UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Uskup Imbau Martabat Manusia Dalam Pertambangan Giok di Myanmar

Juli 27, 2018

Uskup Imbau Martabat Manusia Dalam Pertambangan Giok di Myanmar

Tim penyelamat mencari jenazah para penambang yang tewas akibat tanah longsor di sebuah pertambangan giok di Hpakant di Negara Bagian Kachin di Myanmar pada November 2015. Dua bencana yang terjadi baru-baru ini mendorong Uskup Francis Daw Tang untuk mengimbau perbaikan peraturan. (Foto: AFP)

Uskup Myitkyina Mgr Francis Daw Tang meminta pihak-pihak terkait untuk segera memperbaiki peraturan pertambangan giok dan melindungi lingkungan di Myanmar.

Ia mengatakan tidak ada peraturan atau sistem yang tepat untuk mengelola dengan baik tumpukan tanah yang telah menewaskan ratusan orang setiap tahun di Negara Bagian Kachin yang rawan konflik.

“Kita harus menghormati martabat manusia karena para penambang skala kecil mencari peluang dengan mempertaruhkan nyawa mereka,” kata prelatus itu kepada ucanews.com.

Ia mengatakan otoritas setempat perlu memberi peringatan kepada para penambang tentang resiko yang dihadapi mereka khususnya selama musim penghujan. Sementara itu, pemerintah dan perusahaan perlu memikirkan dampak dari pertambangan giok terhadap lingkungan.

“Pihak-pihak terkait – pemerintah, perusahaan dan warga sipil – perlu berdiskusi secara terbuka dan membuat kerangka peraturan yang tepat, praktek pengelolaan tumpukan tanah dan penyelamatan lingkungan,” kata Uskup Tang.

Uskup yang mengunjungi wilayah Hpakant yang kaya akan batu giok pada Desember lalu itu mengingatkan bahwa jika pihak-pihak terkait gagal memperbaiki isu penting ini, semakin banyak nyawa akan melayang dan lingkungan akan hancur.

Isu lingkungan, narkoba, perdagangan manusia dan orang-orang terlantar menjadi agenda pertemuan tiga keuskupan – Myitkyina, Banmaw dan Lashio – pada Agustus atau September mendatang.

“Setelah pertemuan, kami akan mengeluarkan detil sikap Gereja,” kata prelatus itu.

Sedikitnya 27 orang hilang atau dikhawatirkan tewas menyusul bencana longsor tumpukan bebatuan di sebuah pertambangan giok di Negara Bagian Kachin pada Selasa (24/7). Insiden ini merupakan bencana pertambangan mematikan kedua dalam 10 hari setelah sedikitnya 22 orang tewas, 63 orang terluka dan empat orang lainnya hilang akibat bencana tanah longsor yang terjadi pada 14 Juli lalu.

Kecelakaan pertambangan giok terburuk terjadi ketika tanah longsor menewaskan 110 pekerja migran pada 12 November 2015.

Uskup Tang menegaskan bahwa militer yang masih berperan penting dalam politik Myanmar perlu melakukan kompromi dengan pihak-pihak terkait untuk melakukan pembagian sumber daya.

“Semua pihak terkait perlu bernegosiasi demi kepentingan semua orang dan pembangunan manusia,” katanya.

Pemerintah sipil Myanmar menghadapi tugas yang mengerikan dalam mengelola sumber daya termasuk penanganan perusahaan yang berhubungan dekat dengan militer.

Konflik etnis yang terjadi selama beberapa dekade di wilayah perbatasan di Myanmar bagian utara diperparah oleh pertikaian terkait sumber daya alam seperti batu giok, kayu, ambar, emas dan pembangkit listrik tenaga air.

Negara Bagian Kachin yang kaya akan sumber daya dan 90 persen penduduknya beragama Kristen mengalami pertikaian sporadis selama beberapa dekade. Lebih dari 100.000 orang masih mengungsi sejak pertikaian terjadi pada 2011.

Myanmar memproduksi batu giok senilai 31 miliar dolar AS pada 2014, sekitar 50 persen dari penghasilan kotor negara miskin itu, demikian laporan Global Witness.

Sebagian besar batu berharga itu dijual di pasar gelap Cina, sementara hampir semua pendapatan masuk ke kantong para elit militer, lanjut laporan itu.

 

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi