UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Pemboman Gereja di Sri Lanka Terus Menghantui Warga yang Selamat

Agustus 10, 2018

Pemboman Gereja di Sri Lanka Terus Menghantui Warga yang Selamat

Sebuah pelayanan doa diadakan dekat sebuah monumen para korban 1995 di kota Jaffna, Sri Lanka bagian utara. (Foto: Nishanthan/ucanews.com)

Rasa sakit yang dirasakan oleh banyak warga yang selamat dan keluarga mereka yang tewas dalam pemboman Gereja St. Petrus  tahun 1995 dan Gereja  St. Paulus  Sri Lanka utara tetap menghantui mereka hingga kini. Sekitar 147 warga tewas dan 400 terluka dalam insiden yang terjadi pada puncak perang sipil negara kepulauan itu.

Beberapa orang  percaya Angkatan Udara mengebom segala harta milik di desa Navaly sebagai bagian dari kampanye yang lebih luas untuk merebut kembali semenanjung Jaffna dari Macan Pembebasan Tamil Eelam (LTTE), yang memiliki benteng di wilayah tersebut.

Episode ini dianggap sebagai salah satu titik rendah konflik selama puluhan tahun antara tentara Sri Lanka dan gerilyawan separatis yang ingin mendirikan negara merdeka bagi minoritas Tamil.

Yang tewas termasuk banyak wanita dan anak-anak yang keliru berasumsi bahwa gereja akan dianggap suci oleh kedua belah pihak di tengah-tengah konflik 1983-2009.

Tapi bukan itu masalahnya.

Salah seorang penduduk Navaly, Anthony Croose Kamala, 67, masih ingat hari penyerangan itu.

“Kami mendengar delapan ledakan berdering saat helikopter terbang melewatinya,” katanya, ia menambahkan itu tidak adil bahwa pristiwa itu sudah lebih dari dua dekade terjadi tapi belum ada penyelidikan transparan atau kompensasi atas kerusakan yang diberikan kepada keluarga korban.

Awal bulan lalu, Pastor Roy Fernandez, pastor paroki di salah satu gereja, yang masih berdiri, memimpin Misa untuk menandai peringatan ke-23 pristiwa pemboman tersebut.

Dia mengatakan kerabat yang masih hidup kehilangan harapan bukan hanya karena kehilangan orang-orang tercinta tetapi karena dirampok kesempatan untuk melakukan ritual terakhir atau upacara pemakaman.

“Umat Hindu dan Katolik datang ke sini setiap tahun dengan membawa foto-foto mereka yang hilang,” katanya kepada ucanews.com.

Tetapi keadilan harus terus ditegakkan bagi mereka yang berlindung di gereja dan kuil Hindu di dekatnya yang juga ditembaki dari pesawat, kata Pastor S.V.B. Mangalaraja, direktur Komisi Keadilan dan Perdamaian  Keuskupan Jaffna.

“Pemerintah membantah bertanggung jawab atas pemboman itu,” katanya.

“Uskup Jaffna, Mgr. Thomas Savundaranayagam, terus mengangkat masalah itu dan membawanya untuk menjadi sorotan pejabat Sri Lanka dan masyarakat internasional, tetapi belum ada tanggapan nyata,” tambahnya.

Dia mengatakan bagi warga yang terluka dan kerabat warga Tamil yang meninggal harus diberi ganti rugi.

Uskup Savundaranayagam menulis surat kepada mantan presiden Chandrika Kumarathunga pada tanggal 10 Juli 1995 yang menyesalkan pembunuhan warga sipil yang diperintahkan oleh Departemen Pertahanan untuk berkumpul di gereja.

Dalam surat itu, dia mendesak pemerintah untuk menahan diri dari melakukan serangan bom udara dan artileri terhadap warga sipil yang berlindung di gereja, kuil dan sekolah.

Palang Merah Internasional yang juga merilis laporan tentang “Pembantaian Navaly” pada 11 Juli 1995 meminta presiden untuk menghormati kehidupan sipil, harta milik dan tempat perlindungan.

Mengutip laporan saksi mata yang mengatakan  gereja dan bangunan yang berdekatan telah menjadi target serangan Angkatan Udara pada 9 Juli  pukul 16:30.

Pemboman gereja dan kuil Hindu Murugan Sri Kathirgamar mengakibatkan pembantaian yang menghancurkan, dengan banyak bayi ditarik dari puing-puing oleh regu penyelamat tidak berhasil diselamatkan.

Banyak dari mereka yang selamat tetap trauma dengan kejadian itu.

Mereka mengklaim pada hari serangan Angkatan Udara telah membagikan selebaran yang meminta warga sipil untuk pindah ke tempat-tempat keagamaan dan menghindari daerah-daerah yang dapat diberondong.

Tidak jelas apakah serangan itu merupakan bagian dari strategi yang diperhitungkan oleh militer atau pelanggaran yang tidak pernah diakui.

Kamala, yang masih dihantui oleh apa yang terjadi, mengatakan penduduk desa telah menerima pengungsi dan menyediakan kebutuhan sehari-hari sebelum pengeboman terjadi.

Banyak yang datang tanpa alas kaki, setelah meninggalkan rumah mereka untuk melarikan diri dari pertempuran, kata wanita tua itu, seorang anggota Lembaga St. Vincent de Paul, sebuah organisasi relawan Katolik.

“Kami memberi mereka susu, jatah makanan kering dan pakaian tetapi sayangnya banyak dari mereka meninggal pada hari yang sama ketika mereka tiba karena mereka pikir gereja akan aman,” katanya.

“Saya mendengar bom meledak ketika saya sedang mengikis daging kelapa mentah untuk membuat makanan bagi mereka yang pergi ke gereja,” katanya.

Dia bergegas ke gedung melewati kabut asap dan tiba di atas pemandangan mengerikan dengan bagian tubuh yang tersebar dan daging yang hangus.

Ratusan orang menangis, berdoa dengan manik-manik rosario, membuat tanda salib dan meratapi kesedihan, katanya.

Sementara Kamala, yang berusia 40 tahun, sedang merawat beberapa korban, tiba – tiba seorang warga desa berlari dan mengatakan putri satu-satunya telah meninggal.

Ini bukan insiden yang terisolasi.

Pada tahun 1999, tempat suci  Our Lady of Madhu, sebuah Gua  Maria dan situs ziarah populer di semenanjung Jaffna, juga diserang.

Pengungsi diketahui telah menggunakan gereja dan bangunan berusia 400 tahun, dianggap sebagai tempat ziarah Katolik paling suci di negara itu, sebagai tempat berlindung di beberapa kesempatan selama perang.

Tapi takdir menentang mereka pada 20 November ketika harta milik itu dihancurkan dan 40 warga Tamil termasuk 13 anak-anak yang telah mengungsi akibat pertempuran itu kehilangan nyawa mereka. 60 lainnya terluka.

Kedua belah pihak saling menyalahkan.

Presiden Kumaratunga mengklaim bahwa LTTE memiliki mortir yang mengebom gereja sementara “separatis” membalas tentara yang harus disalahkan.

Kerala mengatakan tidak ada kompensasi yang diberikan tetapi Angkatan Darat kemudian membantu merenovasi tempat suci itu.

Astika Anthonypillai berumur 10 tahun ketika pristiwa itu terjadi. Dia selamat tapi sepupunya tidak.

“Dia meninggal di tempat,” katanya. “Aku hanya beruntung. Bibiku datang untuk menyelamatkanku.”

“Aku terlalu takut untuk kembali ke sana selama bertahun-tahun setelah itu.”

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi