Presiden Filipina Rodrigo Duterte mengumumkan penarikan diri dari Pengadilan Pidana Internasional (ICC) menyusul “kritikan pedas” dari pengadilan dan pejabat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Duterte, yang berada di bawah pengawasan pengadilan internasional atas perang mematikannya terhadap pengguna dan pengedar narkoba, mengklaim bahwa ada “konspirasi” melemahkan pemerintahannya.
Dia menuduh pelapor khusus PBB dan penyelidik ICC mencap dia sebagai “pelanggar HAM yang kejam dan tidak berperasaan yang diduga menyebabkan ribuan orang ditembak mati tanpa pengadilan.”
Presiden mengeluh tentang apa yang dia katakan sebagai “serangan tak berdasar, belum pernah terjadi sebelumnya dan keterlaluan terhadap pribadi saya dan terhadap pemerintahan saya, yang direkayasa oleh pejabat PBB.”
Dia juga mengatakan ada “upaya oleh jaksa (ICC) menempatkan orang saya di dalam yurisdiksi (pengadilan internasional).”
“Semua tindakan ini melanggar proses hukum dan undang-undang praduga tidak bersalah,” kata presiden.
Dia mengatakan perjanjian tersebut, yang juga dikenal sebagai Statuta Roma, yang ditandatangani oleh Filipina pada 23 Agustus 2011, tidak “efektif dan tidak dapat dilaksanakan” karena tidak diumumkan dalam lembaran negara resmi.
Statuta Roma mendirikan ICC ketika diadopsi pada sebuah konferensi diplomatik di Roma tahun 1998. Statemen ini mulai berlaku pada 1 Juli 2002.
Pada Oktober 2017, 123 negara, termasuk Filipina, menjadi phi yang menandatangani perjanjian tersebut, yang menetapkan empat kejahatan internasional utama: genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi.
Berdasarkan UU tersebut, ICC hanya dapat menyelidiki dan mengadili kejahatan tersebut dalam situasi di mana negara “tidak mampu” atau “tidak mau” melakukannya sendiri.
“Hukum internasional tidak dapat terggantikan, mengikat, atau mengurangi hukum domestik,” kata Duterte, yang juga seorang pengacara.
Dia juga mengklaim hukuman mati terkait pemakai dan pengedar narkoba di bawah pemerintahannya bukanlah genosida, kejahatan perang, atau kejahatan terhadap kemanusiaan, namun merupakan penegakan hukum dari operasi polisi yang sah.
Apakah Duterte takut dengan ICC?
Sehari setelah pengumuman presiden tersebut, Konferensi Waligereja Filipina mengatakan Duterte tidak dapat hanya mengesampingkan komitmen Filipina terhadap HAM.
“Filipina bukan Duterte,” kata Uskup Auksilier Manila Mgr Broderick Pabillo, ketua Komisi Kerawam Konferensi Waligereja Filipina.
Prelatus tersebut mengatakan keputusan presiden tersebut hanya menunjukkan bahwa mungkin ada dasar tuduhan diajukan kepadanya.
“Dia takut akuntabilitas. Duterte harus diselidiki,” kata prelatus tersebut.
Uskup Sorsogon Mgr Arturo Bastes mengatakan presiden bukan “hanya takut” akan kemungkinan adanya “kejahatan terhadap kemanusiaan …” ia akan dipermalukan di seluruh dunia untuk selama-lamanya.”
“Penarikannya dari Statuta Roma adalah tindakan pengecut yang membuat namanya lebih terkenal,” tambah prelatus tersebut.
Pastor Pete Montallana OFM mengatakan bahwa hanya kebenaran yang bisa membebaskan Duterte. “Mari kita lihat apakah dia cukup berani menghadapi investigasi untuk membuktikan bahwa dia tidak menyembunyikan apapun,” katanya.
Uskup Ruperto Santos dari keuskupan Balanga, mengatakan bahwa Filipina berdaulat dan independen dan siapa pun yang melakukan kejahatan “harus diadili di sini dihadapan rakyat kita.”
ICC, melalui jaksa Fatou Bensouda, mengumumkan bulan lalu bahwa dia akan menyelidiki hukuman mati terkait narkoba tersebut.
Analisis jaksa atas kejahatan “perang narkoba” dapat menghasilkan penyelidikan ICC formal jika ada bukti pelanggaran kejahatan terhadap kemanusiaan, dan tidak adanya keadilan di pengadilan nasional.
Human Rights Watch mengklaim bahwa sekitar 12.000 pengguna narkoba dan penjahat yang dicurigai tewas dalam perang besar-besaran Duterte melawan narkotika yang dimulai pertengahan 2016.