UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Hukuman Mati ‘Tidak akan Menghentikan’ Krisis Perkosaan Anak di India

April 24, 2018

Hukuman Mati ‘Tidak akan Menghentikan’ Krisis Perkosaan Anak di India

Para siswa mengadakan aksi protes di pengadilan pada 19 April menyusul perkosaan dan pembunuhan terhadap seorang gadis berusia 8 tahun di negara bagian Jammu and Kashmir. (Foto: Sajjad Qayyum/AFP)

Konferensi Waligereja India meragukan keefektifan pemerintah India memperkenalkan hukuman mati bagi  pemerkosaan anak setelah seruan nasional  mensahkan undang-undang (UU) yang tegas  untuk mengakhiri ancaman itu.

Presiden India Ram Nath Kovind pada 22 April mengesahkan UU  hukuman mati bagi mereka yang dijatuhi hukuman karena memperkosa anak-anak perempuan di bawah usia 12 tahun, sehari setelah kabinet pimpinan Perdana Menteri Narendra Modi menyelesaikan RUU tersebut.

Pemerintah bergerak cepat melalui UU  darurat, yang perlu disahkan dalam sidang parlemen berikutnya, di tengah kemarahan atas meningkatnya kasus pemerkosaan dan pembunuhan anak-anak.

“Undang-undang itu tampaknya merupakan reaksi spontan untuk meredakan kemarahan publik,” kata biarawati  Katolik dan pekerja sosial Suster Lizy Thomas dari negara bagian Madhya Pradesh. Dia ragu apakah hukuman mati atau hukuman penjara yang lebih lama bisa membantu menghentikan perkosaan.

India melaporkan 10 kasus pemerkosaan anak lagi pada saat UU  itu diberlakukan, demikian menurut laporan media.

Kasus yang paling banyak dibicarakan adalah pemerkosaan dan pembunuhan  seorang gadis berusia 8 tahun di daerah Jammu  yang diduga berniat  mengusir komunitas Muslim dari daerah itu.

Beberapa anggota Partai Modi Bharatiya Janata bergabung dengan kelompok Hindu  awal bulan ini  mendukung mereka yang ditangkap karena kejahatan tersebut.

“Pemerkosaan,  apakah itu anak atau jenderal dan hukumannya harus sama untuk semua yang melakukan kejahatan,” kata Suster Thomas kepada ucanews.com.

UU juga meningkatkan hukuman minimum untuk pemerkosaan hingga 10 tahun penjara dari tujuh tahun saat ini. Maksimal adalah penjara seumur hidup.

Ketentuan baru juga bertujuan  mempercepat penyelidikan dan prosedur pengadilan untuk perkosaan anak. Polisi harus menyelidiki kasus ini dalam waktu dua bulan dan persidangan harus diselesaikan dalam dua bulan.

“Kami memiliki beberapa undang-undang di negara ini. Meningkatnya undang-undang atau menambah hukuman tidak mengurangi kejahatan,” kata Suster Thomas. Masalahnya adalah efisiensi penegakan hukum, yang hampir selalu membantu orang kaya dan berkuasa lolos, katanya.

Sebuah laporan pemerintah federal mengatakan India mencatat 38.947 kasus perkosaan  tahun 2016 dan sekitar 8.000 korban adalah anak-anak di bawah usia 12 tahun. Rincian menunjukkan bahwa 520 korban adalah anak-anak di bawah usia 6 tahun, sementara 1.596 berusia 6-12 dan 6.091 berusia 12-16 tahun.

Kelompok sukarelawan Child Rights and You (CRY) mengatakan kejahatan terhadap anak di bawah umur melonjak 460 persen dalam 10 tahun. Tahun  2006, India melaporkan 18.967 kejahatan seperti itu tetapi jumlahnya meningkat menjadi 106.958 tahun  2016.

“Lebih dari 50 persen kejahatan terhadap anak-anak tercatat hanya di lima negara bagian: Uttar Pradesh, Maharashtra, Madhya Pradesh, Delhi dan Bengal Barat,” kata CRY. Dalam sebuah pernyataan. Juga dicatat bahwa sebagian besar kejahatan terhadap anak adalah kejahatan seksual.

Madhya Pradesh adalah yang pertama dari 29 negara bagian di India yang menerapkan hukuman mati untuk pemerkosa anak pada  Desember 2017.

Keraguan Gereja 

“Tidak ada keraguan bahwa situasi luar biasa menjamin tindakan yang luar biasa,” kata Uskup Agung Bhopal Mgr Leo Cornelio  yang memimpin dewan para uskup di Madhya Pradesh. Dia meragukan apakah hukuman mati untuk pemerkosa anak bisa membawa perubahan sosial.

Hukum India sudah memiliki ketentuan untuk menjatuhkan hukuman mati bagi mereka yang dihukum karena kasus pembunuhan “langka”.

“Saya ragu apakah hukuman mati bisa menjadi alat pencegah yang kuat terhadap budaya perkosaan,” kata Uskup Agung Cornelio kepada ucanews.com. “Sebaliknya pemerintah dan masyarakat pada umumnya harus bekerja sama  mengubah pola pikir warganya  menghormati kehidupan, wanita dan anak-anak.”

“Kami sebagai masyarakat gagal  menjunjung nilai-nilai dasar manusia dengan segala martabat luhurnya. Kecuali kita mereformasi masyarakat kita dan diri kita sendiri, hukum yang keras saja tidak akan mengubah pola pikir orang, tetapi itu bisa menjadi jera. Dalam banyak kasus, para pelaku dipengaruhi oleh materi pornografi yang mudah tersedia di internet melakukan serangan seksual pada gadis-gadis kecil atau perempuan,” kata Uskup Cornelio.

“Kita perlu mendidik anak-anak tentang tabu seks di sekolah-sekolah, perguruan tinggi dan keluarga kita untuk menghindari insiden berdarah seperti itu. Kecuali kita melakukannya, hukum tidak dapat membatasi insiden seperti itu,” katanya.

Hukuman mati tidak memberikan kesempatan kepada seseorang untuk merubah diri.

Gereja Katolik telah menentang hukuman mati dan para pemimpin Gereja di India terus secara konsisten menentang hukuman mati.

“Jika mereka semua dikirim ke tiang gantungan, mereka tidak akan pernah mendapat kesempatan  bertobat dan kembali ke kehidupan normal,” kata Uskup Agung Cornelio,

Seorang awam Katolik, Daniel John, mengatakan hukuman mati bukanlah solusi untuk kejahatan keji seperti pemerkosaan anak.

 

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi