UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Myanmar menginvestigasi kuburan massal di Rakhine

Desember 21, 2017

Myanmar menginvestigasi kuburan massal di Rakhine

Asap hitam membubung tinggi yang diyakini sebuah desa di wilayah Maungdaw, Rakhine, Myanmar, dibakar, pada 4 September 2017. Pihak berwenang sedang menginvestigasi temuan kuburan massal dekat Maungdaw. (Foto AFP)

Sebuah tim investigasi forensik  dimulai,  10 mayat  ditemukan di sebuah desa di Negara Bagian Rakhine yang dilanda konflik tempat pasukan keamanan dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang masif terhadap  etnis Rohingya.

Tin Mg Swe, pejabat senior pemerintah Rakhine, mengatakan  tim yang terdiri dari pejabat kesehatan, administrator, polisi dan hakim menemukan 10 mayat di dekat pemakaman umum di desa Din Din pada 19 Desember lalu.

Dia mengatakan bahwa jasad tersebut tidak dapat dikenali dan penyelidikan lebih lanjut sedang dilakukan.

Tin Mg Swe mengatakan kepada ucanews.com bahwa dia tidak dapat berkomentar lebih jauh mengenai apakah jenazah tersebut berasal dari anggota komunitas Muslim Rohingya, yang mengalami kekerasan  militer Myanmar setelah melakukan tindakan represif terhadap militan separatis yang dimulai pada akhir Agustus.

Hla Tun Kyaw, seorang anggota parlemen dari Partai Nasional Arakan Taruna di daerah Maungdaw, mengatakan bahwa dia mendapat informasi dari seorang yang tidak mau disebutkan namanya bahwa pembunuhan tersebut bukan  baru-baru ini. Kemungkinan mayat-mayat itu ada di sana lebih dari satu tahun karena keadaan dekomposisi yang semakin tinggi.

Politisi tersebut juga mengatakan bahwa dia tidak tahu apakah jasadnya adalah etnis Rakhine atau Rohingya.

“Kami meminta pihak berwenang setempat untuk melakukan penyelidikan rinci dan mengumumkan hasilnya kepada publik untuk memastikan secara pasti,” kata Hla Tun Kyaw, seorang etnis Rakhine.

Militer Myanmar mengumumkan 18 Desember penemuan kuburan massal di dekat pemakaman umum di desa Din Din, Maungdaw selatan, sekitar 50 kilometer sebelah utara ibukota Negara Bagian Sittwe.

Desa Inn Din adalah rumah bagi 1.000 Muslim Rohingya dan setidaknya 200 etnis Rakhine. Hanya penghuni rumah tangga etnis Rakhine yang tersisa setelah warga etnis Rohingya melarikan diri bersama lebih dari 600.000 lainnya ke kamp-kamp pengungsi di Banglades akibat kekerasan yang dipicu oleh tindakan militer terhadap pemberontak Muslim.

Maungdaw adalah salah satu kota yang paling parah terkena dampak kekerasan tersebut, yang menyebabkan Perserikatan Bangsa-Bangsa menuduh pasukan keamanan Myanmar melakukan genosida terhadap etnis Rohingya.

Di Inn Din, warga etnis Rohingya dan Rakhine tinggal di komunitas terpisah. Inn Din tercatat terkena serangan pembakaran paling parah, dengan daerah Rohingya dibakar sampai rata tanah sementara daerah Rakhine dibiarkan utuh, demikian menurut gambar satelit Human Rights Watch yang dirilis pada 17 Oktober.

Phil Robertson, wakil direktur HRW Divisi Asia, mengatakan berkali-kali, pemerintah dan militer Myanmar terbukti  tidak ada itikad baik untuk secara serius menyelidiki kemungkinan kesalahan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah, dan Inn Din mungkin akan menemukan kenyataan yang sama.

“Sangat penting bahwa Myanmar menerima bantuan dari penyelidik independen yang independen dan mengizinkan mereka untuk segera melakukan perjalanan ke Inn Din untuk menyelidiki apa yang terjadi dan membuat laporan publik lengkap,” kata Robertson kepada ucanews.com.

MP Hla Tun Kyaw mengatakan empat guru sekolah dan anggota Partai Nasional Arakan (ANP) ditangkap sebelum ditemukannya kuburan tersebut, namun tidak jelas apakah mereka terlibat langsung atau mengetahui kejadian tersebut.

Salah satu guru sudah dibebaskan, sementara sisanya dibawa ke Sittwe untuk diinterogasi lebih lanjut.

Hla Tun Kyaw mengatakan bahwa dia telah mendengar bahwa dua wartawan Reuters yang  ditahan oleh pihak berwenang mengunjungi desa Din Din baru-baru ini dan berbicara dengan penduduk desa.

Wa Lone dan Kyaw Soe Oo ditangkap oleh polisi di Htauk Kyant karena diduga memiliki laporan polisi. Pasangan ini dikenai hukuman berdasarkan Undang-Undang Rahasia Resmi era kolonial dan bisa menghadapi masa hukuman maksimal 14 tahun di penjara.

Pejabat pemerintah Rakhine Tin Mg Swe mengatakan bahwa polisi menanyai sejumlah penduduk desa namun menolak untuk mengatakan apakah penangkapan tersebut terkait dengan kuburan massal tersebut.

Setelah mewawancarai kerabat salah satu guru yang ditahan, The New York Times mengatakan kelimanya  ditangkap karena mereka memberikan foto dan dokumen kepada wartawan Reuters.

Pemerintah Myanmar belum mengungkapkan keberadaan para wartawan meskipun mereka ditahan selama seminggu dan tekanan yang meningkat dari U.N., A.S., Inggris dan E.U. untuk pelepasan tanpa syarat mereka.

Brad Adams, direktur HRW Asia, mengatakan dalam sebuah pernyataan pada 20 Desember bahwa “pihak berwenang Myanmar harus segera melepaskan kedua jurnalis Reuters yang penahanannya berkaitan  untuk menghentikan pelaporan independen mengenai kampanye pembersihan etnis terhadap Rohingya.”

 

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi