Biro imigrasi Filipina telah mencabut visa misionaris Australia Sr. Patricia Fox atas dugaan keterlibatannya dalam “kegiatan politik partisan.”
Dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan oleh biro imigrasi pada 25 April mengatakan biarawati berusia 71 tahun itu, yang ditangkap pada 16 April dan ditahan semalam, telah diperintahkan meninggalkan negara itu.
“Dia ditemukan terlibat dalam kegiatan yang tidak diperbolehkan menurut syarat dan ketentuan visanya,” kata Komisaris Imigrasi Jaime Morente.
Pejabat imigrasi mengatakan visa yang diberikan kepada Suster Fox memberinya “hak istimewa terlibat dalam pekerjaan misionaris dan bukan dalam kegiatan politik.”
Sepucuk surat tertanggal 23 April memerintahkan penyitaan visa biarawati itu yang akan berakhir pada 5 September. Surat izin menetap Suster Fox juga “dinonaktifkan”.
“Kami meminta (Suster) Fox meninggalkan Filipina dalam waktu 30 hari sejak menerima surat ini,” menurut isi surat biro imigrasi.
Juru bicara imigrasi Antonette Mangrobang, mengatakan biarawati itu masih bisa masuk dan keluar negara itu sebagai turis.
Dia juga mengklarifikasi bahwa keputusan mencabut visa misionaris bukan bagian dari proses deportasi.
“(Penyitaan visa) tidak berarti dia masuk daftar hitam atau dideportasi …. biarawati itu masih dapat mengajukan visa lain atau masuk kembali ke negara ini menggunakan izin turis,” kata Mangrobang kepada ucanews.com.
Suster Fox terkejut dengan keputusan itu
Biarawati itu, yang merupakan superior Kongregasi Suster-Suster Santa Maria dari Sion, mengatakan dia terkejut dengan keputusan biro imigrasi.
“Saya pikir prosesnya adalah saya akan memiliki sepuluh hari mengajukan kontra-pernyataan tertulis menjawab tuduhan itu,” katanya dalam sebuah pernyataan.
Dia mengatakan, mendengar berita itu melalui media karena pengacaranya masih harus menerima salinan keputusan itu.
“Saya sangat sedih bahwa keputusan saat ini adalah saya meninggalkan Filipina,” kata Sister Fox, yang menghabiskan hampir tiga dekade hidupnya melayani di komunitas miskin.
Dia mengatakan bahwa pekerjaannya di tengah orang miskin tampaknya telah membuatnya terlibat konflik dengan pihak berwenang.
“Saya masih berharap mendapat kesempatan menjelaskan bagaimana saya melihat misi saya sebagai seorang religius dan mungkin keputusan itu dapat dipertimbangkan kembali,” katanya.
“Saya mungkin kehilangan hak saya berada di Filipina tetapi saya tidak pernah bisa kehilangan pembelajaran dan kenangan indah,” katanya.
Upaya peninjauan kembali
Suster itu mengatakan kepada ucanews.com bahwa dia dan para pengacaranya akan mengajukan mosi peninjauan kembali untuk menentang keputusan biro imigrasi.
“Saya tidak diberi kesempatan menjawab tuduhan terhadap saya,” katanya.
Di antara bukti yang diajukan oleh pihak berwenang terhadap biarawati itu adalah foto-foto dirinya yang diambil selama kunjungan ke penjara di Filipina selatan dengan spanduk bertuliskan “Stop membunuh petani.”
Dia juga terlibat baru-baru ini dalam tim pencari fakta dan misi solidaritas menyelidiki dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan terhadap petani dan orang-orang suku di Filipina selatan.
Penganiayaan agama
Menanggapi keputusan pencabutan visa, para aktivis Gereja dan HAM berbaris menuju ke kantor utama biro imigrasi di Manila pada 25 April memprotes apa yang mereka sebut sebagai “tindakan penganiayaan terhadap agama.”
Suster Elenita Belardo RGS, koordinator Misionaris Pedesaan Filipina, mengatakan pemerintah Filipina tampaknya tidak mengerti apa artinya menjadi seorang misionaris.
“Kami adalah pengikut Kristus dan misi Kristus adalah misi kami, yaitu membawa Kabar Baik kepada orang miskin, mantan narapidana, membela yang tidak bersuara, dan melawan ketidakadilan,” kata Suster Belardo.
Pastor Benjamin Alforgue dari kelompok ekumenis meminta kepada pihak berwenang memberi kesempatan kepada Sr. Fox untuk membela diri dan menjawab dakwaan terhadapnya.
“Seharusnya, tidak dilakukan pencabutan visanya sebelum biro mendengar penjelasan suster itu dan mempresentasikan sisi ceritanya sendiri,” kata imam itu.
Uskup Deogracias Iniguez dari Forum Uskup Ekumenis menyerukan kepada masyarakat menekan pemerintah agar membatalkan keputusan biro imigrasi.
“Sudah saatnya bagi semua orang Kristen yang memiliki hati bagi orang miskin untuk keluar dan berdiri demi keadilan dan kebenaran,” kata prelatus itu.
Uskup Auxiliari Manila, Mgr Broderick Pabillo, mengatakan keputusan mencabut visa Sr. Fox “sangat menyedihkan.”
“Semua kebaikan (Sr. Fox) yang telah dilakukan membantu orang-orang yang tidak mampu itu dihilangkan dan bahkan tidak dihargai sementara ketidakamanan pemerintah saat ini lebih dipentingkan,” katanya.