UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Sekitar 50.000 Warga Rohingya Terancam Kelaparan

September 19, 2017

Sekitar 50.000 Warga Rohingya Terancam Kelaparan

Seorang gadis berusia 10 tahun menderita kekurangan gizi di kamp Maw Sonya IDP dekat Sittwe pada 12 September.

Program Pangan Dunia (WFP) organisasi milik PBB yang menyediakan bantuan makanan secara reguler kepada 120.000 orang Rohingya di kamp pengungsian, bekerja mengejar waktu untuk memberikan bantuan untuk kelangsungan hidup untuk 50.000 orang pengungsi yang telah mengungsi sekitar tiga minggu.

Gangguan pendistribusian bantuan terjadi menyusul tuduhan pemerintah bahwa badan bantuan tersebut mendukung pemberontak, yang menyebabkan kontraktor lokal menolak membawa bantuan makanan untuk negara bagian Rakhine yang dilanda konflik sejak 25 Agustus.

Hal ini juga mempengaruhi penyediaan perawatan kesehatan primer di kamp pengungsi internal di dekat Sittwe dan tempat lain di negara bagian ini.

Pengungsi Rohingya dari sepuluh kamp, ​​yang ditutup dengan penjagaan polisi di dekat Sittwe, ibu kota pelabuhan Rakhine, mengatakan bahwa beberapa kamp mendapat jatah makanan pada bulan Agustus namun sebagian besar kamp tidak mendapat jatah.

Program Pangan Dunia (WFP) secara teratur menyediakan beras, kacang dan minyak setiap bulan dan kontraktor lokal membawa makanan dengan truk dan mengirimnya ke kamp-kamp.

Kontraktor lokal yang berasal etnis Rakhine prihatin dengan pembalasan oleh kelompok garis keras Buddhis Rakhine menyusul tuduhan pemerintah bahwa biskuit energi WFP ditemukan di kamp militan Rohingya di Rakhine utara.

“Saya tidak tahu apakah kami akan mendapatkan bantuan pada bulan September tetapi kami sangat kesulitan untuk kelangsungan hidup sehari-hari karena kami benar-benar bergantung pada bantuan pangan yang diberikan donatur,” kata Roshida, seorang ibu berusia 25 tahun yang memiliki tiga orang anak yang tinggal di kam Maw Sonywa dekat Sittwe.

Sekitar 120.000 Muslim Rohingya mengandalkan bantuan dari PBB dan LSM Internasional sejak tahun 2012 ketika pertikaian berlatar agama meletus antara Rohingya dan etnis Rakhine di Sittwe dan sekitarnya, menyebabkan lebih dari 200 orang tewas.

Pierre Peron, juru bicara Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB mengatakan karena gangguan keamanan di negara bagian Rakhine Tengah, banyak orang saat ini tidak menerima bantuan makanan secara normal. Dia mengatakan bahwa layanan perawatan kesehatan primer sangat terganggu karena dokter dan staf medis tidak hadir di klinik.

Peron menambahkan bahwa lingkungan yang aman dan kondusif bagi semua staf dan kontraktor kemanusiaan harus dipastikan sehingga mereka dapat melanjutkan pekerjaan penting mereka untuk memenuhi kebutuhan semua masyarakat di Negara Bagian Rakhine.

“Tanpa akses reguler untuk membantu dan dengan pembatasan yang ketat terhadap kebebasan bergerak ribuan orang, sedikit gangguan pada bantuan kemanusiaan memiliki dampak kemanusiaan yang sangat nyata,” kata Peron kepada ucanews.com.

Staf dari organisasi bantuan internasional takut untuk datang di kamp-kamp padat penduduk tersebut karena permusuhan terhadap kelompok-kelompok pemberi bantuan meningkat di Rakhine setelah kantor Aung San Suu Kyi berulang kali menerbitkan gambar biskuit energi WFP yang diduga ditemukan di kamp-kamp militan Rohingya.

Kantor Aung Suu Kyi mengatakan bahwa mereka menyelidiki dukungan kelompok bantuan untuk militan dalam setidaknya satu insiden.

Badan-badan donatur sering dituduh pro-Rohingya oleh Budha Rakhine dan kantor penyalur bantuan di Sittwe dijarah pada pada kerusuhan tahun 2014.

Zaw Zaw Naing yang bekerja sebagai petugas kesehatan masyarakat di Komite Penyelamatan Internasional di kamp pengungsi Dar Paing mengatakan kepada ucanews.com bahwa “klinik telah ditutup karena dokter yang dikirim oleh rumah sakit yang dikelola pemerintah tidak muncul dan pekerjaan saya juga berhenti.”

Zaw Zaw Naing dan relawan lokal lainnya telah berhenti bekerja selama hampir tiga minggu. Sementara itu, dua anak yang menderita radang paru-paru dan dua orang lansia yang menderita diabetes telah meninggal dalam dua minggu terakhir di kamp pengungsi Thetkaepyin.

Dosmin, seorang wanita berusia 24 tahun, mengatakan bahwa anak perempuan mereka yang berusia lima bulan meninggal karena pneumonia pada 28 Agustus karena hanya layanan kesehatan ringan yang tersedia di kamp-kamp tersebut.

“Saya membawa anak saya ke klinik terdekat tapi tidak tertolong karena mereka kekurangan peralatan darurat,” kata Dosmin kepada ucanews.com.

Namun, ada tanda-tanda bahwa krisis yang lebih luas dapat dihindari setelah WFP dapat melanjutkan distribusi bantuan di satu kamp pada 12 September dalam koordinasi dengan pemerintah, yang menyediakan truk, keamanan dan staf tambahan.

“Jika semuanya berjalan dengan baik, kami berharap bahwa lebih dari 50.000 pengungsi yang belum menerima jatah bulan Agustus akan mendapatkannya pada akhir minggu ini,” kata WFP pada 12 September.

 

Baca juga: Starvation risks 50,000 Rohingya refugees

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi