UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Usia Senja Menerpa Gereja Portugis di Goa

Mei 28, 2018

Usia Senja  Menerpa Gereja Portugis di Goa

Pastor Saturnino Dias sebagai kanon bersama pelayan altar mengadakan Prosesi Kanon di Katedral Se sebagai bagian dari upacara Jumat Agung. (Foto: Bosco Ermita/ucanews.com)

Warisan liturgi Portugis pada Gereja Katolik di Asia akan semakin dekat pada kepunahan  bila lima imam penjaga liturgi dari Goa yang tersisa di India selatan meninggal dunia, mengakhiri tradisi yang dimulai berabad-abad tersebut.

Keuskupan Agung Goa tidak menunjuk pengganti siapa pun untuk memegang posisi dekoratif ini, yang telah diberikan kepada imam terpilih sejak abad ke-16.

Selama lebih dari 165 tahun, sekelompok imam diosesan senior yang memelihara gereja-gereja warisan di Goa Tua.

Tetapi selama prosesi terbaru Capas Magnas, yang berlangsung di Katedral Se,   Goa Tua setiap Jumat Agung, hanya dua imam  yang berpartisipasi pada 30 Maret.

Meskipun punya sifat unik tradisi keagamaan di Asia ini, hirarki Gereja tampaknya tidak antusias untuk terus menghormati kenangan  orang Portugis yang tiba di sini  tahun 1510 dengan mempertahankannya.

Perayaan liturgi yang dibuat oleh Portugis selama 451 tahun penjajahan mereka berlanjut setelah mereka meninggalkan India tahun 1961.

Dalam beberapa tahun terakhir ini telah menarik umat Katolik dari desa-desa terpencil serta non-Kristen dan turis.

Pawai berlangsung di akhir ritual utama Jumat Agung dan berpuncak dengan prosesi yang menunjukkan penderitaan, kematian dan pemakaman  Kristus.

Sebagai tambahan dalam kegiatan penguburan, seukuran patung Kristus dibawa dalam peti hitam beludru oleh anggota konfraria Gereja (komite awam), didahului oleh para penyanyi dan diikuti oleh para imam  dengan jubah hitam berkerudung dan jubah yang menyusuri lantai.

Tidak seperti sebelumnya, versi modern dari prosesi dipimpin oleh wanita muda, yang telah menggantikan Kanon (anggota resmi dari petinggi gereja Katedral)  karena jumlah mereka berkurang dan lansia.

Prosesi itu kemudian berjalan menyusuri samping katedral besar yang membawa patung Kristus yang disalibkan, yang diturunkan di tempat peristirahatan terakhirnya di salah satu dari empat kapel di dalam katedral, di kaki sebuah salib besar.

Petinggi Katedral dibentuk oleh keuskupan tahun 1532. Pada mulanya, tugas ganda melayani sebagai badan penasihat bagi uskup dan menjalankan fungsi sebagai pemimpin liturgis.

Misa Minggu di katedral dipimpin oleh anggota kapitel.

Terutama, Kanon adalah anggota dewan uskup, yang bertindak berdasarkan nasihat dari petinggi katedral ini.

Kekuatan pengambilan keputusannya sedemikian rupa sehingga Santo Joseph Vaz (1651-1711), seorang imam Oratorian yang melayani sebagai misionaris di Goa dan kemudian menginjili Sri Lanka, harus meminta izin dari petinggi gereja Katedral  untuk karyanya.

Hari ini, para petinggi  katedral ini tidak memiliki kekuatan konsultatif atau utama.

Uskup Agung Goa Mgr Filipe Neri Ferrao  menunjuk para penasihatnya dan keputusannya diambil sejalan dengan hukum Gereja yang diterapkan secara universal.

Meskipun demikian, ia masih memimpin pelayanan liturgi Jumat Agung, agar tidak mengecewakan Kanon yang tersisa yang terus berpartisipasi.

Para petinggi  katedral ini awalnya terdiri dari 30 kanon, yang semuanya akan berpartisipasi dalam prosesi. Tetapi setelah India mencaplok koloni Portugis tahun 1961, mereka dilanda krisis finansial ketika pendanaan negara mengering. Jumlah anggota perlahan-lahan dikurangi menjadi 12 orang.

Saat ini hanya ada lima Kanon yang tersisa, dengan tiga orang berpartisipasi dalam kebaktian liturgis tahunan. Namun, hanya dua yang bergabung di tahun ini karena alasan kesehatan, menjadikan kebaktian liturgis terendah yang dihadiri oleh kanon dalam sejarahnya.

Otoritas Gereja mengatakan tidak ada Kanon baru akan diangkat untuk Goa yang terkenal dengan para backpacker hippie dan pantainya yang keemasan, tradisi prosesinya dan apa yang digambarkan sebagai hidup pada waktu yang pinjam.

Namun, ada yang meratapi berlalunya tradisi ini. Mereka mengatakan Kanon masih memainkan peran misionaris yang penting karena mereka terus menarik orang ke prosesi upacara pada awal pekan Paskah.

Dan Jumat Agung, menurut mereka, adalah waktu yang tepat  menyampaikan ajaran-ajaran Kristus kepada orang-orang non-Kristen. Prosesi itu dapat membantu melukiskan pada turis dan orang lain yang tertarik kepada-Nya karena rasa ingin tahu mereka, kata mereka.

“Setidaknya untuk alasan historis, tradisinya harus tetap hidup,” kata Benny Rodrigues, seorang pemandu wisata di Goa.

Yang lain merasa tradisi telah melampaui perannya dan tidak lain adalah anakronisme zaman modern.

Sejumlah besar ahli dibutuhkan ketika Goa menjadi basis pelayanan uskup agung untuk mengelola para misionaris Portugis di seluruh Asia.

Namun, para kritikus mengatakan bahwa itu dihentikan karena kejadian itu berabad-abad  lalu sehingga lebih sulit  membenarkan pendanaan kegiatan mereka yang berkelanjutan di wilayah tersebut.

Daftar nama diajukan kepada uskup agung beberapa bulan lalu untuk dipertimbangkan sebagai Kanon masa depan, menurut sebuah sumber di keuskupan agung.

Namun, tidak ada tindakan yang diambil untuk menanggapi hal ini dan pernyataan resmi tetap sama, kata sumber itu –  Gereja di Goa mendekati akhir dari sebuah era.

 

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi