UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Pekerja Katolik di Banglades Bekerja di Masa Prapaskah

Maret 19, 2018

Pekerja Katolik di Banglades Bekerja di Masa Prapaskah

Para pekerja migran Katolik di Banglades berpartisipasi dalam Jalan Salib di Jesus Worker Center di wilayah Zirani, distrik Gazipur, dekat Dhaka pada 2 Maret. (Foto: Stephan Uttom/ucanews.com)

Masa Prapaskah merupakan musim suram pada setiap tahun bagi Raphael Hembrom, seorang Katolik dari suku pribumi Santal dari Keuskupan Rajshahi di  Banglades babian utara.

Hembrom, 35, bekerja di sebuah pabrik tekstil di Zirani, sebuah pusat industri di distrik Gazipur, sekitar 40 kilometer sebelah utara ibukota Dhaka.

Hembrom pindah ke sana sekitar delapan tahun  lalu  mencari pekerjaan dan mendaratkannya di industri pakaian yang terpenting di negara tersebut.

“Saya masih bisa mengingat hari-hari saya kembali ke kampung halaman saya saat Prapaskah. Saya biasa bergabung dengan teman-teman saya mengikuti  Jalan Salib. Saya menyanyikan lagu-lagu Prapaskah yang menggambarkan kesedihan dan penderitaan Yesus yang sangat memilukan,” kata Hembrom, yang menikah dua tahun  lalu dan sekarang tinggal di dekat tempat kerjanya bersama istrinya, yang menangani sebagian besar tugas rumah tangga.

“Sejak datang ke Dhaka, saya tidak bisa mengikuti  Jalan Salib, Misa hari Minggu atau kegiatan keagamaan lainnya,” katanya kepada ucanews.com. “Saya ingin berpuasa pada hari Jumat tapi saya tidak bisa karena  saat itu kami bekerja  shift dan biasanya saya harus bekerja pada hari Jumat, saya menyesalinya tapi tidak ada yang bisa saya lakukan.”

Dia bekerja selama 10-13 jam sehari termasuk lembur dan hanya memiliki satu hari libur seminggu, menghasilkan 13.000-15.000 taka (US $ 159-183) per bulan.

Hal ini membuat dia memiliki sedikit tabungan pada akhir bulan setelah dia mengurangi biaya hidup untuk keluarganya, uang  dia kirim ke orangtuanya, dan 4.000 taka menyewa satu kamar dengan atap seng.

“Kami tidak mendapatkan banyak meskipun kami bekerja keras siang dan malam. Saya merasa sangat lelah saat pulang ke rumah sehingga saya benar-benar  tertidur lelap setelah makan malam, karena saya perlu bangun pagi esok hari. Kembali ke desa saya untuk  doa keluarga di malam hari, itu tidak mungkin lagi,” katanya.

Hembrom mengatakan  ketika nanti dia memiliki anak, mereka mungkin  tumbuh tanpa landasan yang kuat dalam ajaran dan nilai-nilai Kristen.

“Saya masih mengikuti agama dan ajaran Gereja, mengingat apa yang saya pelajari metika  anak-anak.  Tapi, saya sedikit takut tentang masa depan – ketika kami  memiliki anak, saya tidak tahu berapa banyak mereka akan belajar tentang agama atau katekismus.”

Gereja Katolik memberikan pembinaan rohani dan pastoral untuk para pekerja migran Kristen di Banglades namun jangkauannya tidak luas karena keterbatasan keuangan dan pekerjaan.

Untuk membantu mengatasi kesenjangan tersebut, misionaris Italia dari Institut Kepausan untuk Misi Luar Negeri (PIME) membuka Jesus Worker Center (JWC)  tahun 2009, salah satu dari sejumlah program  menawarkan bantuan kepada pekerja migran.

Pusat ini juga menawarkan fasilitas perumahan bagi pekerja migran yang baru tiba sampai mereka menemukan tempat lain untuk ditinggali.

Tapi, Hembrom dan banyak teman lainnya seperti dia tidak punya waktu  mengunjungi pusat tersebut dan tidak dapat memanfaatkan perawatan yang ditawarkannya.

“Kami memiliki 2.000 pekerja migran Kristen dari 800 keluarga, kebanyakan dari mereka pribumi, yang mengunjungi pusat tersebut,” kata seorang imam PIME yang membantu mengelola fasilitas tersebut. Dia meminta agar namanya tidak ditulis.

“Mereka melakukan pekerjaan yang melelahkan di berbagai industri. Tantangan yang paling mendesak adalah jadwal kerja mereka yang sangat sibuk, yang tidak bisa mereka tinggalkan untuk doa atau kegiatan rohani. Mereka bekerja sangat keras siang dan malam.”

Untuk mengatasi masalah tersebut, pusat tersebut menyelenggarakan pertemuan dan seminar untuk pekerja selama liburan nasional.

“Kami mengatur program dan kami pergi ke tempat di mana sebagian besar pekerja tinggal. Kami mengunjungi keluarga mereka dan  mendengarkan masalah mereka serta  mencarikan solusi. Kadang-kadang kami menawarkan Misa di rumah mereka selama masa Prapaskah, kami mengatur Jalan Salib dan program persiapan pembinaan  rohani untuk mereka menjelang Paskah,” kata pastor tersebut.

Kakoli Marandy, 30, adalah seorang  Katolik dari suku Santal dan ibu dua anak yang berasal dari distrik Naogaon di bagian utara negara tersebut.

Dia bekerja di sebuah pabrik kemasan di daerah Pagla di distrik Narayanganj dekat Dhaka. Suaminya bekerja sebagai satpam di pabrik terdekat. Mereka berpenghasilan sekitar 15.000 taka per bulan.

Para pekerja migran Katolik mengikuti  Jalan Salib di distrik Gazipu, dekat Dhaka, pada 2 Maret. (Foto: Stephan Uttom/ucanews.com)  

 

Sementara ada sebuah Gereja Katolik kecil di kota Narayanganj, dibutuhkan sekitar satu jam bagi Marandy untuk sampai di sana dengan naik bus atau kapal.

“Selama masa Prapaskah kami merasa kami harus mengikuti  Jalan Salib pada hari Jumat, tapi jarak dan lalu lintas  padat membuat ini menjadi tantangan bahkan pada akhir pekan,” katanya.

“Kami tidak bisa menghadiri Misa hari Minggu karena itu adalah hari kerja. Ada banyak umat Katolik di wilayah tempat kami tinggal dan mereka berada dalam situasi yang sama,” katanya.

Dia mengatakan  keluarganya tidak dapat berpartisipasi dalam Jalan Salib selama lima tahun terakhir. Dia juga tidak bisa merayakan Paskah bersama keluarga atau kerabatnya di rumah.

Minggu Paskah bukanlah hari libur umum di Banglades yang berpenduduk mayoritas Muslim.

“Kami merasa sedih karena kami tidak bisa pergi ke gereja meskipun kami mencintai agama kami, tapi kami harus bekerja dulu untuk memastikan anak-anak kami diberi makan dan mendapat pendidikan. Setelah itu, kami baru mempertimbangkan agama,” katanya.

Sekitar 60.000-70.000 pekerja migran Kristen dipekerjakan di berbagai zona industri di Dhaka dan daerah sekitarnya, menurut Komisi Keadilan dan Perdamaian Konferensi Waligereja Banglades  (JPC).

Tahun 2010, JPC menciptakan Desk for Migrants and Itinerant People untuk memberikan layanan pastoral, bantuan pendidikan dan layanan pengembangan kesadaran kepada orang Kristen migran di Dhaka dan tempat lain di negara ini.

Namun, layanan tersebut belum sepenuhnya aktif karena kurangnya pastor berkualitas yang mengkhususkan diri di bidang ini, kata Uskup Gervas Rozario dari Rajshahi. Dia merangkap sebagai ketua JPC.

“Layanan tersebut dibuat untuk membantu pekerja migran memerangi ketidakadilan di tempat kerja mereka dan di tempat lain. Saya pikir ketika pekerja Kristen dicabut dari pembinaan  pastoral dan rohani, ini adalah ketidakadilan,” katanya.

“Jesus Worker Center (JWC) sedang berupaya  mengisi kekosongan. Ke depan, kami ingin meniru model ini di tempat lain,” kata Uskup Rozario.

Terkadang, JPC mengirim  surat ke paroki-paroki yang dekat dengan zona industri dan mendesak para imam  memberikan pelayanan kepada pekerja migran sehingga mereka dapat merasakan cinta Gereja, kata prelatus tersebut.

“Perlu beberapa waktu untuk mengembangkan mekanisme yang efisien  membantu pekerja migran. Sampai saat itu, kami harus melakukan apapun agar mereka tetap mempertahankan pekerjaannya namun tetap dapat berhubungan dengan Gereja,” tambahnya.

 

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi