UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Batasi Kebebasan Berekspresi, Masyarakat Banglades Protes UU Keamanan Siber  

Januari 31, 2018

Batasi Kebebasan Berekspresi, Masyarakat Banglades Protes UU Keamanan Siber  

Para aktivis Banglades menggelar aksi protes pada tahun 2015 di Dhaka untuk mengecam perlakuan semena-mena terhadap aktivis dan jurnalis online. (Foto: Stephen Uttom/ucanews.com)

Para aktivis hak asasi manusia (HAM), pekerja media dan pejabat Gereja di Banglades mengungkapkan ketidakpuasan mereka terhadap undang-undang (UU) keamanan siber. Menurut mereka, UU ini menjadi alat untuk mengekang perbedaan pendapat dan membatasi kebebasan berekspresi.

Pada 29 Januari, pemerintah yang dipimpin oleh Partai Liga Awami telah merampungkan dan menyetujui rancangan UU Keamanan Digital 2018 dalam rapat kabinet yang dipimpin oleh Perdana Menteri Sheikh Hasina.

Nampaknya UU itu akan disahkan oleh parlemen dalam sidang yang telah mulai sejak pertengahan Januari lalu.

UU tersebut bertujuan untuk memberantas kejahatan siber dan terorisme menyusul meningkatnya kematian di kalangan militer. UU juga mencakup sejumlah pasal kontroversial.

Diantaranya hukuman berat dan hukuman yang tidak dapat diganti dengan uang jaminan untuk kasus-kasus yang berkaitan dengan sentimen agama dan fitnah. Akibatnya, UU dan aturan mengalami kemunduran dan muncul hasutan terhadap siapa saja atau organisasi apa pun melalui media elektronik atau situs.

Pasal-pasal kontroversial itu adalah versi halus dari Pasal 57 UU Teknologi Komunikasi dan Informasi (TKI) 2013 yang dikecam luas karena mengekang kebebasan berekspresi dan juga beberapa pasal KUHP 1860 yang mulai berlaku sejak jaman kolonial Inggris.

Pasal 32 dari UU baru tersebut mengatakan bahwa seseorang bisa dikenai hukuman penjara maksimal 14 tahun atau denda sebesar 2 juta taka (sekitar 24.000 dolar AS) atau keduanya atas tuduhan pengintaian jika ia secara ilegal masuk ke kantor-kantor pemerintah, semi-pemerintah atau badan-badan otonomi untuk mengumpulkan informasi dan menggunakan peralatan elektronik untuk merekam sesuatu secara sembunyi-sembunyi.

Sementara Pasal 43 mengatakan bahwa seorang polisi bisa melakukan penggeledahan dan menangkap siapa pun tanpa surat pengadilan.

“Pemerintah telah menipu dan mengubah UU hitam dengan format baru yang lebih halus. Sungguh tidak dapat diterima bahwa para jurnalis yang menggunakan berbagai sumber untuk mendapatkan informasi bisa diadili karena melakukan pengintaian menurut UU itu,” kata Pastor Albert T. Rozario, ketua Komisi Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Dhaka kepada ucanews.com.

“Ini UU hitam yang mengancam hak-hak konstitusional terkait kebebasan berekspresi. UU ini juga manjadi alat polisi untuk mengeksploitasi dan mengekang perbedaan pendapat untuk mendukung pemerintah,” kata imam yang juga pengacara Mahkamah Agung itu.

Nur Khan, seorang aktivis HAM, mengatakan pemerintah telah meninggalkan Pasal 57 UU TKI 2013 karena tekanan publik tapi menyampaikannya kembali dalam bentuk baru.

“Masyarakat marah terhadap Pasal 57, maka pemerintah mencabutnya. Sekarang UU baru itu akan lebih berbahaya bagi media, para pemikir bebas, penulis dan kritisi pemerintah karena mereka bisa saja dituduh melakukan pengintaian,” katanya.

“Masyarakat akan terus hidup dalam ketakutan di bawah budaya impunitas dan ingin agar kebebasan berbicara dijunjung tinggi. UU itu akan menggantung masyarakat seperti pedang dan menggoyahkan demokrasi yang masih belum matang,” lanjutnya.

Monjil Morshed, seorang pengacara Mahkamah Agung, mengatakan UU itu menunjukkan “karakter tidak demokratis” dari pemerintah.

“Di setiap negara, sebuah UU dibuat untuk kesejahteraan masyarakat. Tapi di sini, UU dianggap sebagai senjata untuk melindungi kepentingan pemerintah dan kelompok tertentu. UU tetap rentan akan penyalahgunaan oleh polisi dan akan terus menakuti masyarakat,” katanya.

Menurut laporan media, sekitar 701 kasus yang diajukan berdasarkan Pasal 57 masih belum selesai ditangani di satu-satunya pengadilan siber di negara itu.

 

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi