UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Klinik Berjalan Persempit Kesenjangan Pelayanan Kesehatan di Timor-Leste

Pebruari 26, 2018

Klinik Berjalan Persempit Kesenjangan Pelayanan Kesehatan di Timor-Leste

Pastor Antonio Martins Abad-Santos SJ, seorang warga negara Filipina yang dikenal oleh warga desa setempat sebagai Pastor Bong, merayakan Misa sebelum memberikan pelayanan kesehatan di Kampung Gmanhati di Distrik Ermera pada 22 Januari. (Foto: Michael Coyne)

Medan yang berbukit, moda transportasi yang terbatas serta tenaga medis dan fasilitas kesehatan yang minim menghambat upaya Timor-Leste untuk memberikan pelayanan kesehatan yang memadai kepada masyarakat.

Akibatnya banyak orang – khususnya anak-anak, perempuan dan orang lanjut usia – yang tinggal di wilayah pedesaan seringkali sulit mengakses ke rumah sakit atau klinik ketika mereka sakit atau membutuhkan tes kesehatan. Bahkan akses ke air bersih pun masih menjadi masalah utama.

Namun klinik berjalan seperti yang dikelola oleh sebuah misi Serikat Yesus (SJ) setempat mendekatkan pelayanan kesehatan ke rumah – bahkan hingga ke ruang keluarga.

Izabel Soares, 21, adalah satu dari penduduk Kampung Gmanhati di Distrik Ermera yang merasakan manfaat dari pelayanan baru tersebut.

Baru-baru ini ia membawa bayinya yang berumur tiga bulan untuk menemui Pastor Antonio Martins Abad-Santos SJ, seorang dokter asal Filipina yang dikenal warga desa sebagai Pastor Bong.

Sebagai seorang praktisi kesehatan bersertifikat, Pastor Bong mengelola klinik itu dan melakukan kunjungan rutin ke sebuah desa pedalaman.

Sakit punggung kronis membuat Soares sulit melakukan perjalanan jauh. Maka baginya klinik berjalan merupakan rahmat Tuhan ketika anak perempuannya menunjukkan gejala malaria: demam dan batuk.

“Saya tidak harus pergi ke rumah sakit sekarang untuk meminta obat dan vitamin untuk saya dan bayi saya karena Pastor Bong membawa semuanya kepada kami,” katanya.

Sebelum Pastor Bong memulai klinik berjalan, warga desa harus berjalan kaki menuju fasilitas kesehatan terdekat di Railaco, sejauh sekitar delapan kilometer.

“Bagi anak muda, itu tidak menjadi masalah. Tapi bagi orang tua seperti saya atau bagi wanita, sungguh merupakan suatu tantangan untuk berjalan kaki sejauh itu,” kata Alderiano Goncalves, 75.

Goncalves yang juga tinggal di Kampung Gmanhati menderita rematik selama bertahun-tahun dan harus berjuang melawan penyakit migran yang kadang kambuh serta demam dan batuk terus menerus.

Ia bertemu Pastor Bong untuk pertama kalinya delapan tahun lalu. Sebelum klinik berjalan itu ada, ia hanya mengandalkan obat-obatan tradisional yang disediakan oleh praktisi kesehatan setempat karena rumah sakit terdekat terlalu jauh dari rumahnya.

Izabel Soares menanti giliran untuk diperiksa. Anaknya menderita sakit. Ia berharap Pastor Bong bisa memberinya lebih dari sekedar obat sakit kepala. (Foto: Michael Coyne)  

 

Kunjungan Pastor Bong menjadi mercusuar akan harapan bagi ratusan warga desa. Ia tidak hanya memberikan pelayanan kesehatan tapi juga memberikan siraman rohani dengan merayakan Misa bersama warga desa sebelum pelayanan kesehatan dimulai.

“Kami mendapat keduanya – pembinaan fisik dan spiritual,” kata Goncalves.

Goncalves tinggal bersama satu anak kandung dan tiga anak adopsi. Satu anaknya tengah mempersiapkan diri untuk bekerja di Korea Selatan dengan harapan bisa menjadi tulang punggung keluarga yang baru. Negara ini menjadi destinasi utama bagi pekerja migran asal Timor-Leste.

Plazida dos Santos, 22, dari Kampung Naisuta di Distrik Ermera mengatakan Pastor Bong kini tengah merawat anak keduanya yang menderita penyakit kulit. Santos telah berusaha menyembuhkan anaknya ke berbagai tempat namun tidak efektif.

“Saya sudah membawa bayi saya ke Gleno (ibukota Distrik Ermere) beberapa kali, tapi dokter hanya memberi obat parasetamol, dan ia masih sakit,” katanya.

Sekarang luka-luka di kaki anak perempuannya mulai membaik, lanjutnya.

Santos tidak sendirian. Banyak anak menderita penyakit kulit, dan orangtua bingung bagaimana harus mengobati mereka.

Wabah Infeksi

Klinik berjalan yang dikelola Pastor Bong melayani 11 wilayah di Distrik Ermera dan Distrik Liquica. Imam Serikat Yesus ini meluncurkan pelayanan kesehatannya tahun 2004 sebagai bagian dari tugas pastoralnya di Misi Yesuit Railaco.

Dengan dibantu oleh dua asisten, Pastor Bong mengunjungi beberapa desa setiap Senin, Selasa dan Kamis dengan melintasi lintasan berbahaya. Hanya orang yang memiliki jiwa petualang yang kuat yang mampu melakukannya.

“Kami mengelola klinik berjalan karena kami tidak ingin bersaing dengan klinik pemerintah di Railaco,” kata Pastor Bong.

“Kami menargetkan mereka yang tinggal di wilayah pedesaan yang tidak bisa dijangkau oleh klinik atau pekerja medis pemerintah,” katanya.

“Setiap tahun saya melayani lebih dari 5.000 pasien,” lanjutnya, seraya mengatakan sebagian besar kasus adalah infeksi.

Ia menyebut malnutrisi sebagai penyebabnya karena malnutrisi memperlemah sistem kekebalan tubuh dan membuka pintu bagi infeksi.

“Saya melayani banyak orang yang mengalami masalah seperti infeksi saluran pernafasan, infeksi usus atau gangguan perut,” katanya.

Warga desa sering tidak bisa menyiapkan makanan secara higinis karena orangtua mengunyah sirih pinang. Asap rokok juga ada di mana-mana.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia, infeksi saluran pernafasan merupakan penyebab kematian terbesar kedua pada tahun 2012 di kalangan masyarakat Timor-Leste setelah TBC.

Ancaman kematian lainnya adalah penyakit jantung, stroke, trauma selama kehamilan, diare, neonatal sepsis dan kanker tenggorokan atau paru-paru.

Klinik berjalan tidak bisa mengatasi semua keluhan dan penyakit ini karena hal ini di luar jangkauan dan tidak ada prasarana yang memadai.

Pastor Bong tidak diperbolehkan memberi pertolongan pertama atau pelayanan kesehatan dasar namun berusaha menjaga orang agar tidak sakit lagi.

Ia merujuk kasus-kasus serius kepada rumah sakit atau klinik pemerintah yang memiliki fasilitas yang lebih baik.

Pastor Bong yang ditahbiskan imam pada tahun 1998 di Filipina juga mengatakan Paroki St. Kanis di Sidney, Australia, memberi bantuan finansial untuk klinik berjalannya sejak beberapa tahun lalu.

“Pada mulanya mereka hanya menawarkan bantuan selama lima tahun. Tapi kemudian mereka melihat ada kebutuhan di sana, lalu mereka melanjutkannya,” katanya.

Tantangan Pelayanan Kesehatan

Timor-Leste tengah berjuang dengan pemerintahan baru yang rentan tapi telah mencapai peningkatan signifikan dalam hal pelayanan kesehatan, demikian laporan Bank Dunia 2017.

Misalnya, ketika negara baru itu meraih kemerdekaan dari Indonesia pada tahun 2002, infrastruktur pelayanan kesehatan berkurang. Hanya ada 20 dokter untuk merawat penduduk berjumlah lebih dari sejuta orang.

Namun jumlah dokter bertambah secara signifikan. Pemerintah mempekerjakan sekitar 900 dokter hingga tahun lalu.

Usia hidup masyarakat merambah naik, dari 48,5 tahun pada tahun 1990 menjadi 67 tahun pada tahun 2014.

Sementara itu, rata-rata kehamilan meningkat dan masyarakat sekarang lebih waspada soal infeksi dan penyakit tidak menular, kata sejumlah pejabat pemerintah.

Semua ini berkat anggaran kesehatan yang meningkat sejak 2008.

Pemerintah mengalokasikan dana sekitar 67,2 juta dolar AS untuk Kementerian Kesehatan pada tahun 2014 guna membangun 39 klinik, satu dari beberapa program pemerintah.

Namun Bolormaa Amgaabazar, perwakilan Bank Dunia untuk Timor-Leste, mengingatkan “pandangan pertumbuhan ekonomi Timor-Leste untuk beberaoa tahun ke depan menurun.”

“Untuk itu pemerintah berusaha menekan anggaran publik yang meningkat,” katanya.

Pastor Bong mengatakan kesedihan bangsa itu semakin mendalam dan bahkan Rumah Sakit Nasional di Dili mengalami kekurangan obat-obatan.

“Pemerintah saat ini lebih fokus pada birokrasi daripada kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan,” katanya.

Timor-Leste mengirim hampir 1.000 orang untuk menjalani studi sebagai dokter di Kuba dalam beberapa tahun terakhir, dan kini banyak orang yang sudah kembali untuk menanamkan benih.

“Tapi bagi mereka, agar bisa menjalankan tugas mereka secara efektif dan efisien, pemerntah perlu meningkatkan peralatan pelayanan kesehatan,” kata Pastor Bong.

“Jika sistem pelayanan kesehatan semakin efisien dan negara memiliki fasilitas kelas dunia, masyarakat tidak akan membutuhkan bantuan saya,” katanya.

“Maka saya bisa fokus pada tugas saya sebagai seorang imam,” lanjutnya.

 

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi