atau setidaknya mengurangi prasangka dapat dicapai melalui pendidikan informal dan formal dan bahkan dalam dialog sehari-hari.

“Pemimpin agama, institusi pendidikan dan gereja harus secara efektif mengatasi bias, prasangka dan keyakinan agama yang keliru yang dimulai dengan orang muda,” katanya.

Dia mengatakan bahwa pemimpin agama harus mengambil tindakan atas keyakinan yang salah atau keliru dari konstituen mereka masing-masing tentang orang lain.

Prelatus itu mencatat bahwa sebuah gerakan dialog antaragama, yang terdiri dari para uskup Katolik, pemimpin Protestan, dan Ulama Muslim, sudah ada di Mindanao.

“Pertemuan dilakukan setiap empat bulan untuk membahas masalah sosial yang menjadi kepentingan bersama dan terkadang melakukan dialog pertukaran teologis,” katanya.

Dia menambahkan bahwa lembaga tersebut memulai Pekan Perdamaian Mindanao yang dirayakan di seluruh Mindanao selama masa Adven.

Keuskupan lain di kawasan ini juga telah meniru konferensi tersebut “dan sekarang mengadakan diskusi kelompok serupa,” melibatkan pemimpin gereja “termasuk umat awam dari berbagai tradisi keagamaan.”

Kardinal selanjutnya menjelaskan bahwa juga tugas para pemimpin untuk melibatkan orang-orang dalam pembentukan nilai-nilai yang “harus dimulai dari masa kanak-kanak.”

Link: Philippine cardinal

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi