UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Imam Spanyol Menjadi Gembala yang Baik Bagi Mantan Khmer Merah

Juli 25, 2018

Imam Spanyol Menjadi  Gembala yang Baik Bagi  Mantan Khmer Merah

Dalam foto ini Pastor Enrique Figaredo membaptis seorang gadis Kamboja. (Foto: ucanews.com)

Dalam beberapa minggu setelah runtuhnya sisa-sisa terakhir Khmer Merah pada akhir 1998, Pastor Enrique Figaredo, yang juga dikenal sebagai “Kike” atau “Uskup Kursi Roda,” pergi mengunjungi beberapa kader terakhir gerakan itu setelah mendengar mereka membutuhkan bantuan.

Selama perang sipil yang berlangsung selama puluhan tahun, banyak yang kehilangan anggota tubuh akibat  ranjau darat dan berjuang dengan susah payah untuk hidup setelah pemimpin kelompok  ultra-komunis membelot, mati atau ditangkap.

Sementara banyak orang yang merasa khawatir bahkan hanya sekedar untuk berbicara tentang memasuki daerah yang sampai saat ini dikendalikan oleh salah satu gerakan revolusioner yang paling ditakuti pada abad ke-20, Pastor Figaredo melihatnya sebagai panggilannya.

“Saya ingat ketika pergi ke salah satu sudut terjauh Kamboja,” katanya di halaman Gereja Katolik Battambang, atau yang dikenal oleh penduduk setempat dengan sebutan,  Pet Yiey Chee.

“Mereka meminta dukungan saya. Saya pergi menemui mereka dan memberi mereka ayam sehingga mereka bisa memiliki telur dan daging. Saya juga memberi mereka pinjaman kecil,” yang sebagian besar masih digunakan hari ini, katanya.

“Kamu bisa merasakan dengan sangat cepat bahwa mereka masih terjebak dalam struktur militer, tetapi mereka masih sangat manusiawi. Kami berhubungan dengan sisi manusiawi mereka. Aku yakin beberapa dari mereka melakukan kesalahan yang sangat disesalkan, tapi tidak semua.”

Lahir di Gijon, Spanyol  tahun 1959, ia bergabung dengan Serikat Yesus 20 tahun kemudian dan mulai menjadi relawan di permukiman kumuh dan permukiman miskin di Madrid sebelum memutuskan ia ingin bekerja untuk pengungsi.

Pastor Figaredo ditempatkan di kamp-kamp pengungsi dekat perbatasan Thailand dari tahun 1984 hingga 1988, di mana dia bekerja dengan orang-orang yang kehilangan lengan dan kakinya karena melarikan diri atau bertempur dengan atau melawan rezim Pol Pot yang kejam di akhir 1970-an dan awal 1980-an ketika Khmer Merah kembali menjadi gerakan gerilya.

Di sini, imam Spanyol itu mendapat julukan “Uskup Kursi Roda” saat ia menghabiskan hari-harinya dengan meringankan kesulitan orang cacat, orang yang terbuang dan  terlupakan.

Dia menciptakan perkumpulan di kamp untuk tentara anak-anak, sebuah istilah yang hampir tidak digunakan pada saat itu, dan mengatur kegiatan termasuk konser musik dengan gitar listrik.

Setelah bekerja dengan  disabilitas Kamboja pada 1990-an, imam ditunjuk sebagai Prefek Apostolik di Battambang  tahun 2000.

 

Pembaptisan anggota Khmer Merah

Berjalan-jalan di sekitar lingkungan Katolik di kota ini di tepi Sungai Sangkae,  barat laut Kamboja, Pastor Figaredo mengitari bangunan-bangunan kolonial dan berbicara tentang dasar-dasar yang diletakkan di sini berabad-abad  lalu oleh para misionaris Portugis.

Saat dia berjalan, puluhan penduduk setempat bergegas menyambutnya. Lancar dalam bahasa Khmer, dia bercanda dengan anak-anak dan memeriksa ibu-ibu bersama bayi yang baru lahir.

Di halaman gereja, umat yang terdiri dari beberapa ratus orang berkumpul setiap Minggu untuk Misa. Mereka datang dari semua lapisan masyarakat. Beberapa memiliki masa lalu yang lebih gelap daripada yang lain.

Pastor Figaredo mengatakan banyak mantan tentara Khmer Merah yang biasa datang ke gerejanya. Beberapa dihantui oleh hantu masa lalu, mengisyaratkan kekejaman yang mereka saksikan atau mereka lakukan..

“Mereka adalah orang Katolik tetapi juga mantan Khmer Merah,” katanya.

“Beberapa orang mengantar anak-anak mereka tetapi mereka tinggal di luar. Saya mengundang mereka masuk tetapi ada sesuatu yang menghentikan mereka. Mereka akan mengatakan hal-hal seperti, ‘Saya melakukan hal buruk sehingga saya tidak bisa masuk’,” kenangnya. “Aku sangat sedih.”

Konversi ke Kristen, biasanya Protestan, cukup umum di kalangan mantan tentara Khmer Merah.

Kaing Kek Iev, lebih dikenal dengan aliasnya “Duch,” mantan kepala penjara S-21 yang terkenal di Phnom Penh di mana lebih dari 15.000 orang diperkirakan tewas, menjadi pengkhotbah awam di tahun 1990-an sebelum dia ditangkap dan dijatuhi hukuman seumur hidup di pengadilan kejahatan perang.

Im Chaem, mantan pejabat Khmer Merah yang menghadapi tuduhan pembunuhan, perbudakan, pemenjaraan, dan “tindakan tidak manusiawi” lainnya, kasus diputuskan secara kontroversial, juga baru-baru ini dipertobatkan, mengatakan kepada media: “Pikiran saya segar dan terbuka karena berkah dari Tuhan.”

Pastor Figaredo mengatakan dia dapat memahami mengapa mereka beralih ke agama Kristen daripada agama Buddha, keyakinan yang dominan di Kamboja.

“Dalam agama Kristen, ada pengampunan dan ada harapan,” katanya. “Semua tergantung pada penilaian Tuhan, dan mereka dapat mencoba mengubah hidup mereka. Selain itu, Buddhisme menekankan karma sedangkan agama Kristen menawarkan keselamatan, yang mungkin memiliki daya tarik yang lebih besar.”

“Banyak mantan Khmer Merah yang saya kenal senang dibebaskan dari masa lalu mereka,” katanya.

 

Skandal pelecehan seksual

Pastor Figaredo, yang kebanyakan ceria dan riang selama wawancara, menampakan wajah yang suram ketika ditanya tentang banyaknya skandal pelecehan seks yang telah menimpah Gereja Katolik akhir-akhir ini.

Ketika berbicara tentang kesedihannya ketika mendengar kasus-kasus seperti itu, dia mengatakan bahwa usaha untuk menutup-nutupi secara luas dalam Gereja kurang mungkin terjadi di Asia karena struktur hirarki yang lebih terlokalisasi. “Di mana Asia memiliki keuntungan dari pada wilayah lain yang mengalami krisis pelecehan seks (dalam Gereja) karena Gereja di sini tidak begitu kuat,” katanya, ia mencatat bahwa beberapa tempat seperti Filipina dan Timor-Leste adalah pengecualian untuk aturan ini.

Misalnya, dia mengatakan dia masih belum mendengar kasus seperti itu di Kamboja.

“Skandal seperti itu akan menghancurkan gereja-gereja yang kita miliki di sini, yang relatif kecil dan lemah,” katanya.

“Kami hanya sekelompok kecil umat, minoritas kecil, tidak lebih. Kami menyediakan banyak layanan tetapi kami tidak dianggap relevan di masyarakat.”

Dia menggunakan kata “gempa bumi” untuk mendeskripsikan guncangan seismik yang dialami kasus pelecehan seks di beberapa negara Barat, ia menambahkan “harapan saya adalah kita tidak akan melihat gempa bumi semacam itu di sini.”

“Itu belum menjadi masalah di sini – belum,” tambahnya.

 

Masa Depan Gereja

Ditanya tentang situasi politik saat ini, khususnya pelarangan Partai Penyelamat Nasional Kamboja (CNRP) – satu-satunya ancaman serius terhadap Partai Rakyat Kamboja yang berkuasa – menjelang pemilihan umum 29 Juli, Pastor Figaredo mengatakan dia lebih suka untuk tetap berdiskusi dengan pejabat di balik pintu tertutup .

Dia memuji partai yang berkuasa atas upayanya untuk mempromosikan hubungan antar agama di Kamboja.

Dan dengan kewarganegaraan Kamboja yang sekarang sedang diproses, dia pikir dia akan tinggal disitu untuk sementara waktu. Meskipun demikian, dia berharap untuk menyerahkan tugas itu ke seorang uskup Kamboja dalam dekade berikutnya.

“Saya sedang berpikir untuk pensiun di sini, kecuali kalau saya sakit berat,” katanya.

 

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi