Itu adalah perasaan putus asa yang menyelimuti Jose de Araujo dan istrinya ketika mereka mengetahui 15 tahun lalu bahwa salah satu dari dua putri mereka menderita Down sindrom (cacat mental).
Dia berusia tiga tahun pada saat itu dan mereka bertanya-tanya mengapa putri mereka tidak seperti anak-anak lain pada usia yang sama.
Ketika ia terus bertumbuh dewasa, keluarga itu masih menyuap makanan, memandikan, dan mendandaninya. Mereka juga kesulitan menemukan sekolah yang akan menerimanya.
De Araujo, yang bekerja di sebuah lembaga pemerintah di Dili, ibukota Timor Leste, mengatakan bahwa dia bahkan sudah membawanya ke Bali untuk terapi tahun 2013, tetapi, tidak ada perkembangan yang nyata.
“Saya menyerah dan membawanya kembali ke Timor-Leste,” katanya.
Namun, tujuh bulan yang lalu dia menemukan Yayasan Bhakti Luhur, sebuah pusat rehabilitasi yang dikelola oleh Asosiasi Lembaga Misionaris Awam – yang dikenal sebagai Suster ALMA – untuk para penyandang disabilitas dan anak yatim-piatu.
“Saya bertanya kepada suster apakah putri saya dapat bergabung dengan anak-anak lain untuk sesi terapi yang tidak mengharapkan mereka setuju, tetapi para biarawati mengatakan ya,” katanya.
Tujuh bulan berlalu, De Araujo mengatakan ada kemajuan yang signifikan.
“Saya benar-benar bahagia, dia secara fisik lebih sehat, dapat berbicara lebih baik, dan dapat makan dan mandi sendiri,” katanya, memuji para suster karena keterampilan dan dedikasi mereka.
“Putriku sekarang berada di tangan orang yang baik,” katanya.
Suster Bergita Nganus ALMA, Ketua Yayasan Bhakti Luhur Timor-Leste, mengatakan bahwa pusat rehabilitasi tersebut saat ini menangani 53 anak, 38 di antaranya menderita autisme atau gangguan perkembangan lainnya, sedangkan sisanya adalah anak yatim atau anak-anak dari keluarga broken home.
Sebagian besar mereka tinggal di pusat rehabilitasi, tetapi beberapa orang tinggal dengan keluarga mereka, seperti anak perempuan De Araujo, katanya.
Anak-anak sering diserahkan kepada kami karena sekolah formal tidak dapat membantu mereka. Sekolah-sekolah kami segera menemukan anak-anak ini mengalami kesulitan belajar, terutama dalam membaca dan menulis dan dibawa ke ke pusat rehabilitasi ALMA ini.
Di pusat rehabilitasi ini mereka diajarkan sampai mereka dapat membaca dan menulis.
“Untungnya, ada satu sekolah dasar negeri yang kemudian akan menerima mereka yang mencapai tahap itu,” katanya.
Dia mengatakan bahwa para suster dapat memberikan perhatian lebih yang dapat dilakukan oleh sekolah biasa, sehingga apa yang diajarkan dapat dilakukan dengan kecepatan yang paling sesuai dengan kebutuhan mereka.
Tetapi masalahnya ketika mereka berusia 17 tahun. Para biarawati dan keluarga bekerja sama tentang cara terbaik untuk menghadapi anak-anak yang menuju usia dewasa yang masih mengalami kesulitan belajar.
Suster Makrina Lewo ALMA, pemimpin terapis di pusat rehabilitasi itu, mengatakan bahwa semakin bertambah usia mereka semakin sulit untuk bekerja. Ini terutama dalam kasus dengan autisme di mana hasil terbaik adalah dengan anak-anak berusia 3-4 tahun.
Namun, Suster Lewo, yang memiliki pengalaman satu dekade dengan anak-anak dengan gangguan belajar, mengatakan banyak dari anak-anak telah membaik.
“Misalnya, mereka yang datang pertama kalinya dengan banyak kemarahan sekarang dapat berkomunikasi lebih baik,” katanya.
Pusat rehabilitasi ini memiliki sembilan biarawati dan seorang wanita awam yang mengajar anak-anak dari Senin hingga Jumat setiap minggu.
Perhatian pemerintah
Didirikan di Jawa Timur tahun 1964 oleh Pastor Belanda Pengikut Vincentius a Paulo, Paul Hendrikus Janssen CM, para Suster ALMA telah bekerja di antara orang Timor-Leste yang miskin sejak Oktober 2004.
Awalnya mereka menyewa sebuah rumah kecil tetapi ketika pekerjaan mereka berkembang, karya mereka menjadi perhatian perdana menteri, Xanana Gusmao.
Pada Oktober 2009, Kementerian Solidaritas Sosial, mulai memberikan dukungan keuangan yang memungkinkan para suster memperluas fasilitas mereka.
Florencio Pina Dias Gonzaga, direktur Pembangunan Sosial Nasional di Kementerian Solidaritas Sosial, mengatakan setiap tahun pemerintah memberikan hibah kepada lembaga yang membantu orang miskin, korban kekerasan dalam rumah tangga, dan anak-anak penyandang disabilitas, termasuk ALMA.
“Kami memberikan uang untuk sarana dan prasarana seperti pembangunan fasilitas, tergantung permintaan kebutuhan masing-masing lembaga,” katanya.
“Kami juga mendukung berbagai kegiatan untuk membantu pertumbuhan rohani dan fisik anak-anak, seperti kursus musik atau komputer,” katanya.
Cesario da Silva, manajer program dari Asosiasi Penyandang Cacat Timor-Leste (ADTL), yang mengawasi 18 kelompok nirlaba yang bekerja dengan anak-anak penyandang cacat, mengatakan bantuan pemerintah disambut baik tetapi masih banyak yang harus dipersiapkan.
“Layanan langka di setiap area, karena sumber daya manusia yang tidak memadai dan kekurangan dana,” katanya.